Rabu, 13 Juni 2012

Mencuci Pakaian dengan Air Kencing

on Sunday, October 30, 2011 at 1:25pm ·
 Ada pertanyaan klasik yang dimodifikasi; jika kita mencuri ayam, lalu daging atau uang penjualannya kita berikan pada fakir miskin, lantas bisakah kita dikatakan orang baik? Adakah perbuatan itu dicatat malaikat sebagai pahala? Atau jangan-jangan kita ini Robin Hood zaman platinum!
Itulah yang terjadi kawan.  Momentum hari raya qurban, telah mengguak tabir perampok yang berjubah agama. Ada banyak sapi yang diqurbankan. Ada banyak masjid yang disumbangkan. Tidak  sedikit anak yatim yang disantuni. Sebegitu dermawan sang kawan.
Tapi sayang seribu sayang pihak hukum belum mengungkap siapa sebenarnya si Robin Hood.  Orang hanya tahu dia dermawan. Ya...sosok murah hati dan suka membantu. Mana tahu suatu masa, nasibnya sama dengan Baidul Haq Nasir, perampok dari Banglades yang menyumbangkan hasil kejahatannya untuk amal.

Di kota Chittagong, Baidul Haq Nasir (45 tahun) menyumbangkan ribuan dollar AS hasil kejahatannya selama 20 tahun. Dia sumbangkan untuk anak-anak yatim dan masjid. Polisi mengatakan lembaga yang menerima sumbangan uang tunai darinya itu tidak mengetahui bahwa pemberian tersebut dari hasil kejahatan. Baidul Haq Nasir kemudian dijuluki media massa sebagai Robin Hood masa kini. Robin Hood adalah tokoh cerita rakyat yang merampok orang kaya pada abad pertengahan Inggris. Dia kemudian memberikan hasil rampokannya kepada orang miskin.
Bagi sahabat, tetangga dan kenalan bisnisnya, Baidul Haq Nasir merupakan pengusaha kaya yang tinggal di sebuah rumah besar di pinggiran Chittagong. Namun, para pejabat polisi mengatakan Baidul Haq Nasir kenyataannya adalah maling pembobol rumah dan kantor. Dia juga pencuri perhiasan yang memiliki kontak dengan dunia kejahatan.

Kedermawanannya dalam menyumbang dari hasil kejahatannya membuat status Baidul Haq Nasir terhormat di kalangan penduduk pedesaan sekitar Chittagong.
Ketika ditangkap, dia memohon keringanan hukuman karena dia maling baik hati.
Perangai berjubah agama ini pernh terjadi dengan Raden Said, yang kemudian dikenal dengan nama Sunan Kalijaga. Ketika menguasai hutan Jatiwangi, ia dijuluki perampok budiman. Hasil rampokannya itu tak pernah dimakannya. Seperti dulu, selalu diberikan kepada fakir miskin. Yang dirampoknya hanya para hartawan atau orang kaya yang kikir, tidak menyantuni rakyat jelata, dan tidak mau membayar zakat. Di hutan Jatiwangi dia membuang nama aslinya. Orang menyebutnya sebagai Brandal Lokajaya.

Pada suatu hari, ada seorang berjubah putih lewat di hutan Jatiwangi. Dari jauh Brandal Lokajaya sudah mengincarnya. Orang itu membawa sebatang tongkat yang gagangnya berkilauan.
“Pasti gagang tongkat itu terbuat dari emas,” bisik Brandal Lokajaya dalam hati. Terus diawasinya orang tua berjubah putih itu. Setelah dekat dia hadang langkahnya sembari berkata, “Orang tua, apa kau pakai tongkat ? Tampaknya kau tidak buta, sepasang matamu masih awas dan kau juga masih kelihatan tegar, kuat berjalan tanpa tongkat !”

Lelaki berjubah putih itu tersenyum, wajahnya ramah, dengan suara lembut dia berkata, “Anak muda ………. Perjalanan hidup manusia itu tidak menentu, kadang berada di tempat terang, kadang berada di tempat gelap, dengan tongkat ini aku tidak akan tersesat bila berjalan dalam kegelapan.”
“Tapi .......... saat ini hari masih siang, tanpa tongkat saya kira kau tidak akan tersesat berjalan di hutan ini.” Sahut Raden Said. Kembali lelaki berjubah putih itu tersenyum arif, “anak muda ………. Perjalanan hidup manusia itu tidak menentu, kadang berada di tempat terang, kadang berada di tempat gelap, dengan tongkat ini aku tidak akan tersesat
bila berjalan dalam kegelapan.”
“Tetapi .......... saat ini hari masih siang, tanpa tongkat saya kira kau tidak akan tersesat berjalan di hutan ini.” Sahut Radeb Said. Kembali lelaki berjubah putih itu tersenyum arif, “Anak muda tongkat adalah pegangan, orang hidup haruslah mempunyai pegangan supaya tidak tersesat dalam menempuh perjalanan hidupnya.”
Agaknya jawab-jawab yang mengandung filosofi itu tak menggugah hati Raden Said. Dia mendengar dan mengakui kebenarannya tapi perhatiannya terlanjur tertumpah kepada gagang tongkat lelaki berjubah putih itu. Tanpa banyak bicara lagi direbutnya tongkat itu dari tangan lelaki berjubah putih. Karena tongkat itu dicabut dengan paksa maka orang
berjubah putih itu jatuh tersungkur.
Dengan susah payah orang itu bangun, sepasang matanya mengeluarkan air walau tak ada suara tangis dari mulutnya. Raden Said pada saat itu sedang mengamat-amati gagang tongkat yang dipegangnya. Ternyata tongkat itu bukan terbuat dari emas, hanya gagangnya saja terbuat dari kuningan sehingga berkilauan tertimpa cahaya matahari, seperti emas. Raden Said heran melihat orang itu menangis. Segera diulurkannya kembali tongkat itu, “Jangan menangis, ini tongkatmu kukembalikan.”
“Bukan tongkat ini yang kutangisi,” Ujar lelaki itu sembari memperlihatkan beberapa batang rumput di telapak tangannya. “Lihatlah ! Aku telah berbuat dosa, berbuat kesiasiaan. Rumput ini tercabut ketika aku aku jatuh tersungkur tadi.”
“Hanya beberapa lembar rumput. Kau merasa berdosa ?” Tanya Raden Said heran.
“Ya, memang berdosa! Karena kau mencabutnya tanpa suatu keperluan. Andaikata guna makanan ternak itu tidak mengapa. Tapi untuk suatu kesia-siaan benar-benar suatu dosa !” Jawab lelaki itu.
Hati Raden Said agak tergetar atas jawaban yang mengandung nilai iman itu.
“Anak muda sesungguhnya apa yang kau cari di hutan ini ?”
“Saya mengintai harta ?”
“Untuk apa ?”
“Saya berikan kepada fakir miskin dan penduduk yang menderita.”
“Hemm, sungguh mulia hatimu, sayang ...... caramu mendapatkannya yang keliru.”
“Orang tua .......... apa maksudmu ?”
“Boleh aku bertanya anak muda ?”
“Silahkan .......... “
“Jika kau mencuci pakaianmu yang kotor dengan air kencing, apakah tindakanmu itu benar?”
“Sungguh perbuatan bodoh,” sahut Raden Said. “Hanya manambah kotor dan bau pakaian itu saja.”
Lelaki itu tersenyum, “Demikian pula amal yang kau lakukan. Kau bersedekah dengan barang yang didapat secara haram, merampok atau mencuri, itu sama halnya mencuci pakaian dengan air kencing.”
Lantas bagaimana dengan qurban, sedekah dan santunan kita kawan? ***

Pernikahan Bisa Tunda Kematian

on Tuesday, September 6, 2011 at 5:42pm ·
(TULISAN INI DIPUBLIKASI DI HARIAN PAGI VOKAL)
Ketika bertemu kawan-kawan lama, tema yang menarik adalah soal berkeluarga. Menikah dan menikah. Yang sudah ijab Kabul dengan bangga bicara anak bininya sembari mencemooh sang teman yang belum punya pasangan hidup.
Namun dari banyak cemooh yang terlontar, ada satu nasihat bagus dari seorang teman. Ia menyampaikan sambil berkisah. Katanya, suatu ketika, Nabi Daud a.s. duduk di suatu tempat. Di sampingnya, ada seorang pemuda saleh yang duduk dengan tenang tanpa banyak bicara. Tiba-tiba, datang Malaikat Maut yang mengucapkan salam kepada Nabi Daud. Anehnya, Malaikat Maut terus memandang pemuda itu dengan serius.
Nabi Daud berkata kepadanya, "Mengapa engkau memandangi dia?"
Malaikat Maut menjawab, "Aku diperintahkan untuk mencabut nyawanya tujuh hari lagi di tempat ini!"
Nabi Daud pun merasa iba dan kasihan kepada pemuda itu. Beliau pun berkata kepadanya, "Wahai Anak Muda, apakah engkau mempunyai istri?"
"Tidak, saya belum pernah menikah," jawabnya.
"Datanglah engkau kepada Fulan - seseorang yang sangat dihormati di kalangan Bani Israil - dan katakan kepadanya, 'Daud menyuruhmu untuk mengawinkan anakmu denganku.' Lalu, kau bawa perempuan itu malam ini juga. Bawalah bekal yang engkau perlukan dan tinggallah bersamanya. Setelah tujuh hari, temuilah aku di tempat ini."
Pemuda itu pergi dan melakukan apa yang dinasihatkan Nabi Daud kepadanya. Dia pun dinikahkan oleh orang tua si Gadis. Dia tinggal bersama istrinya selama tujuh hari. Pada hari kedelapan pernikahannya, dia menepati janjinya untukbertemu dengan Daud.
"Wahai Pemuda, bagaimana engkau melihat peristiwa itu?"
"Seumur hidupku, aku belum pernah merasakan kenikmatan dan kebahagiaan seperti yang kualami beberapa hari ini," jawabnya.
Kemudian, Nabi Daud memerintahkan pemuda itu untuk duduk di sampingnya guna menunggu kedatangan malaikat yang hendak menjemput kematiannya. Setelah cukup lama menunggu, akhirnya Nabi Daud berkata, "Pulanglah kepada keluargamu dan kembalilah ke sini untuk menemuiku di tempat ini delapan hari setelah ini."
Pemuda itu pun pergi meninggalkan tempat itu menuju rumahnya. Pada hari kedelapan, dia menemui Nabi Daud di tempat tersebut dan duduk di sampingnya. Kemudian, kembali lagi pada minggu berikutnya, dan begitu seterusnya. Setelah sekian lama, datanglah Malaikat Maut kepada Nabi Daud.
"Bukankah engkau pernah mengatakan kepadaku bahwa engkau akan mencabut nyawa anak pemuda ini dalam waktu tujuh hari ke depan?"
Malaikat itu menjawab, "Ya."
Nabi Daud berkata lagi, "Telah berlalu delapan hari, delapan hari lagi, delapan hari lagi, dan engkau belum juga mencabut nyawanya."
"Wahai Daud, sesungguhnya Allah swt merasa iba kepadanya lalu dia menunda ajalnya sampai tiga puluh tahun yang akan datang."
Dalam beberpaa referensi, pemuda itu seseorang yang taat beribadah, ahli munajat, gemar berbuat kebaikan, dan sangat penyayang kepada keluarganya. Menurut sejumlah ulama, boleh jadi, karena amal saleh dan doa-doanyalah, Allah berkenan menunda kematian sang Pemuda.
Mendengar kisah itu, ada seorang kawan langsung pulang mengatakan niatnya untuk menikah. Hmm…Fulan of Fulan! ***

Saya Ingat Nama Fulan

on August 14
(TULISAN INI MENGHIASI HARIAN PAGI VOKAL)
Satu manfaat puasa bulan ini tahun ini adalah Fulan diajarkan mengingat nama orang yang pernah berkenalan dengannya. Ini penting sebagaimana dikatakan psikolog besar, Dale Carnegie bahwa nama seseorang bagi orang yang memiliki nama tersebut adalah suatu kata-kata yang paling merdu dan indah di telinga orang tersebut bahkan dalam bahasa apapun.
Karena begitu pentingnya sebuah nama, tak heran pula. Dale Carnegie, yang mengubah nama belakangnya “Carneye” menjadi “Carnegie”. Alasannya karena di zamannya terkenal seorang miliarder pengusaha baja terkenal bernama Andrew Carnegie. Banyak orang yang mengira kalau Dale Carnegie dan Andrew Carnegie memilki hubungan keluarga, tetapi sama sekali tidak. Sejak saat itulah nama Dale Carnegie melambung bahkan mengalahkan ketenaran Andrew Carnegie sampai saat ini.
Kata orang, nama adalah sebuah pintu gerbang untuk berkenalan dan menjalin hubungan dengan orang lain. Sama-sama mungkin pernah kita alami betapa tidak enaknya ketika kita sering bertemu dan berinteraksi dengan seseorang, tetapi kita tidak tahu namanya.
Jim Farley dengan bakat alaminya mampu menyebut nama depan seseorang bahkan hingga lima puluh ribu orang. Kemampuan Jim Farley ini membantu dirinya menempatkan Franklin D Roosevelt ke Gedung Putih, tatkala dia memimpin kampanye Roosevelt pada tahun 1932. Talenta mengingat nama bisa mengantarkan orang jadi presiden.
Pada awalnya, hal itu sangat sederhana. Setiap kali dia mendapat seorang kenalan baru, dia akan mencari tahu nama lengkapnya beserta beberapa fakta tentang keluarganya, bisnis, dan opini politiknya. Dia menanamkan fakta-fakta ini ke dalam pikirannya sebagai bagian dari gambaran, dan lain kali ketika dia berjumpa dengan orang itu, bahkan meskipun itu terjadi setahun kemudian, dia bisa menjabat tangannya, menerangkan tentang keluarganya, dan menanyakan tentang tanaman hias di kebun belakang. Tidak heran bila kemudian mengembangkan perolehan banyak pengikut.
Jim Farley sudah menemukan jauh lebih dini dalam kehidupan. Bahwa rata-rata orang menaruh minat kepada namanya sendiri daripada nama orang lain di bumi ini digabung menjadi satu. Ingatlah nama itu dan panggillah dengan sikap bersahabat, dan Anda sudah memberikan pujian yang sangat efektif. Namun jika Anda melupakannya atau salah menyebutnya – Anda sudah membuat diri Anda mendapat banyak kerugian. ***

Coba Salahkan Diri Sendiri

(TULISAN INI MENGHIASI HALAMAN HARIAN PAGI VOKAL)
Pada halaman 26 buku How To Win Friends and Influence People karya Dale Carnegie termaktub petuah bijak. Seorang pendiri toko-toko Amerika yang memakai namannya, Wanamaker pernah mengatakan sembilan puluh sembilan kali dari seratus, orang tidak mengkritik dirinya sama sekali, tidak peduli betapa salahnya apa yang sudah dilakukannya.
Tersebutlah sebuah peristiwa. Pada tanggal 7 Mei 1931, perburuan penjahat paling sensasional di kota New York yang pernah dikenal akhirnya sampai pada klimaksnya. Setelah berminggu minggu pencarian, Crowley si ” Dua Senjata”- sang pembunuh, perampok bersenjata yang tidak merokok dan tidak minum minuman keras-berada dalam posisi bertahan, terjebak dalam apartemen kekasihnya di West End Avenue.
Seratus limapuluh polisi dan detektif mengepung tempat persembunyiannya. Mereka membuat lubang lubang di atap, mereka berusaha memancing keluar Crowley, si ”pembunuh polisi”, dengan gas air mata. Kemudian mereka menyiapkan senapan mesin di gedung gedung di sekitarnya, dan selama lebih dari satu jam area pemukiman New York dipenuhi suara letusan senjata. Crowley merangkak di belakang kursi, membalas tembakan polisi tanpa henti. Sepuluh ribu orang tercekam menyaksikan pertempuran ini. Belum pernah kejadian seperti ini terjadi di pinggir jalan kota New York.
Ketika Crowley tertangkap, Komisaris Polisi E.P. Mulrooney menyatakan bahwa si bandit dua senjata merupakan salah satu dari kriminal paling berbahaya yang pernah tercatat dalam sejarah Kota New York. ” Dia akan membunuh,” ujar sang Komisaris,”hanya karena jatuhnya sehelai bulu.”
Tetapi bagaimana Crowley si ”Dua Senjata” memandang dirinya sendiri? Tatkala polisi memberondong apartemennya, dia menulis sepucuk surat yang ditujukan ”Untuk Yang Berkepentingan.” Dan ketika dia menulis, darah mengalir dari lukanya meninggalkan jejak merah di kertas. Dalam suratnya ini, Crowley berkata,”Di balik pakaian saya, ada sebuah hati yang letih, tapi sebuah hati yang baik, hati yang tidak tega melukai siapa pun.”
Beberapa saat sebelum ini terjadi, Crowley baru saja mengadakan pesta kencan dengan pacarnya di pinggir kota Long Island. Tiba-tiba seorang polisi muncul menghampiri mobil dan meminta : ”Coba saya lihat surat mengemudi Anda.” Tanpa berkata sepatah katapun, Crowley menarik picu senjatanya dan menembak polisi itu hingga mandi darah. Tatkala polisi yang menjadi korban itu jatuh, Crowley melompat keluar mobil, merampas senjatanya, dan menembakkan sebutir peluru lagi ke tubuh yang tak berdaya itu. Dan itulah si pembunuh yang berkata,” Di balik pakaian saya ada sebuah hati yang letih, tapi sebuah hati yang baik, hati yang tidak tega melukai siapa pun.”
Begitu dia tiba di penjara Sing sing, apakah dia berkata,” Ini yang saya peroleh karena membunuhi orang-orang?” Tidak ! tapi dia berkata,”Ini yang saya peroleh karena membela diri.” Akhirnya Crowley dihukum mati di atas kursi listrik.
Al Capone, pemimpin gang paling kejam yang pernah membantai kota Chicago tidak pernah mengutuk dirinya sendiri : ”Saya sudah melewatkan tahun tahun dalam hidup saya untuk memberi orang-orang kesenangan, membantu mereka menikmati hidup, dan apa yang saya peroleh adalah perlakuan kejam, sebagai orang buronan yang diburu-buru polisi.”
Al Capone sebenarnya menganggap dirinya sebagai dermawan, seorang dermawan yang tidak dihargai dan seseorang yang dimengerti secara keliru.
Dutch Schultz, salah satu penjahat paling terkenal di New York, mengatakan dalam wawancara koran bahwa dia seorang dermawan publik, dan dia percaya itu.
Kalau Crowley si ”Dua Senjata”, Al Capone, dan Dutch Schultz tidak pernah menyalahkan diri mereka sama sekali.
Itulah manusia wahai kawan! Ilmu senter yang dipakainya. Orang disigi, sementara dirinya tidak ditelisik dengan cahaya kebenaran. Yang salah itu orang lain, dirinya tak pernah khilaf. Barangkali kita juga begitu Fulan! ***

Obat Diet dari Sang Ulama

(DIPUBLIKASI DI HARIAN PAGI VOKAL)
Jika Tuan punya waktu senggang, berjalan-jalanlah keliling Kota Pekanbnaru. Tenggoklah setiap restoran atau tempat jualan makanan. Pasti ramai. Orang antre begitu panjang.
Sepertinya kultur perut sudah mewabah dalam kehidupan warga. Orang mementingkan makan dan mengutamakan isi sumatera tengah. Berbeda dengan toko buku dan pustaka, Tidak seramai di restoran. Kalau pun ada yang berkunjung ke pustaka, paling mereka mencari suasana kesejukan. Usai itu tidur.
Karena itu Tuan, tak heran kalau warga kota ini sudah banyak yang gemuk. Badannya melar. Tetangga Fulan juga begitu. Seakan-akan tubuhnya tidak mampu lagi menopang badan raksasanya itu. Setiap hari mereka mengeluhkan dan setiap sebentar pula mereka melakukan diet. Namun badan tak juga susut bobotnya.
He…he…he… Fulan jadi segan memberi resep diet yang mujarab untuk sang tetangga. Tapi tidak untuk pembaca. Ini resepnya kawan. Ini tentang sebuah peristiwa unik yang terjadi di zaman Khalifah Harun Al Rasyid. Saat itu beliau sedang bingung mengenai kondisi badannya yang kian gendut saja atau dalam istilah sekarang kita menyebutnya obesitas. Saat itu semua tabib dan ahli kesehatan telah dipanggil oleh sang Khalifah agar dapat menyembuhkan alias memberi obat supaya berat badannya dapat turun. Namun semua jampi dan saran yang dianjurkan oleh para ahli itu ternyata nihil belaka. Berat badan dan bentuk tubuh sang Khalifah tetap saja melar. Suatu hari di tengah-tengah rasa putus asanya, khalifah memanggil seorang ulama dan menceritakan masalahnya tersebut. Sang ulama itu mendengarkan dengan seksama penjelasan sang khalifah dan tak ada sepatah katapun yang meluncur dari lisannya. Hingga saat khalifah menuntaskan ceritanya, ulama itu hanya berucap satu kata saja. “Khalifah Ar Rasyid yang mulia, beberapa hari lagi anda akan mati!”
Demi mendengar ucapan sang ulama’ yang tidak mungkin berbohong itu, khalifah berhari-hari hanya termenung ketakutan karena mengetahui kabar bahwa usianya telah dekat untuk dikhatamkan oleh Izrail. Berhari-hari khalifah tidak begitu selera makan, minum dan beraktifitas seperti biasanya. Yang ada dalam tempurung benaknya hanyalah bagaimana dia akan menghadapi ajalnya sebentar lagi. Lambat laun waktu berganti dan tubuh khalifah terlihat lebih kurus dari sebelumnya. Itu semua tidak lain karena disebabkan oleh ketakutan pikirannya akan kematiannya.
Setelah beberapa waktu lamanya, sang ulama itu menghampiri istana khalifah untuk melihat kondisi pemimpin rakyat itu. Demi mengetahui kedatangan sang ulama, khalifah merasa senang sekaligus bercampur takut. Senang karena dia dapat mengungkapkan segala ketakutannya dan cemas karena usianya kata ulama itu akan segera habis. Setelah mengucap salam dan dipersilahkan duduk oleh khalifah, ulama itu bertanya,”Bagaimana keadaan anda wahai Amirul Mukminin?”
“Ya seperti inilah keadaan saya wahai panutan umat. Setelah anda mengabari saya bahwa beberapa hari lagi saya akan mati, saya tidak enak makan, minum dan tidur. Yang ada dalam pikiran saya hanyalah kematian.”
“Jadi obat saya telah manjur, bukan?”
“Maksud Anda?”
“Iya. Dulu anda sering mengeluhkan berat badan dan bentuk tubuh anda yang berlebihan. Dan anda tidak pernah berhasil mencari solusinya. Dan sekarang apa yang anda idam-idamkan telah anda dapatkan, bukan?”
“Astaqfirullah!” Khalifah terkaget dan baru menyadari akan arah pembicaraan sang ulama.
“Jadi cara menurunkan berat badan Anda adalah dengan Anda memikirkan kematian. Karena tiada hal yang paling menakutkan anak Adam selain hal itu.”
Ingat pesan Rasulullah, “Perbanyaklah mengingat penghancur segala kenikmatan!” Apakah penghancur segala kenikmatan yang dimaksud sang nabi yang mulia itu. Jawabannya adalah kematian. Dengan mengingat kematian kita akan dapat menjalani hidup dengan lebih bertanggung jawab. ***

Pangeran yang Mati Miskin

on Tuesday, July 19, 2011 at 7:38am ·
(TULISAN INI DIPUBLIKASI DI HARIAN PAGI VOKAL)
Pernah Anda bertemu dengan anak angkat kepala di daerah ini? Jika pernah, Anda akan geleng-geleng kepala. Anak angkat saja sudah begitu sombongnya, apalagi anak kandung.
Ya begitulah! Kalau bapaknya bupati, ia lebih bupati dari bapaknya. Kalau bapaknya gubernur, ia lebih gubernur dari ayahnya. Main perintah dan serba mewah. Padahal bapaknya setiap kasih kata sambutan selalu tak lupa bicara kezuhudan dan tetek bengek nilai agama lainya.
Malah suatu hari, Fulan pernah mendengar sang kepala daerah bercerita tentang putra Khalifah Harun Ar Rasyid yang datang ke istana ayahnya. Khalifah sedang duduk bersama ajudan pribadinya, para pejabat dan tamu-tamu terhormat lainnya. Sedangkan puteranya yang berumur 16 tahun itu berpakaian sangat sederhana, dengan sorban di kepalanya. Ketika orang-orang istana itu melihatnya demikian, mereka berkata, "Keadaan anak ini menghina Amirul Mukminin di hadapan para bangsawan, jika ia dapat memperingatkannya, mungkin anak itu akan menghentikan kebiasaannya."
Khalifah mendengar ucapan itu, maka ia berkata kepada anaknya, "Anakku sayang, engkau telah mempermalukanku di hadapan para bangsawan."
Anak itu tidak berkata sepatah katapun atas ucapan ayahnya. Bahkan ia memanggil seekor burung yang bertengger di dekat situ, "Wahai burung, aku memohon kepadamu, demi Dzat yang menciptakanmu, datanglah dan duduklah di atas tanganku."
Burung itu terbang menghampirinya dan hinggap di atas tangannya. Kemudian anak itu menyuruhnya terbang lagi, dan burung itu pun terbang lagi ke tempat semula. Kemudian ia berkata kepada ayahnya, "Ayahku sayang, sesungguhnya kecintaanmu kepada dunia inilah yang memalukan diriku. Aku telah memutuskan untuk berpisah denganmu." Setelah berkata demikian, ia pergi hanya berbekal Al Quran saja.
Ketika ia memohon pamit kepada ibunya, ibunya memberi sebuah cincin yang sangat indah dan mahal, (agar ia dapat menjualnya jika ia memerlukan uang). Anak laki-laki itu pergi ke Basrah, dan bekerja bersama para buruh. Namun ia hanya bekerja pada hari Sabtu saja. Dan ia gunakan upahnya sehari untuk satu minggu, dengan menggunakan (satu danaq) seperenam dirham setiap hari.
Kisah selanjutnya diceritakan oleh Abu Amir Basri., ia berkata, "Pada suatu ketika, sebelah dinding rumahku roboh dan aku membutuhkan seorang tukang batu untuk memperbaikinya. Ada seseorang yang memberitahuku bahwa ada seorang anak laki-laki yang dapat mengerjakan pekerjaan tukang batu. Maka akupun mencarinya. Di luar kota, aku melihat seorang pemuda tampan sedang duduk di tanah sambil membaca Alquran dengan sebuah tas di sisinya. Aku menanyainya, apakah ia mau bekerja sebagai buruh? Ia menjawab, "Tentu, kita telah diciptakan untuk bekerja. Pekerjaan apakah yang tuan inginkan untukku?"
Kukatakan bahwa aku membutuhkan seorang tukang batu untuk mengerjakan bangunan. Ia berkata, "Aku mau asalkan upahku satu dirham dan satu danaq sehari. Dan aku akan berhenti kerja dan pergi ke masjid bila tiba waktu shalat, kemudian kulanjutkan pekerjaan tersebut setelah shalat." Aku menyetujuinya.
Akhirnya ia ikut bersamaku dan mulai mengerjakan dinding itu. Pada sore harinya, aku kembali, dan aku sangat terkejut melihat bahwa ia telah melakukan pekerjaan seperti sepuluh orang tukang batu yang mengerjakannya. Akupun memberinya dua dirham. Tetapi ia menolak upah yang melebihi satu dirham dan satu danaq. Kemudian ia pergi hanya dengan upah yang telah disetujui.
Keesokan paginya, aku pergi lagi mencarinya, tetapi aku diberi tahu bahwa ia hanya bekerja pada hari Sabtu saja. Dan tiada seorangpun yang dapat menemukannya pada hari-hari lainnya. Karena aku sangat puas dengan pekerjaannya, maka kuputuskan untuk menunda pembangunan dindingku pada Sabtu depan. Pada hari Sabtu itu, aku mencarinya lagi dan kudapati ia di tempat yang sama sedang membaca Aquran sebagaimana biasa. Aku mengucapkan salam kepadanya, "Assalamu Alaikum."
"Wa Alaikumus Salam." Balasnya.
Ia bersedia bekerja lagi untukku dengan syarat yang sama. Ia pun ikut bersamaku dan mulai mengerjakan dinding itu lagi.
Disebabkan rasa heranku, bagaimana ia dapat mengerjakan pekerjaan sepuluh orang pekerja seorang diri seperti pada hari Sabtu yang lalu, maka akupun mengintipnya bekerja tanpa sepengetahuannya. Aku melihatnya dengan sangat takjub, bahwa ketika ia meletakkan adukan semen di dinding, maka batu-batu itu dengan sendirinya menyatu. Akhirnya aku sadar dan meyakini bahwa anak itu adalah kekasih Allah Swt. Sebagaimana hamba-hamba-Nya yang khusus saja yang mendapatkan pertolongan ghaib seperti itu dari Allah Swt.
Sore harinya, aku ingin memberinya tiga dirham, tetapi ia hanya mengambil satu dirham dan satu danaq kemudian pergi, sambil berkata, "Aku tidak membutuhkan lebih dari ini."
Sungguh cerita itu hanya enak didengar dan tidak enak dipraktekan oleh keluarga sang pejabat. ***

Buat Kepsek Bermental Pungli

(TULISAN INI MENGHIASI HALAMAN HARIAN PAGI VOKAL)
Semula sang khatib Jumat itu berbicara tentang Kepala Sekolah yang ada di Pekanbaru. Mulai dari sekolah dasar hingga Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Betapa sedihnya, kata khatib, banyak pemimpin sekolah yang rakus. Negara sudah membiayai segalanya, namun dengan segala nafsu keserakahan, ada-ada saja nama program yang dibuat demi bisa mengambil uang wali murid.
Menging-ingat sifat kebanyakan kepala sekolah itu, maka mereka tak ubahnya seperti kisah anjing yang mengigit daging dan lewat jembatan kayu. Daging lepas, perut lapar. Uang tak jadi dapat, jabatan melayang.
Seperti diceritakan nenek moyang kita, kata khatib, ada seekor anjing yang terasa bingung saking laparnya, seharian penuh tidak mendapatkan makanan. Saat senja tiba, akhirnya dengan penuh gairah ia melihat sepotong daging yang lezat di atas tanah, ia bergegas menggondol daging itu dan berlari ke tempat tinggalnya. Dalam hati dia merenung "sungguh beruntung sekali, di luar dugaan bisa mendapatkan daging besar ini, saya harus menikmati dengan sepuasnya."
Sambil berjalan ia berpikir, dan tanpa disadari tiba di sebuah sungai, jika sudah melewati jembatan kecil berarti tempat tinggalnya sudah dekat, berpikir sampai di situ ia lantas menggigit lebih erat lagi daging itu, dan berjalan di atas jembatan penyeberangan. Ia berjalan dengan sangat hati-hati, ketika sampai di tengah jembatan, tanpa sengaja ia memandang ke sungai, dan begitu melihat ke sungai bukan main kagetnya, ia melihat ada seekor anjing di sungai itu, menggondol sepotong daging yang besar dan sedang menatapnya.
Dalam hati ia mulai berpikir "wah, daging yang digondolnya itu tampaknya lebih besar dibanding daging saya ini! Jika saya sedikit lebih galak terhadapnya, siapa tahu mungkin ia akan melepaskan daging itu dan lari!"
Makin dipikir ia semakin gembira, lalu mulai galak terhadap anjing di sungai itu. Namun, anehnya, anjing itu sepertinya tidak takut sedikit pun terhadapnya. Ia memelototkan mata, dan anjing itu juga memelototkan matanya; ia berbalik, anjing itu juga berbalik, ia menghentakkan kaki, anjing itu juga ikut menghentakkan kakinya.
Akhirnya, ia benar-benar marah, dalam hati berpikir "lebih baik aku menggigitnya, ia pasti akan lari, dengan begitu aku bisa mendapatkan daging itu," lalu, ia membuka moncongnya dan menggonggong dengan keras "Auh. auh.auh..."
Begitu ia membuka moncongnya, daging dalam gigitannya lalu tiba-tiba terjatuh ke sungai, menghancurkan tubuh anjing yang berada di sungai itu, dan dalam sekejap tenggelam di dalam air lenyap tak berbekas. Percikan air yang dalam menghancurkan semua mimpi si anjing yang rakus ini, dan ia baru menyadari bahwa ternyata anjing itu adalah bayangan dirinya dalam air.
Lalu dengan sedih ia menangis "kalau tahu begini aku tidak akan sedemikian rakus, namun kini, saya harus menahan lapar lagi, ke mana aku harus mencari makan?"
Banyak orang ingin bisa hidup dengan lebih baik, harus mendapatkan lebih banyak, maka disadari atau tidak dapat mencelakakan kepentingan orang lain, tidak puas dengan apa yang sudah diperolehnya. Bahkan ada yang tak segan-segan merampas barang milik orang lain.
Wahai kata khatib itu, sekadar pembanding kisah, tersebutlah ibu sultan dikenal sebagai seorang dermawan. Ia menanam pohon-pohon sebagai tempat berteduh bagi penduduk Istambul di kala musim panas. Ia juga membiayai jaringan sumur sehingga para penduduk dapat memperoleh air dengan lebih mudah. Ia membangun masjid, sekolah, juga rumah sakit, yang ia bantu dengan lahan yang menghasilkan pemasukan. Sehingga, semua itu dapat berfungsi selama-lamanya.
Ketika rumah sakit tersebut sedang dibangun, ia mengunjungi lokasinya. Di sana ia melihat seekor semut jatuh ke dalam beton yang masih basah. Ia memutuskan bahwa tak ada satu ciptaan pun yang boleh menderita akibat tindakan dermanya. Ia menancapkan payung buatan Prancis miliknya yang mahal kedalam beton tersebut, kemudian mengangkat keluar semut tersebut.
Beberapa tahun kemudian, pada malam kematiannya, beberapa teman dekatnya bermimpi tentang dirinya. Ia tampak muda dan berseri-seri. Dan ketika ia ditanya apakah ia masuk surga karena seluruh dermanya, ia menjawab, “Tidak, keadaan yang kualami sekarang adalah semata-mata karena seekor semut yang kecil.” ***