Rabu, 13 Juni 2012

Mencuci Pakaian dengan Air Kencing

on Sunday, October 30, 2011 at 1:25pm ·
 Ada pertanyaan klasik yang dimodifikasi; jika kita mencuri ayam, lalu daging atau uang penjualannya kita berikan pada fakir miskin, lantas bisakah kita dikatakan orang baik? Adakah perbuatan itu dicatat malaikat sebagai pahala? Atau jangan-jangan kita ini Robin Hood zaman platinum!
Itulah yang terjadi kawan.  Momentum hari raya qurban, telah mengguak tabir perampok yang berjubah agama. Ada banyak sapi yang diqurbankan. Ada banyak masjid yang disumbangkan. Tidak  sedikit anak yatim yang disantuni. Sebegitu dermawan sang kawan.
Tapi sayang seribu sayang pihak hukum belum mengungkap siapa sebenarnya si Robin Hood.  Orang hanya tahu dia dermawan. Ya...sosok murah hati dan suka membantu. Mana tahu suatu masa, nasibnya sama dengan Baidul Haq Nasir, perampok dari Banglades yang menyumbangkan hasil kejahatannya untuk amal.

Di kota Chittagong, Baidul Haq Nasir (45 tahun) menyumbangkan ribuan dollar AS hasil kejahatannya selama 20 tahun. Dia sumbangkan untuk anak-anak yatim dan masjid. Polisi mengatakan lembaga yang menerima sumbangan uang tunai darinya itu tidak mengetahui bahwa pemberian tersebut dari hasil kejahatan. Baidul Haq Nasir kemudian dijuluki media massa sebagai Robin Hood masa kini. Robin Hood adalah tokoh cerita rakyat yang merampok orang kaya pada abad pertengahan Inggris. Dia kemudian memberikan hasil rampokannya kepada orang miskin.
Bagi sahabat, tetangga dan kenalan bisnisnya, Baidul Haq Nasir merupakan pengusaha kaya yang tinggal di sebuah rumah besar di pinggiran Chittagong. Namun, para pejabat polisi mengatakan Baidul Haq Nasir kenyataannya adalah maling pembobol rumah dan kantor. Dia juga pencuri perhiasan yang memiliki kontak dengan dunia kejahatan.

Kedermawanannya dalam menyumbang dari hasil kejahatannya membuat status Baidul Haq Nasir terhormat di kalangan penduduk pedesaan sekitar Chittagong.
Ketika ditangkap, dia memohon keringanan hukuman karena dia maling baik hati.
Perangai berjubah agama ini pernh terjadi dengan Raden Said, yang kemudian dikenal dengan nama Sunan Kalijaga. Ketika menguasai hutan Jatiwangi, ia dijuluki perampok budiman. Hasil rampokannya itu tak pernah dimakannya. Seperti dulu, selalu diberikan kepada fakir miskin. Yang dirampoknya hanya para hartawan atau orang kaya yang kikir, tidak menyantuni rakyat jelata, dan tidak mau membayar zakat. Di hutan Jatiwangi dia membuang nama aslinya. Orang menyebutnya sebagai Brandal Lokajaya.

Pada suatu hari, ada seorang berjubah putih lewat di hutan Jatiwangi. Dari jauh Brandal Lokajaya sudah mengincarnya. Orang itu membawa sebatang tongkat yang gagangnya berkilauan.
“Pasti gagang tongkat itu terbuat dari emas,” bisik Brandal Lokajaya dalam hati. Terus diawasinya orang tua berjubah putih itu. Setelah dekat dia hadang langkahnya sembari berkata, “Orang tua, apa kau pakai tongkat ? Tampaknya kau tidak buta, sepasang matamu masih awas dan kau juga masih kelihatan tegar, kuat berjalan tanpa tongkat !”

Lelaki berjubah putih itu tersenyum, wajahnya ramah, dengan suara lembut dia berkata, “Anak muda ………. Perjalanan hidup manusia itu tidak menentu, kadang berada di tempat terang, kadang berada di tempat gelap, dengan tongkat ini aku tidak akan tersesat bila berjalan dalam kegelapan.”
“Tapi .......... saat ini hari masih siang, tanpa tongkat saya kira kau tidak akan tersesat berjalan di hutan ini.” Sahut Raden Said. Kembali lelaki berjubah putih itu tersenyum arif, “anak muda ………. Perjalanan hidup manusia itu tidak menentu, kadang berada di tempat terang, kadang berada di tempat gelap, dengan tongkat ini aku tidak akan tersesat
bila berjalan dalam kegelapan.”
“Tetapi .......... saat ini hari masih siang, tanpa tongkat saya kira kau tidak akan tersesat berjalan di hutan ini.” Sahut Radeb Said. Kembali lelaki berjubah putih itu tersenyum arif, “Anak muda tongkat adalah pegangan, orang hidup haruslah mempunyai pegangan supaya tidak tersesat dalam menempuh perjalanan hidupnya.”
Agaknya jawab-jawab yang mengandung filosofi itu tak menggugah hati Raden Said. Dia mendengar dan mengakui kebenarannya tapi perhatiannya terlanjur tertumpah kepada gagang tongkat lelaki berjubah putih itu. Tanpa banyak bicara lagi direbutnya tongkat itu dari tangan lelaki berjubah putih. Karena tongkat itu dicabut dengan paksa maka orang
berjubah putih itu jatuh tersungkur.
Dengan susah payah orang itu bangun, sepasang matanya mengeluarkan air walau tak ada suara tangis dari mulutnya. Raden Said pada saat itu sedang mengamat-amati gagang tongkat yang dipegangnya. Ternyata tongkat itu bukan terbuat dari emas, hanya gagangnya saja terbuat dari kuningan sehingga berkilauan tertimpa cahaya matahari, seperti emas. Raden Said heran melihat orang itu menangis. Segera diulurkannya kembali tongkat itu, “Jangan menangis, ini tongkatmu kukembalikan.”
“Bukan tongkat ini yang kutangisi,” Ujar lelaki itu sembari memperlihatkan beberapa batang rumput di telapak tangannya. “Lihatlah ! Aku telah berbuat dosa, berbuat kesiasiaan. Rumput ini tercabut ketika aku aku jatuh tersungkur tadi.”
“Hanya beberapa lembar rumput. Kau merasa berdosa ?” Tanya Raden Said heran.
“Ya, memang berdosa! Karena kau mencabutnya tanpa suatu keperluan. Andaikata guna makanan ternak itu tidak mengapa. Tapi untuk suatu kesia-siaan benar-benar suatu dosa !” Jawab lelaki itu.
Hati Raden Said agak tergetar atas jawaban yang mengandung nilai iman itu.
“Anak muda sesungguhnya apa yang kau cari di hutan ini ?”
“Saya mengintai harta ?”
“Untuk apa ?”
“Saya berikan kepada fakir miskin dan penduduk yang menderita.”
“Hemm, sungguh mulia hatimu, sayang ...... caramu mendapatkannya yang keliru.”
“Orang tua .......... apa maksudmu ?”
“Boleh aku bertanya anak muda ?”
“Silahkan .......... “
“Jika kau mencuci pakaianmu yang kotor dengan air kencing, apakah tindakanmu itu benar?”
“Sungguh perbuatan bodoh,” sahut Raden Said. “Hanya manambah kotor dan bau pakaian itu saja.”
Lelaki itu tersenyum, “Demikian pula amal yang kau lakukan. Kau bersedekah dengan barang yang didapat secara haram, merampok atau mencuri, itu sama halnya mencuci pakaian dengan air kencing.”
Lantas bagaimana dengan qurban, sedekah dan santunan kita kawan? ***

Pernikahan Bisa Tunda Kematian

on Tuesday, September 6, 2011 at 5:42pm ·
(TULISAN INI DIPUBLIKASI DI HARIAN PAGI VOKAL)
Ketika bertemu kawan-kawan lama, tema yang menarik adalah soal berkeluarga. Menikah dan menikah. Yang sudah ijab Kabul dengan bangga bicara anak bininya sembari mencemooh sang teman yang belum punya pasangan hidup.
Namun dari banyak cemooh yang terlontar, ada satu nasihat bagus dari seorang teman. Ia menyampaikan sambil berkisah. Katanya, suatu ketika, Nabi Daud a.s. duduk di suatu tempat. Di sampingnya, ada seorang pemuda saleh yang duduk dengan tenang tanpa banyak bicara. Tiba-tiba, datang Malaikat Maut yang mengucapkan salam kepada Nabi Daud. Anehnya, Malaikat Maut terus memandang pemuda itu dengan serius.
Nabi Daud berkata kepadanya, "Mengapa engkau memandangi dia?"
Malaikat Maut menjawab, "Aku diperintahkan untuk mencabut nyawanya tujuh hari lagi di tempat ini!"
Nabi Daud pun merasa iba dan kasihan kepada pemuda itu. Beliau pun berkata kepadanya, "Wahai Anak Muda, apakah engkau mempunyai istri?"
"Tidak, saya belum pernah menikah," jawabnya.
"Datanglah engkau kepada Fulan - seseorang yang sangat dihormati di kalangan Bani Israil - dan katakan kepadanya, 'Daud menyuruhmu untuk mengawinkan anakmu denganku.' Lalu, kau bawa perempuan itu malam ini juga. Bawalah bekal yang engkau perlukan dan tinggallah bersamanya. Setelah tujuh hari, temuilah aku di tempat ini."
Pemuda itu pergi dan melakukan apa yang dinasihatkan Nabi Daud kepadanya. Dia pun dinikahkan oleh orang tua si Gadis. Dia tinggal bersama istrinya selama tujuh hari. Pada hari kedelapan pernikahannya, dia menepati janjinya untukbertemu dengan Daud.
"Wahai Pemuda, bagaimana engkau melihat peristiwa itu?"
"Seumur hidupku, aku belum pernah merasakan kenikmatan dan kebahagiaan seperti yang kualami beberapa hari ini," jawabnya.
Kemudian, Nabi Daud memerintahkan pemuda itu untuk duduk di sampingnya guna menunggu kedatangan malaikat yang hendak menjemput kematiannya. Setelah cukup lama menunggu, akhirnya Nabi Daud berkata, "Pulanglah kepada keluargamu dan kembalilah ke sini untuk menemuiku di tempat ini delapan hari setelah ini."
Pemuda itu pun pergi meninggalkan tempat itu menuju rumahnya. Pada hari kedelapan, dia menemui Nabi Daud di tempat tersebut dan duduk di sampingnya. Kemudian, kembali lagi pada minggu berikutnya, dan begitu seterusnya. Setelah sekian lama, datanglah Malaikat Maut kepada Nabi Daud.
"Bukankah engkau pernah mengatakan kepadaku bahwa engkau akan mencabut nyawa anak pemuda ini dalam waktu tujuh hari ke depan?"
Malaikat itu menjawab, "Ya."
Nabi Daud berkata lagi, "Telah berlalu delapan hari, delapan hari lagi, delapan hari lagi, dan engkau belum juga mencabut nyawanya."
"Wahai Daud, sesungguhnya Allah swt merasa iba kepadanya lalu dia menunda ajalnya sampai tiga puluh tahun yang akan datang."
Dalam beberpaa referensi, pemuda itu seseorang yang taat beribadah, ahli munajat, gemar berbuat kebaikan, dan sangat penyayang kepada keluarganya. Menurut sejumlah ulama, boleh jadi, karena amal saleh dan doa-doanyalah, Allah berkenan menunda kematian sang Pemuda.
Mendengar kisah itu, ada seorang kawan langsung pulang mengatakan niatnya untuk menikah. Hmm…Fulan of Fulan! ***

Saya Ingat Nama Fulan

on August 14
(TULISAN INI MENGHIASI HARIAN PAGI VOKAL)
Satu manfaat puasa bulan ini tahun ini adalah Fulan diajarkan mengingat nama orang yang pernah berkenalan dengannya. Ini penting sebagaimana dikatakan psikolog besar, Dale Carnegie bahwa nama seseorang bagi orang yang memiliki nama tersebut adalah suatu kata-kata yang paling merdu dan indah di telinga orang tersebut bahkan dalam bahasa apapun.
Karena begitu pentingnya sebuah nama, tak heran pula. Dale Carnegie, yang mengubah nama belakangnya “Carneye” menjadi “Carnegie”. Alasannya karena di zamannya terkenal seorang miliarder pengusaha baja terkenal bernama Andrew Carnegie. Banyak orang yang mengira kalau Dale Carnegie dan Andrew Carnegie memilki hubungan keluarga, tetapi sama sekali tidak. Sejak saat itulah nama Dale Carnegie melambung bahkan mengalahkan ketenaran Andrew Carnegie sampai saat ini.
Kata orang, nama adalah sebuah pintu gerbang untuk berkenalan dan menjalin hubungan dengan orang lain. Sama-sama mungkin pernah kita alami betapa tidak enaknya ketika kita sering bertemu dan berinteraksi dengan seseorang, tetapi kita tidak tahu namanya.
Jim Farley dengan bakat alaminya mampu menyebut nama depan seseorang bahkan hingga lima puluh ribu orang. Kemampuan Jim Farley ini membantu dirinya menempatkan Franklin D Roosevelt ke Gedung Putih, tatkala dia memimpin kampanye Roosevelt pada tahun 1932. Talenta mengingat nama bisa mengantarkan orang jadi presiden.
Pada awalnya, hal itu sangat sederhana. Setiap kali dia mendapat seorang kenalan baru, dia akan mencari tahu nama lengkapnya beserta beberapa fakta tentang keluarganya, bisnis, dan opini politiknya. Dia menanamkan fakta-fakta ini ke dalam pikirannya sebagai bagian dari gambaran, dan lain kali ketika dia berjumpa dengan orang itu, bahkan meskipun itu terjadi setahun kemudian, dia bisa menjabat tangannya, menerangkan tentang keluarganya, dan menanyakan tentang tanaman hias di kebun belakang. Tidak heran bila kemudian mengembangkan perolehan banyak pengikut.
Jim Farley sudah menemukan jauh lebih dini dalam kehidupan. Bahwa rata-rata orang menaruh minat kepada namanya sendiri daripada nama orang lain di bumi ini digabung menjadi satu. Ingatlah nama itu dan panggillah dengan sikap bersahabat, dan Anda sudah memberikan pujian yang sangat efektif. Namun jika Anda melupakannya atau salah menyebutnya – Anda sudah membuat diri Anda mendapat banyak kerugian. ***

Coba Salahkan Diri Sendiri

(TULISAN INI MENGHIASI HALAMAN HARIAN PAGI VOKAL)
Pada halaman 26 buku How To Win Friends and Influence People karya Dale Carnegie termaktub petuah bijak. Seorang pendiri toko-toko Amerika yang memakai namannya, Wanamaker pernah mengatakan sembilan puluh sembilan kali dari seratus, orang tidak mengkritik dirinya sama sekali, tidak peduli betapa salahnya apa yang sudah dilakukannya.
Tersebutlah sebuah peristiwa. Pada tanggal 7 Mei 1931, perburuan penjahat paling sensasional di kota New York yang pernah dikenal akhirnya sampai pada klimaksnya. Setelah berminggu minggu pencarian, Crowley si ” Dua Senjata”- sang pembunuh, perampok bersenjata yang tidak merokok dan tidak minum minuman keras-berada dalam posisi bertahan, terjebak dalam apartemen kekasihnya di West End Avenue.
Seratus limapuluh polisi dan detektif mengepung tempat persembunyiannya. Mereka membuat lubang lubang di atap, mereka berusaha memancing keluar Crowley, si ”pembunuh polisi”, dengan gas air mata. Kemudian mereka menyiapkan senapan mesin di gedung gedung di sekitarnya, dan selama lebih dari satu jam area pemukiman New York dipenuhi suara letusan senjata. Crowley merangkak di belakang kursi, membalas tembakan polisi tanpa henti. Sepuluh ribu orang tercekam menyaksikan pertempuran ini. Belum pernah kejadian seperti ini terjadi di pinggir jalan kota New York.
Ketika Crowley tertangkap, Komisaris Polisi E.P. Mulrooney menyatakan bahwa si bandit dua senjata merupakan salah satu dari kriminal paling berbahaya yang pernah tercatat dalam sejarah Kota New York. ” Dia akan membunuh,” ujar sang Komisaris,”hanya karena jatuhnya sehelai bulu.”
Tetapi bagaimana Crowley si ”Dua Senjata” memandang dirinya sendiri? Tatkala polisi memberondong apartemennya, dia menulis sepucuk surat yang ditujukan ”Untuk Yang Berkepentingan.” Dan ketika dia menulis, darah mengalir dari lukanya meninggalkan jejak merah di kertas. Dalam suratnya ini, Crowley berkata,”Di balik pakaian saya, ada sebuah hati yang letih, tapi sebuah hati yang baik, hati yang tidak tega melukai siapa pun.”
Beberapa saat sebelum ini terjadi, Crowley baru saja mengadakan pesta kencan dengan pacarnya di pinggir kota Long Island. Tiba-tiba seorang polisi muncul menghampiri mobil dan meminta : ”Coba saya lihat surat mengemudi Anda.” Tanpa berkata sepatah katapun, Crowley menarik picu senjatanya dan menembak polisi itu hingga mandi darah. Tatkala polisi yang menjadi korban itu jatuh, Crowley melompat keluar mobil, merampas senjatanya, dan menembakkan sebutir peluru lagi ke tubuh yang tak berdaya itu. Dan itulah si pembunuh yang berkata,” Di balik pakaian saya ada sebuah hati yang letih, tapi sebuah hati yang baik, hati yang tidak tega melukai siapa pun.”
Begitu dia tiba di penjara Sing sing, apakah dia berkata,” Ini yang saya peroleh karena membunuhi orang-orang?” Tidak ! tapi dia berkata,”Ini yang saya peroleh karena membela diri.” Akhirnya Crowley dihukum mati di atas kursi listrik.
Al Capone, pemimpin gang paling kejam yang pernah membantai kota Chicago tidak pernah mengutuk dirinya sendiri : ”Saya sudah melewatkan tahun tahun dalam hidup saya untuk memberi orang-orang kesenangan, membantu mereka menikmati hidup, dan apa yang saya peroleh adalah perlakuan kejam, sebagai orang buronan yang diburu-buru polisi.”
Al Capone sebenarnya menganggap dirinya sebagai dermawan, seorang dermawan yang tidak dihargai dan seseorang yang dimengerti secara keliru.
Dutch Schultz, salah satu penjahat paling terkenal di New York, mengatakan dalam wawancara koran bahwa dia seorang dermawan publik, dan dia percaya itu.
Kalau Crowley si ”Dua Senjata”, Al Capone, dan Dutch Schultz tidak pernah menyalahkan diri mereka sama sekali.
Itulah manusia wahai kawan! Ilmu senter yang dipakainya. Orang disigi, sementara dirinya tidak ditelisik dengan cahaya kebenaran. Yang salah itu orang lain, dirinya tak pernah khilaf. Barangkali kita juga begitu Fulan! ***

Obat Diet dari Sang Ulama

(DIPUBLIKASI DI HARIAN PAGI VOKAL)
Jika Tuan punya waktu senggang, berjalan-jalanlah keliling Kota Pekanbnaru. Tenggoklah setiap restoran atau tempat jualan makanan. Pasti ramai. Orang antre begitu panjang.
Sepertinya kultur perut sudah mewabah dalam kehidupan warga. Orang mementingkan makan dan mengutamakan isi sumatera tengah. Berbeda dengan toko buku dan pustaka, Tidak seramai di restoran. Kalau pun ada yang berkunjung ke pustaka, paling mereka mencari suasana kesejukan. Usai itu tidur.
Karena itu Tuan, tak heran kalau warga kota ini sudah banyak yang gemuk. Badannya melar. Tetangga Fulan juga begitu. Seakan-akan tubuhnya tidak mampu lagi menopang badan raksasanya itu. Setiap hari mereka mengeluhkan dan setiap sebentar pula mereka melakukan diet. Namun badan tak juga susut bobotnya.
He…he…he… Fulan jadi segan memberi resep diet yang mujarab untuk sang tetangga. Tapi tidak untuk pembaca. Ini resepnya kawan. Ini tentang sebuah peristiwa unik yang terjadi di zaman Khalifah Harun Al Rasyid. Saat itu beliau sedang bingung mengenai kondisi badannya yang kian gendut saja atau dalam istilah sekarang kita menyebutnya obesitas. Saat itu semua tabib dan ahli kesehatan telah dipanggil oleh sang Khalifah agar dapat menyembuhkan alias memberi obat supaya berat badannya dapat turun. Namun semua jampi dan saran yang dianjurkan oleh para ahli itu ternyata nihil belaka. Berat badan dan bentuk tubuh sang Khalifah tetap saja melar. Suatu hari di tengah-tengah rasa putus asanya, khalifah memanggil seorang ulama dan menceritakan masalahnya tersebut. Sang ulama itu mendengarkan dengan seksama penjelasan sang khalifah dan tak ada sepatah katapun yang meluncur dari lisannya. Hingga saat khalifah menuntaskan ceritanya, ulama itu hanya berucap satu kata saja. “Khalifah Ar Rasyid yang mulia, beberapa hari lagi anda akan mati!”
Demi mendengar ucapan sang ulama’ yang tidak mungkin berbohong itu, khalifah berhari-hari hanya termenung ketakutan karena mengetahui kabar bahwa usianya telah dekat untuk dikhatamkan oleh Izrail. Berhari-hari khalifah tidak begitu selera makan, minum dan beraktifitas seperti biasanya. Yang ada dalam tempurung benaknya hanyalah bagaimana dia akan menghadapi ajalnya sebentar lagi. Lambat laun waktu berganti dan tubuh khalifah terlihat lebih kurus dari sebelumnya. Itu semua tidak lain karena disebabkan oleh ketakutan pikirannya akan kematiannya.
Setelah beberapa waktu lamanya, sang ulama itu menghampiri istana khalifah untuk melihat kondisi pemimpin rakyat itu. Demi mengetahui kedatangan sang ulama, khalifah merasa senang sekaligus bercampur takut. Senang karena dia dapat mengungkapkan segala ketakutannya dan cemas karena usianya kata ulama itu akan segera habis. Setelah mengucap salam dan dipersilahkan duduk oleh khalifah, ulama itu bertanya,”Bagaimana keadaan anda wahai Amirul Mukminin?”
“Ya seperti inilah keadaan saya wahai panutan umat. Setelah anda mengabari saya bahwa beberapa hari lagi saya akan mati, saya tidak enak makan, minum dan tidur. Yang ada dalam pikiran saya hanyalah kematian.”
“Jadi obat saya telah manjur, bukan?”
“Maksud Anda?”
“Iya. Dulu anda sering mengeluhkan berat badan dan bentuk tubuh anda yang berlebihan. Dan anda tidak pernah berhasil mencari solusinya. Dan sekarang apa yang anda idam-idamkan telah anda dapatkan, bukan?”
“Astaqfirullah!” Khalifah terkaget dan baru menyadari akan arah pembicaraan sang ulama.
“Jadi cara menurunkan berat badan Anda adalah dengan Anda memikirkan kematian. Karena tiada hal yang paling menakutkan anak Adam selain hal itu.”
Ingat pesan Rasulullah, “Perbanyaklah mengingat penghancur segala kenikmatan!” Apakah penghancur segala kenikmatan yang dimaksud sang nabi yang mulia itu. Jawabannya adalah kematian. Dengan mengingat kematian kita akan dapat menjalani hidup dengan lebih bertanggung jawab. ***

Pangeran yang Mati Miskin

on Tuesday, July 19, 2011 at 7:38am ·
(TULISAN INI DIPUBLIKASI DI HARIAN PAGI VOKAL)
Pernah Anda bertemu dengan anak angkat kepala di daerah ini? Jika pernah, Anda akan geleng-geleng kepala. Anak angkat saja sudah begitu sombongnya, apalagi anak kandung.
Ya begitulah! Kalau bapaknya bupati, ia lebih bupati dari bapaknya. Kalau bapaknya gubernur, ia lebih gubernur dari ayahnya. Main perintah dan serba mewah. Padahal bapaknya setiap kasih kata sambutan selalu tak lupa bicara kezuhudan dan tetek bengek nilai agama lainya.
Malah suatu hari, Fulan pernah mendengar sang kepala daerah bercerita tentang putra Khalifah Harun Ar Rasyid yang datang ke istana ayahnya. Khalifah sedang duduk bersama ajudan pribadinya, para pejabat dan tamu-tamu terhormat lainnya. Sedangkan puteranya yang berumur 16 tahun itu berpakaian sangat sederhana, dengan sorban di kepalanya. Ketika orang-orang istana itu melihatnya demikian, mereka berkata, "Keadaan anak ini menghina Amirul Mukminin di hadapan para bangsawan, jika ia dapat memperingatkannya, mungkin anak itu akan menghentikan kebiasaannya."
Khalifah mendengar ucapan itu, maka ia berkata kepada anaknya, "Anakku sayang, engkau telah mempermalukanku di hadapan para bangsawan."
Anak itu tidak berkata sepatah katapun atas ucapan ayahnya. Bahkan ia memanggil seekor burung yang bertengger di dekat situ, "Wahai burung, aku memohon kepadamu, demi Dzat yang menciptakanmu, datanglah dan duduklah di atas tanganku."
Burung itu terbang menghampirinya dan hinggap di atas tangannya. Kemudian anak itu menyuruhnya terbang lagi, dan burung itu pun terbang lagi ke tempat semula. Kemudian ia berkata kepada ayahnya, "Ayahku sayang, sesungguhnya kecintaanmu kepada dunia inilah yang memalukan diriku. Aku telah memutuskan untuk berpisah denganmu." Setelah berkata demikian, ia pergi hanya berbekal Al Quran saja.
Ketika ia memohon pamit kepada ibunya, ibunya memberi sebuah cincin yang sangat indah dan mahal, (agar ia dapat menjualnya jika ia memerlukan uang). Anak laki-laki itu pergi ke Basrah, dan bekerja bersama para buruh. Namun ia hanya bekerja pada hari Sabtu saja. Dan ia gunakan upahnya sehari untuk satu minggu, dengan menggunakan (satu danaq) seperenam dirham setiap hari.
Kisah selanjutnya diceritakan oleh Abu Amir Basri., ia berkata, "Pada suatu ketika, sebelah dinding rumahku roboh dan aku membutuhkan seorang tukang batu untuk memperbaikinya. Ada seseorang yang memberitahuku bahwa ada seorang anak laki-laki yang dapat mengerjakan pekerjaan tukang batu. Maka akupun mencarinya. Di luar kota, aku melihat seorang pemuda tampan sedang duduk di tanah sambil membaca Alquran dengan sebuah tas di sisinya. Aku menanyainya, apakah ia mau bekerja sebagai buruh? Ia menjawab, "Tentu, kita telah diciptakan untuk bekerja. Pekerjaan apakah yang tuan inginkan untukku?"
Kukatakan bahwa aku membutuhkan seorang tukang batu untuk mengerjakan bangunan. Ia berkata, "Aku mau asalkan upahku satu dirham dan satu danaq sehari. Dan aku akan berhenti kerja dan pergi ke masjid bila tiba waktu shalat, kemudian kulanjutkan pekerjaan tersebut setelah shalat." Aku menyetujuinya.
Akhirnya ia ikut bersamaku dan mulai mengerjakan dinding itu. Pada sore harinya, aku kembali, dan aku sangat terkejut melihat bahwa ia telah melakukan pekerjaan seperti sepuluh orang tukang batu yang mengerjakannya. Akupun memberinya dua dirham. Tetapi ia menolak upah yang melebihi satu dirham dan satu danaq. Kemudian ia pergi hanya dengan upah yang telah disetujui.
Keesokan paginya, aku pergi lagi mencarinya, tetapi aku diberi tahu bahwa ia hanya bekerja pada hari Sabtu saja. Dan tiada seorangpun yang dapat menemukannya pada hari-hari lainnya. Karena aku sangat puas dengan pekerjaannya, maka kuputuskan untuk menunda pembangunan dindingku pada Sabtu depan. Pada hari Sabtu itu, aku mencarinya lagi dan kudapati ia di tempat yang sama sedang membaca Aquran sebagaimana biasa. Aku mengucapkan salam kepadanya, "Assalamu Alaikum."
"Wa Alaikumus Salam." Balasnya.
Ia bersedia bekerja lagi untukku dengan syarat yang sama. Ia pun ikut bersamaku dan mulai mengerjakan dinding itu lagi.
Disebabkan rasa heranku, bagaimana ia dapat mengerjakan pekerjaan sepuluh orang pekerja seorang diri seperti pada hari Sabtu yang lalu, maka akupun mengintipnya bekerja tanpa sepengetahuannya. Aku melihatnya dengan sangat takjub, bahwa ketika ia meletakkan adukan semen di dinding, maka batu-batu itu dengan sendirinya menyatu. Akhirnya aku sadar dan meyakini bahwa anak itu adalah kekasih Allah Swt. Sebagaimana hamba-hamba-Nya yang khusus saja yang mendapatkan pertolongan ghaib seperti itu dari Allah Swt.
Sore harinya, aku ingin memberinya tiga dirham, tetapi ia hanya mengambil satu dirham dan satu danaq kemudian pergi, sambil berkata, "Aku tidak membutuhkan lebih dari ini."
Sungguh cerita itu hanya enak didengar dan tidak enak dipraktekan oleh keluarga sang pejabat. ***

Buat Kepsek Bermental Pungli

(TULISAN INI MENGHIASI HALAMAN HARIAN PAGI VOKAL)
Semula sang khatib Jumat itu berbicara tentang Kepala Sekolah yang ada di Pekanbaru. Mulai dari sekolah dasar hingga Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Betapa sedihnya, kata khatib, banyak pemimpin sekolah yang rakus. Negara sudah membiayai segalanya, namun dengan segala nafsu keserakahan, ada-ada saja nama program yang dibuat demi bisa mengambil uang wali murid.
Menging-ingat sifat kebanyakan kepala sekolah itu, maka mereka tak ubahnya seperti kisah anjing yang mengigit daging dan lewat jembatan kayu. Daging lepas, perut lapar. Uang tak jadi dapat, jabatan melayang.
Seperti diceritakan nenek moyang kita, kata khatib, ada seekor anjing yang terasa bingung saking laparnya, seharian penuh tidak mendapatkan makanan. Saat senja tiba, akhirnya dengan penuh gairah ia melihat sepotong daging yang lezat di atas tanah, ia bergegas menggondol daging itu dan berlari ke tempat tinggalnya. Dalam hati dia merenung "sungguh beruntung sekali, di luar dugaan bisa mendapatkan daging besar ini, saya harus menikmati dengan sepuasnya."
Sambil berjalan ia berpikir, dan tanpa disadari tiba di sebuah sungai, jika sudah melewati jembatan kecil berarti tempat tinggalnya sudah dekat, berpikir sampai di situ ia lantas menggigit lebih erat lagi daging itu, dan berjalan di atas jembatan penyeberangan. Ia berjalan dengan sangat hati-hati, ketika sampai di tengah jembatan, tanpa sengaja ia memandang ke sungai, dan begitu melihat ke sungai bukan main kagetnya, ia melihat ada seekor anjing di sungai itu, menggondol sepotong daging yang besar dan sedang menatapnya.
Dalam hati ia mulai berpikir "wah, daging yang digondolnya itu tampaknya lebih besar dibanding daging saya ini! Jika saya sedikit lebih galak terhadapnya, siapa tahu mungkin ia akan melepaskan daging itu dan lari!"
Makin dipikir ia semakin gembira, lalu mulai galak terhadap anjing di sungai itu. Namun, anehnya, anjing itu sepertinya tidak takut sedikit pun terhadapnya. Ia memelototkan mata, dan anjing itu juga memelototkan matanya; ia berbalik, anjing itu juga berbalik, ia menghentakkan kaki, anjing itu juga ikut menghentakkan kakinya.
Akhirnya, ia benar-benar marah, dalam hati berpikir "lebih baik aku menggigitnya, ia pasti akan lari, dengan begitu aku bisa mendapatkan daging itu," lalu, ia membuka moncongnya dan menggonggong dengan keras "Auh. auh.auh..."
Begitu ia membuka moncongnya, daging dalam gigitannya lalu tiba-tiba terjatuh ke sungai, menghancurkan tubuh anjing yang berada di sungai itu, dan dalam sekejap tenggelam di dalam air lenyap tak berbekas. Percikan air yang dalam menghancurkan semua mimpi si anjing yang rakus ini, dan ia baru menyadari bahwa ternyata anjing itu adalah bayangan dirinya dalam air.
Lalu dengan sedih ia menangis "kalau tahu begini aku tidak akan sedemikian rakus, namun kini, saya harus menahan lapar lagi, ke mana aku harus mencari makan?"
Banyak orang ingin bisa hidup dengan lebih baik, harus mendapatkan lebih banyak, maka disadari atau tidak dapat mencelakakan kepentingan orang lain, tidak puas dengan apa yang sudah diperolehnya. Bahkan ada yang tak segan-segan merampas barang milik orang lain.
Wahai kata khatib itu, sekadar pembanding kisah, tersebutlah ibu sultan dikenal sebagai seorang dermawan. Ia menanam pohon-pohon sebagai tempat berteduh bagi penduduk Istambul di kala musim panas. Ia juga membiayai jaringan sumur sehingga para penduduk dapat memperoleh air dengan lebih mudah. Ia membangun masjid, sekolah, juga rumah sakit, yang ia bantu dengan lahan yang menghasilkan pemasukan. Sehingga, semua itu dapat berfungsi selama-lamanya.
Ketika rumah sakit tersebut sedang dibangun, ia mengunjungi lokasinya. Di sana ia melihat seekor semut jatuh ke dalam beton yang masih basah. Ia memutuskan bahwa tak ada satu ciptaan pun yang boleh menderita akibat tindakan dermanya. Ia menancapkan payung buatan Prancis miliknya yang mahal kedalam beton tersebut, kemudian mengangkat keluar semut tersebut.
Beberapa tahun kemudian, pada malam kematiannya, beberapa teman dekatnya bermimpi tentang dirinya. Ia tampak muda dan berseri-seri. Dan ketika ia ditanya apakah ia masuk surga karena seluruh dermanya, ia menjawab, “Tidak, keadaan yang kualami sekarang adalah semata-mata karena seekor semut yang kecil.” ***

Saya tak Suka jadi Pengemis

(Tulisan dipublikasi HARIAN PAGI VOKAL, 4 JULI 2011)
Masih terngiang suara Satuan Mahasiswa Pemuda Pancasila Kota Pekanbaru, Riau kepada Gubernur Riau, HM. Rusli Zainal. Sang musafir ilmu menuntut sang Gubri untuk tidak mengemis ke berbagai perusahaan besar yang ada di Provinsi Riau untuk pembangunan gedung Avenue PON 2012.
Provinsi ini kaya, jangan orang kaya bermental pengemis. Berbahaya kalau karakter sudah jungkir balik. Jatuh marwah diri kalau semuanya diminta-minta. Kita harus berdiri di atas kaki sendiri. Kalau ada yang mau membantu, ya bantulah.  Jangan orang memberi, tapi merasa dipaksa.
Jangan pula lantaran kita berkuasa, kekuasaan dipergunakan sewenang-wenang atas label partisipasi untuk kemajuan. Tidak benar itu wahai Fulan! Yang benar membangun dengan semangat kesadaran dan rasa cinta yang mendalam!
Upss…tersadar Fulan dibuatnya. Sudah lancang diri ini menceramahi pejabat berkuku dan bergigi. Sebelas dengan jari Fulan aturkan mohon maaf Tuan! Tapi Tuan, ada sebuah cerita yang patut kita baca bersama. Mana tahu elok buat penghalusan rasa hati.
Tersebutlah seorang pemuda yang sedang lapar pergi menuju restoran jalanan dan iapun menyantap makanan yang telah dipesan. Saat pemuda itu makan datanglah seorang anak kecil laki-laki menjajakan kue kepada pemuda tersebut, "Pak, mau beli kue, Pak?"
Dengan ramah pemuda yang sedang makan menjawab "Tidak, saya sedang makan".
Anak kecil tersebut tidaklah berputus asa dengan tawaran pertama. Ia tawarkan lagi kue setelah pemuda itu selesai makan, pemuda tersebut menjawab "Tidak dik, saya sudah kenyang".
Setelah pemuda itu membayar ke kasir dan beranjak pergi dari warung kaki lima, anak kecil penjaja kue tidak menyerah dengan usahanya yang sudah hampir seharian menjajakan kue buatan bunda. Mungkin anak kecil ini berpikir "Saya coba lagi tawarkan kue ini kepada bapak itu, siapa tahu kue ini dijadikan oleh-oleh buat orang dirumah".
Ini adalah sebuah usaha yang gigih membantu ibunda untuk menyambung kehidupan yang serba pas-pasan ini. Saat pemuda tadi beranjak pergi dari warung tersebut anak kecil penjaja kue menawarkan ketiga kali kue dagangan.
"Pak mau beli kue saya?" pemuda yang ditawarkan jadi risih juga untuk menolak yang ketiga kalinya, kemudian ia keluarkan uang Rp 1.500,00 dari dompet dan ia berikan sebagai sedekah saja.
"Dik ini uang saya kasih, kuenya nggak usah saya ambil, anggap saja ini sedekahan dari saya buat adik".
Lalu uang yang diberikan pemuda itu ia ambil dan diberikan kepada pengemis yang sedang meminta-minta. Pemuda tadi jadi bingung, lho ini anak dikasih uang kok malah dikasih kepada orang lain.
"Kenapa kamu berikan uang tersebut, kenapa tidak kamu ambil?"
Anak kecil penjaja kue tersenyum lugu menjawab, "Saya sudah berjanji sama ibu di rumah ingin menjualkan kue buatan ibu, bukan jadi pengemis, dan saya akan bangga pulang ke rumah bertemu ibu kalau kue buatan ibu terjual habis. Dan uang yang saya berikan kepada ibu hasil usaha kerja keras saya. Ibu saya tidak suka saya jadi pengemis".
Pemuda tadi jadi terkagum dengan kata-kata yang diucapkan anak kecil penjaja kue yang masih sangat kecil buat ukuran seorang anak yang sudah punya etos kerja bahwa "kerja itu adalah sebuah kehormatan", kalau dia tidak sukses bekerja menjajakan kue, ia berpikir kehormatan kerja dihadapan ibunya mempunyai nilai yang kurang, dan suatu pantangan bagi ibunya, anaknya menjadi pengemis, ia ingin setiap ia pulang kerumah ibu tersenyum menyambut kedatangannya dan senyuman bunda yang tulus ia balas dengan kerja yang terbaik dan menghasilkan uang.
Kemudian pemuda tadi memborong semua kue yang dijajakan lelaki kecil, bukan karena ia kasihan, bukan karena ia lapar tapi karena prinsip yang dimiliki oleh anak kecil itu "kerja adalah sebuah kehormatan" ia akan mendapatkan uang kalau ia sudah bekerja dengan baik. ***

Fulan Batal jadi Khatib Jumat

(TULISAN INI DIPUBLIKASI HARIAN PAGI VOKAL, 25 JUNI 2011)
Fulan sudah berencana jadi khatib Jumat di sebuah masjid. Layaknya seorang khatib, semuanya sudah disiapkan. Pakai baju bersih dan bagus pun sudah. Bercukur sedari pagi dan potong kuku sebelum matahari merangkak naik.
Bahan akan yang disampaikan pun sudah dikonsep. Sudah terbayang bagaimana dahsyatnya kalau tema yang dikupas dipaparkan di hadapan jamaah.
Coba bayangkan sama Tuan! Fulan mengangkat perkara kehidupan menuju neraka. Dalam suatu riwayat bahwa pada hari kiamat nanti ada suara yang menyeru: “Hadirkan Fir’aun ke mari. Tak lama kemudian Fir’aun datang. Topinya terbuat dari api neraka, pakaiannya baju gatharan atau tir, sedangkan tunggangannya seekor babi. Tiba-tiba ada seruan lagi: Mana orang-orang yang sombong dan takabur? Merekapun pada berdatangan, lantas berangkat ke neraka bersama-sama di bawah pimpinan Fir’aun.
Seruan kedua datang menyusul: Mana Qabil? Sekejap Qabil sudah dihadirkan. Setelah itu ada seruan untuk umum: Mana orang-orang yang pendengki? Berduyun-duyun mereka berdatangan. Mereka berkemas berangkat ke neraka bersama Qabil yang menjadi pemimpinnya.
Seruan ketiga tak kalah kerasnya: Mana Ka’ab bin Asyraf, pemuka ulama Yahudi? Ka’ab pun segera dihadirkan. Kemudian menyusul seruan berikutnya: Mana orang-orang yang menyembunyikan kebenaran dan ilmu? Setelah berkumpul, para malaikat menggiring mereka ke neraka, sedangkan Ka’ab berada di depan sebagai pemimpinnya.
Seruan keempat bertiup keras lagi: Mana Abu Jahal? Tak terlalu lama Abu Jahal sudah hadir. Seperti sebelumnya, segera disusul seruan berikutnya: Mana orang-orang yang mendustakan Allah dan Rasul-Nya? Mereka berjalan menuju neraka dipimpin oleh Abu Jahal.
Seruan kelima pun terdengar lagi: Mana Walid bin Mughirah? Walid datang, disusul kemudian seruan lagi: Mana orang-orang yang selalu mengejek kaum muslimin yang fakir? Walid menjadi pemuka mereka menuju neraka.
Seruan keenam berdengung kembali: Mana Ajda, seorang yang celaka akibat kegandrungannya pada perbuatan liwath yang menjadi tradisi kaum Nabi Luth? Ajda pun datang, menyusul seruan berikutnya: Mana orang-orang yang melakukan liwath? Merekapun diseret ke neraka oleh para malaikat, dan Ajda menjadi pemimpinnya.
Untuk ketujuh kalinya seruan itu berkumandang lagi: Mana Umru’ul Qais? Seperti sulapan, iapun didatangkan dalam waktu sekejap saja. Kemudian disusul seruan berikutnya: Mana orang orang yang ahli sastra dan syair yang berdusta? Segera mereka berkumpul, dan di bawah kepemimpinan Umru’ul Qais mereka berangkat menuju neraka.
Seruan kedelapan lagi-lagi berkumandang: Mana Musailamah Al-Kadzdzab? Diapun didatangkan, dan atas inisiatifnya sendiri ia memanggil orang-orang yang mendustakan Alquran. Mereka berangkat ke neraka bersama-sama.
Kini terdengar seruan yang terakhir: Mana Iblis terkutuk? Tak lama Iblispun sudah berada di depan. Seperti sudah mengerti maksud pemanggilannya, iapun berkata: “Wahai Hakim Yang Maha Adil, datangkanlah kepadaku tentaraku, para mu’adzinku, para pembacaku, mereka yang sejalan denganku, para menteriku, para ahli fiqihku, para penjagaku, para pedagangku, dan para pemukul genderangku, serta para penghalauku”!
Iblis terkutuk dan terusir ditanya, siapakah para sekutumu itu? Dengan jujur iapun berkata: “Tentaraku adalah mereka yang mempunyai sifat rakus, para mu’adzinku adalah orang-orang yang salah bacaannya, sedangkan para pembacaku adalah mereka yang berprofesi sebagai penyanyi. Adapun orang-orang yang sejalan denganku adalah mereka yang mengiris muka dan tangannya kemudian diberi nilai serta siapa saja yang ingin diperlakukan demikian.
Para ahli fiqihku adalah mereka yang mengejek orang-orang yang mengusahakan barang halal. Sedangkan para penjagaku adalah mereka yang mendatangi lemari arak dan yang tidak mau membayarkan zakatnya. Adapun para pedagangku adalah mereka yang memperdagangkan barbathah (barang dan bunga terlarang), para pemukul genderangku adalah pemain musik, sedangkan para penghalauku adalah mereka yang menanam pohon-pohon anggur untuk dijadikan minuman memabukkan.”
Kemudian keluarlah seekor ular yang panjang lehernya sejauh tujuh puluh tahun perjalanan. Ular itu mengumpulkan mereka semua, lalu menggiringnya ke neraka. Situasi pada saatnya benar-benar kacau. Semua orang panik memikirkan nasibnya sendiri. Tidak ada yang hirau pada nasib orang lain. Semua ingin membebaskan dirinya dari nasib buruk yang menimpanya, sementara tak seorangpun di antara mereka yang tidak mengakui kesalahannya.
Inilah kehidupan akhirat! Inilah masa menuju pengadilan maha Adil. Lantas dimana dan apa diri kita sekarang ini wahai cucu Adam!
Sedang asyik-asyik membaca bahan, berderinglah telepon Fulan! Rupanya dari pengurus masjid. Kata sang pengurus, bapak tak jadi khatib, karena asosiasi ulama setempat akan menurunkan anggotanya untuk jadi khatib dengan membawa pesan penguasa.
Hmm…Fulan hanya bisa tertawa. Beginilah ulama zaman sekarang. Ia dekat dengan lingkaran kekuasan dan jadi juru bicara sang penguasa. Sedikit-sedikit pesan penguasa, pesan penguasa tak sedikit. Lantaklah wahai pewaris nabi! ***

Cacing tak Mau Jadi Manusia

(TULISAN INI MENGHIASI HALAMAN 2 HARIAN PAGI VOKAL)
Fulan tertawa terbahak-bahak. Betul-betul gila. Gara-gara seorang warga kencing di danau, airnya dikeringkan. Itulah yang terjadi pada Danau Pristine di negara bagian Oregon, Amerika Serikat.
Air danau terpaksa dikeringkan hanya karena seorang lelaki kencing di sana. Kendati para ahli mengatakan air kencing tidak akan berpengaruh terhadap kualitas air minum, namun pengeringan danau tetap dilakukan.
David Shaff, penanggungjawab biro air minum Portland, mengatakan danau harus segera dikeringkan. Bukan karena masalah kesehatan, namun karena ulah Joshua Seater, 21, membuat banyak orang jijik meminum air olahan dari danau itu.
"Saya tidak bisa membayangkan banyak orang yang berkata 'saya bikin jus jeruk pakai air danau pagi ini'. Apakah kalian mau meminum air kencing? Banyak orang yang akan marah," ujar Shaff dilansir dari laman The Telegraph.
Pengeringan danau yang menampung delapan juta gallon air tersebut menghabiskan biaya sebesar US$36.000 atau sekitar Rp309 juta. Para ahli menilai tindakan ini terlalu berlebihan.
Mereka mengatakan bahwa kencing di danau tidak akan merusak kualitas air minum. Mereka juga menambahkan bahwa air kencing yang hanya seberat delapan ons akan dengan cepat terurai di dalam air.
Seater mengaku bersalah atas tindakan tersebut. Dia mengaku tidak tahu bahwa danau itu tempat penampungan air minum. "Saya melakukan tindakan bodoh. Saya tidak tahu kalau itu penampungan air minum, saya kira hanya saluran air." Ulahnya ini tidak sampai membuatnya di penjara, namun dia akan dikenakan denda.
Lain Amerika tidak sama dengan negara kita. Di negeri ini malah ada istilah WC terpanjang. Pada aliran sungai, di sana orang kencing. Malah tidak sekadar air pipis, berak pun di sana. Hmm…malah mandi juga di sana. Tak tertutup pula kemungkinan, air itu juga untuk air minum.
Oh…dunia betapa berbedanya kita dengan sana. Apakah lantaram kita adalah makhluk seperti yang disindir cacing? Jika kawan belum tahu, elok simak kisah ini!
Suatu hari, Allah Swt. memerintahkan malaikat Jibril untuk pergi menemui salah satu makhluk-Nya, yaitu kerbau dan menanyakan pada si Kerbau apakah ia senang telah diciptakan oleh Allah Swt. sebagai seekor kerbau. Malaikat Jibril segera pergi menemui si Kerbau.
Di siang yang panas itu, si Kerbau sedang berendam di sungai. Malaikat Jibril mendatanginya kemudian mulai bertanya kepada si kerbau, “Hai, Kerbau! Apakah kamu senang telah diciptakan oleh Allah Swt. sebagai seekor kerbau?” Si Kerbau menjawab, “Alhamdulillah, saya bersyukur kepada Allah Swt. yang telah menciptakan saya sebagai seekor kerbau, dari pada saya dijadikan-Nya sebagai seekor kelelawar yang mandi air kencingnya sendiri.” Mendengar jawaban itu Malaikat Jibril As. segera pergi menemui seekor kelelawar.
Malaikat Jibril As. mendatangi seekor kelelawar yang siang itu sedang tidur bergantungan di dalam sebuah gua. Kemudian mulai bertanya kepada si kelelawar, “Hai, Kelelawar! Apakah kamu senang telah diciptakan oleh Allah Swt. sebagai seekor kelelawar?” “Alhamdulillah, saya bersyukur kepada Allah Swt. yang telah menjadikan saya sebagai seekor kelelawar dari pada dijadikan-Nya seekor cacing. Tubuhnya kecil, tinggal di dalam tanah, berjalannya saja menggunakan perutnya.” Jawab si kelelawar. Mendengar jawaban itu, Malaikat Jibril As. pun segera pergi menemui seekor cacing yang sedang merayap di atas tanah.
Malaikat Jibril bertanya kepada si cacing, “Wahai, Cacing kecil! Apakah kamu senang telah diciptakan Allah Swt. sebagai seekor cacing?” Si Cacing menjawab, “Alhamdulillah, saya bersyukur kepada Allah Swt. yang telah menciptakan saya sebagai seekor cacing, dari pada saya dijadikan-Nya sebagai seorang manusia. Apabila mereka tidak memiliki iman yang sempurna dan tidak beramal saleh, ketika mereka mati mereka akan disiksa selama-lamanya.”
Hmm.,.orang Indonesia! Hmm…umat nabi terakhir! ***

Bekal Nenek Pulang Kampung

(TULISAN INI MENGHIASI HALAMAN 2 HARIAN PAGI VOKAL)
Majelis taklim tempat tinggal Fulan lagi mengadakan pengajian. Acara mingguan kali ini agak beda. Majelis tak mengundang penceramah. Yang ada hanya diskusi dan berbagi.
Ketika itu mereka mendadar sebuah kisah di masjid Al-Falah, sebuah masjid yang didirikan oleh orang-orang Indonesia di Berlin. Tersebutlah seorang anak bangsa ini yang suka ke rumah Tuhan. Ini jalan ceritanya yang dilansir ratnautami.com; Sabtu lalu saya sekeluarga bergegas ke masjid Al-Falah. Khawatir acara pengajian yang biasa diadakan tiap penghujung bulan itu sudah dimulai, kami berlari-lari kecil sambil diiringi tawa riang anak-anak mengejar bis yang hampir saja meninggalkan kami.
Yah apa boleh buat, sekalipun bis bisa terkejar, kami tetap terlambat 10 menit dari acara yang ditetapkan. Eh begitu masuk masjid, ternyata suasana masih lengang, saya hanya melihat beberapa ibu dan panitia yang sedang mengecek sound system, dan lain-lain. Saya segera menyalami beberapa ibu yang sudah hadir tadi kemudian mencari posisi duduk di pojokan dekat heizung (pemanas ruangan).
Tak lama seorang ibu lebih dari separuh baya (mungkin sekitar 70 tahunan) menghampiri saya. Saat melangkah, beliau berjalan tertatih-tatih, raut mukanya sedikit mengernyit, seperti menahan sakit. Saya bantu beliau duduk menyender di heizung, lalu mulailah kami saling menanyakan kabar.
Saya mengenal sosok ibu tersebut belum lama ini. Namun nama beliau sudah lebih duluan akrab di telinga saya karena seorang sahabat menceritakan tentang beliau yang rutin mengaji privat pada sahabat saya itu. Akhir-akhir ini beliau sering saya lihat mendatangi masjid saat ta'lim ibu-ibu tiap hari Selasa. Saya mendengar pula dari sahabat yang lain, beliau juga selalu datang di hari Jumat.
Entah mengapa, setiap pandangan kami berpapasan, hati saya berdesir aneh...mungkin saya jadi teringat ibu saya di kampung halaman. Termasuk sore itu, saat beliau duduk begitu dekat dengan saya. Rambutnya sudah hampir semuanya memutih, namun sorot matanya masih memancarkan semangat. Ini dia, hati saya mulai dijalari rasa ingin tahu lebih banyak untuk mengenalnya.
Ternyata tak lama kemudian beliau bertutur, tinggal lumayan jauh di pinggiran Berlin, bersuamikan orang Jerman dan belum dikaruniai cahaya mata. Sejenak beliau terdiam, pandangannya menerawang, lalu tak lama kemudian meraih putri saya, Nazhifa, memeluknya dengan penuh sayang. Saya merasakan ada semacam kerinduan yang sangat akan kehadiran anak dari sikapnya saat itu. "Tahukah nak, apa yang membuat saya selalu datang kemari?"tanya beliau. Saya tersenyum, namun belum sempat menjawab, beliau segera menjawab sendiri pertanyaan yang dilontarkannya. "Saya ingin Allah meridhai upaya saya saat ini, saya akan terus belajar hingga saya bisa lancar membaca Alquran." "Saya tak memiliki anak yang akan mendoakan saya bila kelak saya meninggal, saya ingin langkah kaki ini yang mesti harus selalu diseret, menjadi peringan siksa di kubur..."
Beliau kemudian menatap saya lama, ada bulir-bulir air mata di sana, saya tertunduk merasa tak kuasa membalas tatapan sedih itu. "Nak, jangan kayak ibu ya nak? Baru belajar Alquran di usia senja gini. Bener-bener ibu menyesal, jangankan untuk menghafal surat, menghapal huruf-huruf saja, ibu sudah kepayahan..." lanjut beliau. Oya, baik-baik juga mendidik anak-anakmu ya nak, biar doa mereka menjadi cahayamu di alam kubur nanti..."
"Insya Allah ibu...terimakasih nasihatnya." jawabku. Alhamdulillah ya Allah, Engkau mengingatkanku lewat ibu itu. Kini saya tahu, kenapa hati saya selalu berdesir tiap kali menatap beliau. Usia dan kelemahan fisiknya, tak menghalangi beliau untuk berangkat mengaji. Yah, saya merasa semangatnya yang menyala-nyala itulah yang menghentak hati saya untuk bisa sesemangat beliau (bahkan harus lebih!) dalam mempersiapkan bekal kepulangan saya dan juga keluarga ke negeri abadi.
Segenap anggota majelis termenung usai menyimak! Dalam menung mereka. Di mata mereka tampak ada buliran air yang mendesak keluar. Oh…Tuhan! Hati kami bersama-Mu ya Allah! ***

Polisi di Pintu Pelantikan Bupati

(TULISAN INI MENGHIASI HALAMAN 2 HARIAN PAGI VOKAL)
Fulan terkejut tatkala pintu belakang kantor DPRD Siak ditutup aparat polisi. Undangan dan masyarakat tidak boleh masuk ke lokasi pelantikan Bupati Siak, Syamsuar.  Yang datang di atas pukul 09.00 WIB, harus lewat pintu depan. Walau mobil diparkir jauh, harus berjalan kaki. Biar berjarak 300 meter, sepertinya tidak dipertimbangkan.
Yang namanya polisi, perintah tutup ya tutup. Tak ada pertimbangan lain-lain. Inilah pangkal balanya. Seorang tokoh masyarakat Riau dari Kota Pekanbaru, pun tidak dibolehkan masuk. Kendati undangan di tangan sebagai karcis masuk, tetap tidak dibolehkan lewat. Marah sang tokoh! “Kalian jangan kaku menjalankan perintah! Masa orang tidak boleh masuk di sini. Kalau tidak boleh, ya tutup saja sedari pagi!” katanya.
Lantas seorang anggota polisi berkemeja putih menjawab; “Kami di sini menjalankan tugas! Bapak-bapak jangan begitu sama kami,” katanya.
Sontak jawaban itu mendapat tanggapan keras. “Kami juga menjalankan tugas datang  ke sini. Kamu aparat, jangan bicara seperti itu,” balasnya dengan nada tinggi. Belum hilangan gema emosi suara itu, seorang teman sang tokoh marah pula. “Siapa kamu hoi…! Bicara tak sopan!” katanya.

Sang pria berkemeja putih lalu diam sembari menunduk. Lalu datang polisi agak senior.  “Sabar Pak! Kami hanya menjalankan tugas. Namun demikian, kami lapor dulu sama atasan!” katanya. Usai itu, suasana baru agak tenang. Pintu masuk ya pintu masuk wahai Fulan! Kalau sekiranya tidak bisa lewat, alamat malang diri kita. Itulah yang terjadi dengan seorang tokoh sufi besar, Ibrahim bin Adham. Beliau mencoba untuk memasuki sebuah tempat pemandian umum. Penjaganya meminta uang untuk membayar karcis masuk. Ibrahim menggeleng dan mengaku bahwa ia tak punya uang untuk membeli karcis masuk.
Penjaga pemandian lalu berkata, “Jika engkau tidak punya uang, engkau tak boleh masuk.”
Ibrahim seketika menjerit dan tersungkur ke atas tanah. Dari mulutnya terdengar ratapan-ratapan kesedihan.  Para pejalan yang lewat berhenti dan berusaha menghiburnya. Seseorang bahkan menawarinya uang agar ia dapat masuk ke tempat pemandian.
Ibrahim menjawab, “Aku menangis bukan karena ditolak masuk ke tempat pemandian ini.” Ketika si penjaga meminta ongkos untuk membayar karcis masuk, aku langsung teringat pada sesuatu yang membuatku menangis. Jika aku tak diizinkan masuk ke pemandian dunia ini kecuali jika aku membayar tiket masuknya, harapan apa yang boleh kumiliki agar diizinkan memasuki surga? Apa yang akan terjadi padaku jika mereka menuntut: Amal salih apa yang telah kau bawa? Apa yang telah kau kerjakan yang cukup berharga untuk boleh dimasukkan ke surga? Sama ketika aku diusir dari pemandian karena tak mampu membayar, aku tentu tak akan diperbolehkan memasuki surga jika aku tak mempunyai amal saleh apa pun. Itulah sebabnya aku menangis dan meratap.”
Dan orang-orang di sekitarnya yang mendengar ucapan itu langsung terjatuh dan menangis bersama Ibrahim.
Dua kejadian dengan dua respon yang tidak sama. Kejadian pertama ada emosi meledak dan yang terakhir ada perenungan mendalam. Yang pertama ada amarah yang bekerja di diri. Manakala mesin amarah sudah hidup, bisa-bisa martabat nafsu yang paling rendah dan kotor di sisi Allah. Segala yang lahir darinya adalah tindakan kejahatan yang penuh dengan perlakuan kejahatan/keburukan. Pada tahap ini hati nurani tidak akan mampu untuk memancarkan sinarnya kerana hijab-hijab dosa yang melekat tebal, lapisan lampu makrifat benar-benar terkunci. Dan tidak ada usaha untuk mencari jalan menyucikannya.
Manusia pada peringakat nafsu amarah ini bergembira bila menerima nikmat tetapi berdukacita dan mengeluh bila tertimpa kesusahan. Peristiwa yang dialami tokoh sufi adalah cerminan betapa hati berfungsi maksimal. Hati dekat Sang Pecipta.
Jika demikian, manakala lewat pintu masuk suatu tempat atau bangunan, apa respon emosi Anda? Jika ada yang bergejolak, Anda sendiri yang tahu apa kadarnya! ***

Aku Menginginkan Tuhan!

(TULISAN INI MENGHIASI HALAMAN 2 HARIAN PAGI VOKAL)
Semula hati Fulan berbunga-bunga melihat paras cantik yang lewat di depannya suatu hari di Pekanbaru. Buku yang sejatinya akan dibeli, tak jadi dibelinya lantaran perasaan begitu memesona. Sungguh indah dan menawan. “Mungkin sosok kaum hawa itu adalah bidadari,” pikir Fulan.
Pikiran kasmaran itu bergelayut terus. Setiap ingin dillupakan, setiap itu pula perasaan menggagumi bertambah. Manakala dilawan, kian rindu melihatnya. Semakin gandrung menatap senyumnya. Oh…Tuhan! Cinta datang pada diri Fulan, tetapi bagaimana dengan gadis itu sendiri?   
Itulah perkara yang melilit Fulan. Jangan-jangan cinta bertepuk sebelah tangan. Diri Fulan saja yang tergila-gila, sementara yang digila-gilai biasa saja. Berbahaya Tuan kalau memang demikian faktanya. Fulan terkena penyakit cinta.
Tidak siang tidak malam, hanya gadis itu seorang yang terbayang. Parahnya nama gadis itu sendiri, Fulan tidak tahu. Benar-benar gawat. Begitu-begitulah hari-hari Fulan. Awalnya indah, sekarang jadi derita. Pandangan pertama begitu menggoda, lalu berujung petaka. Rambut sudah acak-acakan dan tdak terurus. Wajah sudah mulai lesu.
Dalam kondisi yang memprihatinkan itu, Fulan tertidur di sebuah rumah tua. Dalam lelapnya, ada sekelabat bayangan putih duduk di sampingnya. “Wahai anak muda! Aku punya cerita untukmu. Duduklah dan simaklah,” katanya.
Ketika itu, Fulan merasa dirinya mengikuti perintah bayangan putih tersebut. Lalu berkisahlah dia. Pada tahun 1320-1389, ada kejadian menimpa Syamsuddin Muhammad, yang kemudian dikenal dengan nama Hafizh. Dia sang Pujangga Tuhan, penyair-sufi terkemuka. Tatkala berusia 21 tahun, ia bekerja sebagai pembantu pembuat roti. Pada suatu hari, Hafizh disuruh mengantar roti ke sebuah rumah besar. Saat ia sedang berjalan di halaman rumah besar itu, ia bertatap-pandang dengan seorang gadis yang menakjubkannya yang tengah berdiri di teras rumah. Tatap mata sang gadis itu demikian menawan hatinya. Hafizh pun jatuh cinta kepada sang gadis itu, meskipun sang gadis tidak mempedulikannya. Gadis itu putri seorang bangsawan yang kaya raya, sementara ia sendiri hanya seorang pembantu pembuat roti yang miskin. Gadis itu sangat cantik, sementara Hafizh berpostur pendek dan secara fisik tidak menarik, keadaan itu tanpa harapan.
Beberapa bulan berlalu, Hafizh pun menggubah beberapa puisi dan kidung-kidung cinta untuk merayakan kecantikan sang gadis pujaan dan kerinduan kepadanya. Orang-orang mendengarkan ia melagukan puisi-puisinya, dan ia mengulang-ulangnya. Puisi-puisi itu begitu menyentuh, sehingga ia menjadi terkenal di seantero Syiraz.
Hafizh selanjutnya menjadi demikian terpandang sebagai seorang pujangga, dan ia hanya memikirkan kekasihnya itu. Begitu berhasrat ia memenangkan hati sang gadis, ia pun menempuh berbagai upaya. Ia pun melakukan upaya disiplin ruhani yang berat, ia berkhalwat di makam seorang Waliyullah sepanjang malam selama 40 hari. Ia mengikuti sebuah saran, bahwa barangsiapa yang dapat menuntaskan langkah yang berat itu maka hasrat kalbunya akan dikabulkan. Setiap siang ia bekerja di toko roti, dan ketika malam tiba ia pun berkhalwat dan berdzikir sepanjang malam demi cintanya kepada sang gadis. Cintanya demikian kuat, membuatnya mampu menyelesaikan khalwat itu.
Pada fajar di hari ke-40, tiba-tiba muncullah sesosok malaikat di hadapan Hafizh, ia meminta Hafizh untuk mengucapkan apa yang menjadi keinginannya. Hafizh demikian terperangah, ia belum pernah melihat sesosok wujud yang demikian indah dan gemerlapan seperti sang malaikat itu. Dalam keterpukauannya Hafizh berfikir, “Jika utusan-Nya saja begitu indah, pastilah Tuhan jauh lebih indah!”
Sambil menatap cahaya malaikat Tuhan yang berkilauan, lupalah Hafizh menyangkut segala hal tentang sang gadis itu, sirnalah segala keinginanya. Dan, dari lisannya hanya keluar kata-kata: “Aku menginginkan Tuhan!”
Sang malaikat, yakni Jibril as. kemudian mengarahkan Hafizh kepada seorang guru ruhani yang hidup di Syiraz, yaitu Muhammad Aththar, sang pembuat parfum. Jibril as. memerintahkan Hafizh untuk melayani sang guru dengan segala cara, dan keinginanya itu akan terkabul. Hafizh bergegas menemui sang guru, dan mereka memulai bekerja bersama-sama, saat itu juga. Sang pujangga ini adalah seorang penuang Cahaya ke dalam sebuah sendok .
Kata belum sampai benar, Fulan terbangun. Tapi tak ada siapa-siapa di sekitar Fulan. “Hmm…apa maksud semua ini Tuhan,” tanya Fulan dalam hati.***

Berbahagialah Orang yang Pernah Salah

(TULISAN INI MENGHIASI HALAMAN 2 HARIAN PAGI VOKAL)
Entah demi dunia, entah demi apa, Fulan sering pulang malam. Seolah-olah dia tak kenal lagi apa itu siang atau malam. Baginya sama saja, yang penting kerja. Kerja yang menyita waktu dan waktu tersita tak pernah dibahas.
Manakala stress, ia pergi ke pinggir kota. Mana tahu ada sesuatu yang memberi kesejukan hati, kepuasan jiwa dan ketenangan batin. Begitulah sehari-hari Fulan. Kerja, kerja dan pinggir kota. Siklus yang tidak berubah-ubah Tuan!
Namun suatu ketika, tatkala mau pulang ke rumah, Fulan terkejut. Di tengah malam gelap gulita, ia mendengar orang menangis terisak-isak. Usai tangis pilu, ada suara orang membaca Firman Tuhan. Berulang-ulang. Usai baca kitab suci barang satu ayat, lalu tangis lagi. Mendalam dan menusuk kalbu. Perasaan Fulan jadi lain. Ada yang mengelitik nuraninya. Bulu roma berdiri. Hati tertegun sejenak. Mulut terkatup.
Dalam suasana demikian pekat, tapi kenapa air mata Fulan tidak menetes. Apakahnya hatinya sudah beku. Tidakkah ia pernah membaca kisah ulama besar Fudhail bin Iyadh. Atau memang perilaku dan perangai Fulan lebih parah dari ulama kelahiran Samarqand dan dibesarkan di Abi Warda itu?
Ketika Fulan membaca riwayat sufi tersebut, ia sungguh takjub. Namun manakala bertemu dengan suasana yang nyaris sama, responnya berbeda. Apakah memang manusia itu terlahir dengan tingkat kesadaran yang dibeda-bedakan.
Ketika ia membaca kalimat demi kalimat cerita ulama mantan penyamun itu, hatinya terketuk. Ada seorang yang kerjanya hanya mengejar-ngejar hawa nafsu, bergumul dan berkelana di teinpat-tempat maksiat, dan pulang larut malam.Dari tempat itu, dia pulang dalam keadaan sempoyongan. Di tengah jalan, di sebuah rumah, lelaki itu mendengar sayup-sayup seseorang membaca Al-Quran. Ayat yang dibaca itu berbunyi: "Belum datangkah waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kenudian berlalulah masa yang panjang atas mereka, lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang yang fasik (Qs 57: 16).
Sepulangnya dia di rumah, sebelum tidur, lelaki itu mengulangi lagi bacaan itu di dalam hatinya. Kemudian tanpa terasa air mata mengalir di pipinya. Si pemuda merasakan ketakutan yang luar biasa. Bergetar hatinya di hadapan Allah karena perbuatan maksiat yang pemah dia lakukan. Kemudian ia mengubah cara hidupnya. Ia mengisi hidupnya dengan mencari ilmu, beramal mulia dan beribadah kepada Allah SWT., sehingga di abad kesebelas Hijriyah dia menjadi seorang ulama besar, seorang bintang di dunia tasawuf.
Fudhail kembali ke jalan yang benar kerena mengalirkan air mata penyesalan atas kesalahannya di masa lalu lantaran takut kepada Allah SWT. Berbahagialah orang-orang yang pernah bersalah dalam hidupnya kemudian menyesali kesalahannya dengan cara membasahi matanya dengan air mata penyesalan. Mata seperti itu insya Allah termasuk mata yang tidak menangis di Hari Kiamat.
“Apakah sungguh aku tersesat di jalan yang benar Tuan? Apakah hatiku beku? Atau aku adalah hamba yang malang di hari pembalasan? Mata sudah tidak meneteskan air mata lagi. Beri petunjukmu Tuhan pada hamba yang gila kerja ini? Atau ibadahku adalah kerjaku,” kata Fulan yang menundukan kepalanya. ***

Cara Burung Temukan Diri Sendiri

(TULISAN INI MENGHIASI HALAMAN 2 HARIAN PAGI VOKAL)
Di sebuah surau di Rokan Hulu, Fulan tertidur. Usai berzikir, matanya ngantuk. Lalu lelap di sana. Di Negeri Seribu Suluk Fulan menapak jalan spiritual. Namun tatkala seeblum dia bergelut dengan mimpi, bertemulah dengan banyak ragam latar belakang orang.
Ada yang bertato, ada bekas luka kena sabetan parang dan lain sebagainya. Tapi wajah mereka teduh dan nyaman menatapnya. Fulan mulai senang dengan lingkungan baru itu. Sembari memulai adaptasi kesucian, Fulan diajak mendekat oleh seorang guru. Lalu beliau berkisah. Katanya, ia pernah membaca Majalah “KASYAF”, namun edisinya lupa. Akan tetapi inti ceritanya sangat jelas.
Sang guru mulai mengatakan; segala burung di dunia, yang dikenal atau tidak dikenal, datang berkumpul. Mereka sama-sama memiliki satu pertanyaan, siapakah raja mereka? Di antara mereka ada yang berkata, “Rasanya tak mungkin negeri dunia ini tidak memiliki raja. Maka rasanya mustahil bila kerajaan burung-burung tanpa penguasa! Jadi, kita semua memiliki Raja, ya, Raja.”
Semua burung tertegun, seperti ada keraguan yang mengawang-awang. “Keadaan semacam ini tak bisa dibiarkan terus menerus. Hidup kita ini akan percuma bila sepanjang hayat kita, kita tidak pernah mengetahui, dan mengenal siapa Raja kita sesungguhnya.”
Masing-masing dari mereka masih berfikir dan terdiam. Lalu kembali ada yang berteriak, “Lalu apa yang harus kita lakukan?” “Tentu saja kita harus berusaha bersama-sama mencari seorang raja untuk kita semua; karena tidak ada negeri yang memiliki tatanan yang baik, tanpa seorang raja. Mereka pun mulai berkumpul dan bersidang untuk memecahkan persoalan. Burung Hudhud dengan semangat dan penuh rasa percaya diri, tampil ke depan dan menempatkan diri di tengah majelis burung-burung itu. Di dadanya tampak perhiasan yang melambangkan bahwa dia telah memiliki pancaran ruhaniah yang tinggi. Dan jambul di kepalanya tegak berdiri mahkota yang melambangkan keagungan dan kebenaran, dan dia juga memiliki pengetahuan luas tentang baik dan buruk.
Burung-burung sekalian, kata Hudhud, kita mempunyai raja sejati, ia tinggal jauh di balik gunung-gunung Qaf. Ribuan daratan dan lautan terbentang sepanjang perjalanan menuju tempatnya. Namanya Simurgh. Aku kenal raja itu dengan baik, tapi aku tak bisa terbang sendiri menemuinya. Bebaskan dirimu dari rasa malu, sombong, dan ingkar. Dia pasti akan melimpahkan cahaya bagi mereka yang sanggup melepaskan belenggu diri. Mereka yang demikian akan bebas dari baik dan buruk, karena berada di jalan kekasih-Nya. Sesungguhnya Dia dekat dengan kita, tapi kita jauh dari-Nya.
Dikisahkan, pada suatu malam sang Maharaja Simurgh terbang di kegelapan malam. Tiba-tiba jatuhlah sehelai bulunya yang membuat geger seluruh penduduk bumi. Begitu mempesonanya bulu Simurg hingga membuat tercengang dan terheran-heran. Semua penduduk gegap gempita ingin menyaksikan keindahan dan keelokannya. Dan dikatakan kepada mereka, “Andaikata sehelai bulu tersebut tidak jatuh, niscaya tidak akan ada makhluk yang bernama burung di muka bumi ini.”
Kemudian burung Hudhud melanjutkan pembicaraannya, bahwa untuk menggapai istana Simurg mereka harus bersatu, saling bekerja sama dan tidak boleh saling mendahului. Setelah mendengar cerita yang disampaikan oleh burung Hudhud, semua burung-burung bersemangat ingin sekali secepatnya pergi menghadap sang Maharaja Simurg. Namun, burung Hudhud menambahkan, bahwa perjalanan menuju istana Simurg tidak semudah yang dibayangkan, melainkan harus melewati ribuan rintangan dan guncangan dahsyat. Perjalanan juga sarat dengan penderitaan, kepedihan dan kesengsaraan.
“Apakah kalian sudah siap?” kata burung Hudhud, menguji keseriusan mereka. Setelah mereka mendengarkan penjelasan bagaimana suka dukanya, pahit getirnya perjalanan menuju istana Simurg, ternyata semangat sebagian burung menjadi pudar dan turun. Namun, di antara burung-burung, ada seekor burung Kenari yang memberanikan diri menyampaikan pendapatnya, “Aku adalah Imamul Asyiqin, imamnya orang-orang yang asyik dan rindu. Aku sangat keberatan untuk ikut berangkat, bagaimana nanti orang-orang rindu dengan kemerduan kicauanku bila aku harus meninggalkan mereka. Bagaimana mungkin aku dapat berpisah dari kembang-kembang mekarku ?” demikian alasan burung Kenari.
Selanjutnya, burung Merak berkata, “Dulu aku hidup di syurga bersama Adam, lantas aku diusir dari syurga, rasanya aku ingin kembali ke tempat tinggalku lagi. Karena itu, aku tidak mau ikut dalam rombongan.” Kemudian disusul oleh Itik, “Aku sudah biasa hidup dalam kesucian, dan aku juga terbiasa berenang di tempat yang kering kerontang. Aku tidak mungkin hidup tanpa air,” kilah Itik. Begitu juga burung Garuda, “Saya sudah biasa hidup senang di gunung, bagaimana mungkin aku sanggup meninggalkan tempatku yang menyenangkan”, alasan Garuda.
Kemudian disusul burung Gelatik, “Aku hanya seekor burung kecil, dan lemah, takkan mungkin sanggup ikut mengembara sejauh itu,” kata burung Gelatik. Lantas burung Elang ikut menyahut, “Semua orang sudah tahu kedudukanku yang tinggi ini, maka tidak mungkin aku meninggalkan tempat dan kedudukan yang mulia ini, ” kata burung Elang.
Burung Hudhud sebagai pemimpin sangat bijak dan sabar mendengar semua keluhan dan alasan burung-burung yang enggan berangkat. Namun demikian, burung Hudhud tetap bersemangat memberikan dorongan dan motivasi kepada mereka. “Kenapa kalian harus berberlindung di balik dalil-dalil nafsumu, sehingga semangatmu yang sudah membara menjadi padam? Padahal kalian tahu bahwa perjalanan menuju istana Simurgh adalah perjalanan suci, kenapa harus takut dan bimbang dengan prasangka yang ada pada dirimu?” ucap Hudhud.
Kemudian ada seekor burung menyela, “Dengan cara apa kita bisa sampai ke tempat Maharaja Simurgh yang jauh dan sulit itu? “Dengan bekal himmah (semangat) yang tinggi, kemauan yang kuat, dan tabah menghadapi segala cobaan dan rintangan. Bagi orang yang rindu, seperti apapun cobaan akan dihadapi, dan seberapa pun rintangan akan dilewati. Perlu diketahui bahwa Maharaja Simurg sudah jelas dan dekat, laksana matahari dengan cahayanya,” jawab Hudhud meyakinkan. Sabarlah, bertawakkallah, karena bila kalian telah sanggup menempuh perjalanan itu, kalian akan tetap berada dalam jalan yang benar,·demikian lanjut Hudhud.
Setelah itu, bangkitlah semangat burung-burung seolah-olah baru saja mendapatkan kekuatan baru untuk terus melangkah menuju istana Simurg. Akhirnya, burung-burung yang berjumlah ribuan sepakat untuk berangkat bersama-sama tanpa satupun yang tertinggal.
Perjalanan panjang telah dimulai, perbekalan telah disiapkan. Burung Hudhud yang didaulat menjadi pemimpin mereka telah mengatur persiapan, dengan membagi rombongan menjadi beberapa kelompok. Setelah perjalanan cukup lama menembus lorong-lorong waktu, kegelisahan mulai datang menimpa mereka. “Mengapa perjalanan sudah lama dan jauh, kok tidak sampai-sampai?” guman mereka di dalam hati. Mulailah mereka dihinggapi rasa malas karena menganggap perjalanan terlalu lama, mereka bosan karena tidak lekas sampai. Perasaan mereka diliputi keraguan dan kebimbangan. Kemudian sebagian burung ada yang memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan.
Namun burung-burung lain yang masih memiliki stamina kuat dan himmah yang tinggi tidak menghiraukan penderitaan yang mereka alami, dan melanjutkan perjalanan yang maha panjang itu. Tiba-tiba rintangan datang kembali, terpaan angin yang sangat kencang menerpa mereka sehingga membuat bulu-bulu indah yang dibanggakan berguguran. Kegagahan burung-burung perkasa pun mulai pudar. Kedudukan dan pangkat yang tinggi sudah tidak terpikirkan. Berbagai macam penyakit mulai menyerang mereka, kian lengkaplah penderitaan yang dirasakan oleh para burung tersebut. Badan mereka kurus kering, penyakit datang silih berganti membuat mereka makin tidak berdaya. Semua atribut duniawi yang dulu disandang dan dibanggakan, sekarang tanggal tanpa sisa, yang ada hanyalah totalitas kepasrahan dalam ketidak berdayaan. Mereka hanyut dalam samudera iradatullah dan tenggelam dalam gelombang fana’.
Pada akhirnya Cuma sedikit dari mereka yang benar-benar sampai ke tempat yang teramat mulia dimana Simurg membangun mahligainya. Dari ribuan burung yang pergi, tinggal 30 ekor yang masih bertahan dan akhirnya sampai di gerbang istana Simurgh. Namun kondisi mereka sangat memprihatinkan, tampak gurat-gurat kelelahan di wajah mereka. Bahkan bulu-bulu yang menempel di tubuh mereka rontok tak bersisa. Di sini terlihat, meski mereka berasal dari latar belakang berbeda, namun pada proses puncak pencapaian spiritual adalah sama, yaitu dalam kondisi telanjang bulat dan lepas dari pakaian basyariyah.
Kemudian di depan gerbang istana mereka beristirahat sejenak sambil mengatur nafas. Tiba-tiba datang penjaga istana menghampiri mereka, “Apa tujuan kalian susah payah datang ke istana Simurgh?” kata penjaga istana. Serentak mereka menjawab, “Saya datang untuk menghadap Maharaja Simurg, berilah kami kesempatan untuk bertemu dengannya.”
Tanpa diduga, terdengar suara sayup-sayup menyapa mereka dari dalam istana, “Salaamun qaulam min rabbir rahiim” sembari mempersilahkan mereka masuk ke dalam. Lalu mereka masuk secara bersama-sama. Kemudian terbukalah kelambu hijab satu demi satu yang berjumlah ribuan. Mata mereka terbelalak memandang keindahan yang amat mempesona, keindahan yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya, keindahan yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata.
Tatkala seluruh hijab tersingkap, ternyata yang dijumpai adalah wujud dirinya. Burung-burung pun saling bertanya dan terkagum-kagum, “Lho kok aku sudah ada disini?” begitu guman mereka dalam hati. Seolah-olah mereka berada di depan cermin sehingga yang ada adalah wujud dirinya. Maka datanglah suara lembut menjawabnya, “Mahligai Simurgh ibarat cermin, maka siapapun yang sampai pada mahligai ini, tidak akan melihat wujud selain wujud diri sendiri. Perjumpaan ini di luar angan dan pikirmu, dan juga tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata, namun hanya dapat dirasakan dengan rasa. Karena itu, engkau harus keluar dari dalam dirimu sehingga engkau menjadi sosok pribadi Insan Kamil.” Akhirnya, mereka memahami hakikat dirinya, setelah melewati tahapan fana’ billah hingga mencapai puncak baqa’ billah. Maka hilanglah sifat-sifat kehambaan dan kekal dalam ketuhanan. “Aku berusaha menempuh jalan burung ini guru,” kata Fulan. ***

Anak Katak Jelang Hujan Turun

(TULISAN INI MENGHIASI HALAMAN 2 HARIAN PAGI VOKAL)
Petaka politik yang mendera Partai Demokrat sungguh membuat mata banyak orang terbelalak. Partai baru, tapi sudah jadi pemenang. Lalu tersandung masalah bertubi-tubi. Sakit kepala petinggi lembaga demokrasi itu dibuatnya.
Ada yang mengatakan, Partai Demokrat di ambang kehancuran. Baru berada di puncak, sepertinya langsung pula terjungkal. Cepat naik, tak lambat pula turunnya. Itulah siklus kehidupan. Masak karbit, rasanya tak enak. Tak lama matangnya, tak memakan waktu pula untuk busuk. Proses cepat, kadaluarsanya cepat juga.
Namun itu satu persepsi. Ada persepsi lain. Pandangan itu datang dari seorang jamaah surau di Kota Dumai. Ketika mengamati masalah yang melanda partai asuhan SBY itu, iya mengibaratkan Ruhut Sitompul dan Ramadhan Pohan serta kawan-kawan yang gusar itu seperti anak katak menjelang hujan turun.
Takut dan ketakutan dengan waktu yang akan datang. Menyuruk dengan berbagai opini yang macam-macam. Perhatikanlah anak katak yang mengalami kegundahan ketika langit tiba-tiba gelap. "Bu, apa kita akan binasa. Kenapa langit tiba-tiba gelap?" ucap anak katak sambil merangkul erat lengan induknya.
Sang ibu menyambut rangkulan itu dengan belaian lembut. "Anakku," ucap sang induk kemudian. "Itu bukan pertanda kebinasaan kita.
Justru, itu tanda baik," jelas induk katak sambil terus membelai. Dan anak katak itu pun mulai tenang.
Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. Tiba-tiba angin bertiup kencang. Daun dan tangkai kering yang berserakan mulai berterbangan. Pepohonan meliuk-liuk dipermainkan angin. Lagi-lagi, suatu pemandangan menakutkan buat si katak kecil. "Ibu, itu apa lagi? Apa itu yang kita tunggu-tunggu? " Tanya si anak katak sambil bersembunyi di balik tubuh induknya.
"Anakku. Itu cuma angin," ucap sang induk tak terpengaruh keadaan. "Itu juga pertanda kalau yang kita tunggu pasti datang!" tambahnya begitu menenangkan. Dan anak katak itu pun mulai tenang. Ia mulai menikmati tiupan angin kencang yang tampak menakutkan.
"Blarrr!!!" suara petir menyambar-nyambar. Kilatan cahaya putih pun kian
menjadikan suasana begitu menakutkan. Kali ini, si anak katak tak lagi bisa bilang apa-apa. Ia bukan saja merangkul dan sembunyi di balik tubuh induknya. Tapi juga gemetar. "Buuu, aku sangat takut. Takut sekali!" ucapnya sambil terus memejamkan mata.
"Sabar, anakku!" ucapnya sambil terus membelai. "Itu cuma petir. Itu tanda ketiga kalau yang kita tunggu tak lama lagi datang! Keluarlah.
Pandangi tanda-tanda yang tampak menakutkan itu. Bersyukurlah, karena hujan tak lama lagi datang," ungkap sang induk katak begitu tenang. Anak katak itu mulai keluar dari balik tubuh induknya. Ia mencoba mendongak, memandangi langit yang hitam, angin yang meliuk-liukkan dahan, dan sambaran petir yang begitu menyilaukan. Tiba-tiba, ia berteriak kencang, "Ibu, hujan datang. Hujan datang! Horeeee!"
Lantas Fulan bertanya; “Apakah iktibar itu pas untuk kondisi Demokrat?”
“Jelas tepat sekali. Malah siklusnya sudah berulang-ulang layaknya hujan turun dari langit yang berkali-kali ke bumi,” jawab sang kawan.
Kalau memang iya, betapa bijaknya sang induk katak yang memberi kenyamanan, ketegaran dan visi ke anaknya. Lalu bagaimana dengan petinggi Demokrat? Apakah malah menyiramkan bensin pada api yang berkobar atau menambah rasa takut pada tubuh yang mengigil?
Di tengah merenungkan semua itu, Fulan teringat dengan perkataan bijak seseorang; anugerah hidup kadang tampil melalui rute yang tidak diinginkan. Ia tidak datang diiringi dengan tiupan seruling merdu. Tidak diantar oleh dayang-dayang nan rupawan. Tidak disegarkan dengan wewangian harum. Saat itulah, tidak sedikit manusia yang akhirnya dipermainkan keadaan. ***

Fulan Bermimpi Hari Pernikahan

(TULISAN INI MENGHIASI HALAMAN 2 HARIAN PAGI VOKAL) Ini hari pernikahan kawan yang ke seperempat abad. Sang kawan merayakan dengan sangat sederhana. Ada 25 anak yatim dan fakir maskin yang ikut hadir acara yang diformat dalam bentuk syukuran.
Lazimnya perayaan sebelumnya, sepasang suami istri selalu menyugukan kelapa muda berwarna hijau. Sesungguhnya sejarah pertalian hati mereka diikat dengan buah itu. Ketika susah, mereka hanya minum dan makan buah kelapa. Sehingga tidak heran ada kenangan mendalam. Setiap waktu bertepatan dengan hari ijab kabul, mereka selalu meminum dan makan buah kelapa muda.
23 kali sudah tradisi itu dilaksanakan. Namun untuk yang ke-24 kali ini, suasana jadi lain. Sepasang suami istri berebut sembari tertawa. Mereka berlomba mengambil bagian-bagian tertentu. Anak-anak yang malang secara ekonomi itu pun ikut tertawa.
“Ayah! 25 tahun sudah kita hidup bersama. Pada masa susah kita saling menguatkan dan berbagi dengan gembira. Sungguh bahagia bersamamu! Hari ini kita lebih bahagia lagi, lantaran ada 25 anak yatim di sekeliling kita. Semoga doa mereka menjadi lem perekat keabadian cinta ini. Terima kasih anak-anak,” kata sang istri.
Kalimat itu disambut dengan suara gemuruh; “Amien…….,” sahut mereka. Suara itu membuat Fulan terbangun. “Mimpi rupanya aku. Hmm…kenapa mimpi begini ya,” tanya Fulan dalam hati.
Sadar punya sadar, rupanya dia baru baca cerita soal sepasang suami istri. Kisah yang mengelikan; mungkin itu penyebab bunga tidur. Di sebuah gedung pertemuan yang amat megah, seorang pejabat senior istana sedang menyelenggarakan pesta ulang tahun perkawinannya yang ke-50. Peringatan kawin emas itu ramai didatangi oleh tamu-tamu penting seperti para bangsawan, pejabat istana, pedagang besar serta seniman-seniman terpandang dari seluruh pelosok negeri. Bahkan kerabat serta kolega dari kerajaan-kerajaan tetangga juga hadir. Pesta ulang tahun perkawinan pun berlangsung dengan megah dan sangat meriah.
Setelah berbagai macam hiburan ditampilkan, sampailah pada puncak acara, yaitu jamuan makan malam yang sangat mewah. Sebelum menikmati jamuan tersebut, seluruh hadirin mengikuti prosesi penyerahan hidangan istimewa dari sang pejabat istana kepada istri tercinta. Hidangan itu tak lain adalah sepotong ikan emas yang diletakkan di sebuah piring besar yang mahal. Ikan emas itu dimasak langsung oleh koki kerajaan yang sangat terkenal.
“Hadirin sekalian, ikan emas ini bukanlah ikan yang mahal. Tetapi, inilah ikan kegemaran kami berdua, sejak kami menikah dan masih belum punya apa-apa, sampai kemudian di usia perkawinan kami yang ke-50 serta dengan segala keberhasilan ini. Ikan emas ini tetap menjadi simbol kedekatan, kemesraan, kehangatan, dan cinta kasih kami yang abadi,” kata sang pejabat senior dalam pidato singkatnya.
Lalu, tibalah detik-detik yang istimewa yang mana seluruh hadirin tampak khidmat menyimak prosesi tersebut. Pejabat senior istana mengambil piring, lalu memotong bagian kepala dan ekor ikan emas. Dengan senyum mesra dan penuh kelembutan, ia berikan piring berisikan potongan kepala dan ekor ikan emas tadi kepada isterinya. Ketika tangan sang isteri menerima piring itu, serentak hadirin bertepuk tangan dengan meriah sekali. Untuk beberapa saat, mereka tampak ikut terbawa oleh suasana romantis, penuh kebahagiaan, dan mengharukan tersebut.
Namun suasana tiba-tiba jadi hening dan senyap. Samar-samar terdengar isak tangis si isteri pejabat senior. Sesaat kemudian, isak tangis itu meledak dan memecah kesunyian gedung pesta. Para tamu yang ikut tertawa bahagia mendadak jadi diam menunggu apa gerangan yang bakal terjadi. Sang pejabat tampak kikuk dan kebingungan. Lalu ia mendekati isterinya dan bertanya, “Mengapa engkau menangis, isteriku?”
Setelah tangisan reda, sang isteri menjelaskan, “Suamiku…sudah 50 tahun usia pernikahan kita. Selama itu, aku telah dengan melayani dalam duka dan suka tanpa pernah mengeluh. Demi kasihku kepadamu, aku telah rela selalu makan kepala dan ekor ikan emas selama 50 tahun ini. Tapi sungguh tak kusangka, di hari istimewa ini engkau masih saja memberiku bagian yang sama. Ketahuilah suamiku, itulah bagian yang paling tidak aku sukai.” tutur sang isteri.
Pejabat senior terdiam dan terpana sesaat. Lalu dengan mata berkaca-kaca pula, ia berkata kepada isterinya, “Isteriku yang tercinta…50 tahun yang lalu saat aku masih miskin, kau bersedia menjadi isteriku. Aku sungguh-sungguh bahagia dan sangat mencintaimu. Sejak itu aku bersumpah pada diriku sendiri, bahwa seumur hidup aku akan bekerja keras, membahagiakanmu, membalas cinta kasih dan pengorbananmu.”
Sambil mengusap air matanya, pejabat senior itu melanjutkan, “Demi Tuhan, setiap makan ikan emas, bagian yang paling aku sukai adalah kepala dan ekornya. Tapi sejak kita menikah, aku rela menyantap bagian tubuh ikan emas itu. Semua kulakukan demi sumpahku untuk memberikan yang paling berharga buatmu.”
Sang pejabat terdiam sejenak, lalu ia melanjutkan lagi, “Walaupun telah hidup bersama selama 50 tahun dan selalu saling mencintai, ternyata kita tidak cukup saling memahami. Maafkan saya, hingga detik ini belum tahu bagaimana cara membuatmu bahagia.”
Akhirnya, sang pejabat memeluk isterinya dengan erat. Tamu-tamu terhormat pun tersentuh hatinya melihat keharuan tadi dan mereka kemudian bersulang untuk menghormati kedua pasangan tersebut. ***

Wajah Janda Itu Bercahaya

(TULISAN INI MENGHIASI HALAMAN 2 HARIAN PAGI VOKAL)
Menemukan saudari yang menangis karena kesulitan hidup ini, hati Fulan teramat perih. Terbayang susahnya memikul beban kebutuhan sehari-hari tanpa suami. Anak tiga orang, tinggal di rumah kontrakan, dan mata pencarian hanya sebagai pemulung.
Usia si buah hati, lagi-lagi butuh asupan nutrisi untuk perkembangan. Fulan hanya bisa membelai kepala si kecil sembari menyelipkan barang beberapa puluh ribu rupiah di tangannya.
Beberapa bulan kemudian, saudari itu sudah berubah. Dia tidak lagi menangis. Tatapan matanya sudah mulai tegar. Rautan wajah sudah mulai bersinar. Seakan-akan dia bahagia dengan segala keadaan.”Jangan-jangan beliau ini sudah menikah,” pikir Fulan.
Ternyata bukan itu penyebabnya, melainkan sepenggal cerita di majalah bekas yang di punggutnya. Sebuah cerita yang membuat jiwanya kokoh. Ini cerita yang terserak itu;
Pasar malam dibuka di sebuah kota . Penduduk menyambutnya dengan gembira. Berbagai macam permainan, stand makanan dan pertunjukan diadakan. Salah satu yang paling istimewa adalah atraksi manusia kuat.
Begitu banyak orang setiap malam menyaksikan unjuk kekuatan otot manusia kuat ini.
Manusia kuat ini mampu melengkungkan baja tebal hanya dengan tangan telanjang. Tinjunya dapat menghancurkan batu bata tebal hingga berkeping-keping.
Ia mengalahkan semua pria di kota itu dalam lomba panco. Namun setiap kali menutup pertunjukkannya ia hanya memeras sebuah jeruk dengan genggamannya. Ia memeras jeruk tersebut hingga ke tetes terakhir.
'Hingga tetes terakhir', pikirnya.
Manusia kuat lalu menantang para penonton: "Hadiah yang besar kami sediakan kepada barang siapa yang bisa memeras hingga keluar satu tetes saja air jeruk dari buah jeruk ini!"
Kemudian naiklah seorang lelaki, seorang yang atletis, ke atas panggung. Tangannya kekar. Ia memeras dan memeras... dan menekan sisa jeruk... tapi tak setetespun air jeruk keluar. Sepertinya seluruh isi jeruk itu sudah terperas habis. Ia gagal. Beberapa pria kuat lainnya turut mencoba, tapi tak ada yang berhasil. Manusia kuat itu tersenyum-senyum sambil berkata : "Aku berikan satu kesempatan terakhir, siapa yang mau mencoba?"
Seorang wanita kurus setengah baya mengacungkan tangan dan meminta agar ia boleh mencoba. "Tentu saja boleh nyonya. Mari naik ke panggung." Walau dibayangi kegelian di hatinya, manusia kuat itu membimbing wanita itu naik ke atas pentas. Beberapa orang tergelak-gelak mengolok-olok wanita itu. Pria kuat lainnya saja gagal meneteskan setetes air dari potongan jeruk itu apalagi ibu kurus tua ini. Itulah yang ada di pikiran penonton.
Wanita itu lalu mengambil jeruk dan menggenggamnya. Semakin banyak penonton yang menertawakannya. Lalu wanita itu mencoba memegang sisa jeruk itu dengan penuh konsentrasi. Ia memegang sebelah pinggirnya, mengarahkan ampas jeruk ke arah tengah, demikian terus ia ulangi dengan sisi jeruk yang lain. Ia terus menekan serta memijit jeruk itu, hingga akhirnya memeras... dan "ting!" setetes air jeruk muncul terperas dan jatuh di atas meja panggung.
Penonton terdiam terperangah. Lalu cemoohan segera berubah menjadi tepuk tangan riuh.
Manusia kuat lalu memeluk wanita kurus itu, katanya, "Nyonya, aku sudah melakukan pertunjukkan semacam ini ratusan kali. Dan, banyak orang pernah mencobanya agar bisa membawa pulang hadiah uang yang aku tawarkan, tapi mereka semua gagal. Hanya Anda satu-satunya yang berhasil memenangkan hadiah itu. Boleh aku tahu, bagaimana Anda bisa melakukan hal itu?"
"Begini," jawab wanita itu, "Aku adalah seorang janda yang ditinggal mati suamiku. Aku harus bekerja keras untuk mencari nafkah bagi hidup kelima anakku. Jika engkau memiliki tanggungan beban seperti itu, engkau akan mengetahui bahwa selalu ada tetesan air walau itu di padang gurun sekalipun. Engkau juga akan mengetahui jalan untuk menemukan tetesan itu. Jika hanya memeras setetes air jeruk dari ampas yang engkau buat, bukanlah hal yang sulit bagiku".
"Selalu ada tetesan setelah tetesan terakhir. Aku telah ratusan kali mengalami jalan buntu untuk semua masalah serta "kebutuhan yang keluargaku perlukan.
"Namun hingga saat ini aku selalu menerima tetes berkat untuk hidup keluargaku. Aku percaya Tuhanku hidup dan aku percaya tetesan berkat-Nya tidak pernah kering, walau mata jasmaniku melihat semuanya telah kering. Aku punya alasan untuk menerima jalan keluar dari masalahku. Saat aku mencari, aku menerimanya karena ada pribadi yang mengasihiku."
Sungguh dahsyat dampak dari sebuah cerita. Semoga kerasnya batu karang kehidupan ini, membuat engkau ikhlas menjalani kawan! ***

Kitab Kesetiaan yang Utuh

(TULISAN INI MENGHIASI HALAMAN 2 HARIAN PAGI VOKAL)
Membaca kitab kesetiaan, jelas Fulan terluka. Hatinya selalu bercabang manakala bicara cinta. Perasaan belum satu soal rasa. Makanya hati sering nelangsa, berseri dan nelangsa lagi. Begitu terus.
Ketika dia membaca kisah keutuhan cinta sepasang anak manusia, badannya agak menggigil. Apakah lantaran Fulan baru saja mendapat kabar, seorang kawan baru saja bercerai? Atau di dalam hati Fulan, masih ada bibit kesetiaan? Entahlah Buyung!
Ini kisah yang mengharukan itu Tuan yang dikirim seorang kawan! Ketika aku berjalan kaki pulang ke rumah di suatu hari yang dingin, kakiku tersandung sebuah dompet yang tampaknya terjatuh tanpa sepengetahuan pemiliknya. Aku memungut dan melihat isi dompet itu kalau-kalau aku bisa menghubungi pemiliknya. Tapi, dompet itu hanya berisi uang sejumlah tiga Dollar dan selembar surat kusut yang sepertinya sudah bertahun-tahun tersimpan di dalamnya. Satu-satunya yang tertera pada amplop surat itu adalah alamat si pengirim. Aku membuka isinya sambil berharap bisa menemukan petunjuk.
Lalu aku baca tahun “1924″. Ternyata surat itu ditulis lebih dari 60 tahun yang lalu. Surat itu ditulis dengan tulisan tangan yang anggun di atas kertas biru lembut yang berhiaskan bunga-bunga kecil di sudut kirinya. Tertulis di sana, “Sayangku Michael”, yang menunjukkan kepada siapa surat itu ditulis yang ternyata bernama Michael. Penulis surat itu menyatakan bahwa ia tidak bisa bertemu dengannya lagi karena ibu telah melarangnya. Tapi, meski begitu ia masih tetap mencintainya. Surat itu ditandatangani oleh Hannah. Surat itu begitu indah.
Tetapi tetap saja aku tidak bisa menemukan siapa nama pemilik dompet itu. Mungkin bila aku menelepon bagian penerangan mereka bisa memberitahu nomor telepon alamat yang ada pada amplop itu. “Operator,” kataku pada bagian peneragan, “Saya mempunyai permintaan yang agak tidak biasa. Sedang berusaha mencari tahu pemiliki dompet yang saya temukan di jalan. Barangkali anda bisa membantu saya memberikan nomor telepon atas alamat yang ada pada surat yang saya temukan dalam dompet tersebut?”
Operator itu menyarankan agar aku berbicara dengan atasannya, yang tampaknya tidak begitu suka dengan pekerjaan tambahan ini. Kemudian ia berkata, “Kami mempunyai nomor telepon alamat tersebut, namun kami tidak bisa memberitahukannya pada Anda.” Demi kesopanan, katanya, ia akan menghubungi nomor tersebut, menjelaskan apa yang saya temukan dan menanyakan apakah mereka berkenan untuk berbicara denganku. Aku menunggu beberapa menit.
Tak berapa lama ia menghubungiku, katanya, “Ada orang yang ingin berbicara dengan Anda.” Lalu aku tanyakan pada wanita yang ada di ujung telepon sana, apakah ia mengetahui seseorang bernama Hannah. Ia menarik nafas, “Oh, kami membeli rumah ini dari keluarga yang memiliki anak perempuan bernama Hannah. Tapi, itu 30 tahun yang lalu!” “Apakah Anda tahu dimana keluarga itu berada sekarang?” tanyaku. “Yang aku ingat, Hannah telah menitipkan ibunya di sebuah panti jompo beberapa tahun lalu,” kata wanita itu. “Mungkin, bila Anda menghubunginya mereka bisa mencaritahu dimana anak mereka, Hannah, berada.” Lalu ia memberiku nama panti jompo tersebut. Ketika aku menelepon ke sana, mereka mengatakan bahwa wanita, ibu Hannah, yang aku maksud sudah lama meninggal dunia. Tapi mereka masih menyimpan nomor telepon rumah dimana anak wanita itu tinggal. Aku mengucapkan terima kasih dan menelepon nomor yang mereka berikan. Kemudian, di ujung telepon sana, seorang wanita mengatakan bahwa Hannah sekarang tinggal di sebuah panti jompo.
“Semua ini tampaknya konyol,” kataku pada diriku sendiri. Mengapa pula aku mau repot-repot menemukan pemilik dompet yang hanya berisi tiga Dollar dan surat yang ditulis lebih dari 60 tahun yang lalu? Tapi, bagaimana pun aku menelepon panti jompo tempat Hannah sekarang berada. Seorang pria yang menerima teleponku mengatakan, “Ya, Hannah memang tinggal bersama kami.” Meski waktu itu sudah menunjukkan pukul 10 malam, aku meminta agar bisa menemui Hannah. “Ok,” kata pria itu agak bersungut-sungut, “bila Anda mau, mungkin ia sekarang sedang menonton TV di ruang tengah.”
Aku mengucapkan terima kasih dan segera berkendara ke panti jompo tersebut. Gedung panti jompo itu sangat besar. Penjaga dan perawat yang berdinas malam menyambutku di pintu. Lalu, kami naik ke lantai tiga. Di ruang tengah, perawat itu memperkenalkan aku dengan Hannah. Ia tampak manis, rambut ubannya keperak-perakan, senyumnya hangat dan matanya bersinar-sinar. Aku menceritakan padanya mengenai dompet yang aku temukan. Aku pun menunjukkan padanya surat yang ditulisnya. Ketika ia melihat amplop surat berwarna biru lembut dengan bunga-bunga kecil di sudut kiri, ia menarik nafas dalam-dalam dan berkata, “Anak muda, surat ini adalah hubunganku yang terakhir dengan Michael.” Matanya memandang jauh, merenung dalam-dalam. Katanya dengan lembut, “Aku amat-amat mencintainya. Saat itu aku baru berusia 16 tahun, dan ibuku menganggap aku masih terlalu kecil. Oh, Ia sangat tampan. Ia seperti Sean Connery, si aktor itu.” “Ya,” lanjutnya. Michael Goldstein adalah pria yang luar biasa. “Bila kau bertemu dengannya, katakan bahwa aku selalu memikirkannya, Dan,…….”
Ia ragu untuk melanjutkan, sambil menggigit bibir ia berkata, ……katakan, aku masih mencintainya. Tahukah kau, anak muda,” katanya sambil tersenyum. Kini air matanya mengalir, “aku tidak pernah menikah selama ini. Aku pikir, tak ada seorang pun yang bisa menyamai Michael.” Aku berterima kasih pada Hannah dan mengucapkan selamat tinggal. Aku menuruni tangga ke lantai bawah. Ketika melangkah keluar pintu, penjaga di sana menyapa, “Apakah wanita tua itu bisa membantu Anda?” Aku sampaikan bahwa Hannah hanya memberikan sebuah petunjuk, “Aku hanya mendapatkan nama belakang pemilik dompet ini. Aku pikir, aku biarkan sajalah dompet ini untuk sejenak. Aku sudah menghabiskan hampir seluruh hariku untuk menemukan pemilik dompet ini. “Aku keluarkan dompet itu, dompat kulit dengan benang merah disisi-sisinya. Ketika penjaga itu melihatnya, ia berseru, “Hei, tunggu dulu. Itu adalah dompet Pak Goldstein! Aku tahu persis dompet dengan benang merah terang itu. Ia selalu kehilangan dompet itu. Aku sendiri pernah menemukannya dompet itu tiga kali di dalam gedung ini.”
“Siapakah Pak Goldstein itu?” tanyaku. Tanganku mulai gemetar. “Ia adalah penghuni lama gedung ini. Ia tinggal di lantai delapan. Aku tahu pasti, itu adalah dompet Mike Goldstein. Ia pasti menjatuhkannya ketika sedang berjalan-jalan di luar.” Aku berterima kasih pada penjaga itu dan segera lari ke kantor perawat. Aku ceritakan pada perawat di sana apa yang telah dikatakan oleh si penjaga. Lalu, kami kembali ke tangga dan bergegas ke lantai delapan. Aku berharap Pak Goldstein masih belum tertidur. Ketika sampai di lantai delapan, perawat berkata, “Aku pikir ia masih berada di ruang tengah. Ia suka membaca di malam hari. Ia adalah Pak tua yang menyenangkan.” Kami menuju ke satu-satunya ruangan yang lampunya masih menyala. Di sana duduklah seorang pria membaca buku. Perawat mendekati pria itu dan menanyakan apakah ia telah kehilangan dompet. Pak Goldstein memandang dengan terkejut. Ia lalu meraba saku belakangnya dan berkata, “Oh ya, dompetku hilang!” Perawat itu berkata, “Tuan muda yang baik ini telah menemukan sebuah dompet. Mungkin dompet Anda?” Aku menyerahkan dompet itu pada Pak Goldstein. Ia tersenyum gembira. Katanya, “Ya, ini dompetku! Pasti terjatuh tadi sore. Aku akan memberimu hadiah.” “Ah tak usah,” kataku. “Tapi aku harus menceritakan sesuatu pada Anda. Aku telah membaca surat yang ada di dalam dompet itu dengan harap aku mengetahui siapakah pemilik dompet ini.”
Senyumnya langsung menghilang. “Kamu membaca surat ini?” “Bukan hanya membaca, aku kira aku tahu dimana Hannah sekarang.” Wajahnya tiba-tiba pucat. “Hannah? Kau tahu dimana ia sekarang? Bagaimana kabarnya? Apakah ia masih secantik dulu? Katakan, katakan padaku,” ia memohon. “Ia baik-baik saja, dan masih tetap secantik seperti saat Anda mengenalnya,” kataku lembut. Lelaki tua itu tersenyum dan meminta, “Maukah Anda mengatakan padaku dimana ia sekarang? Aku akan meneleponnya esok.” Ia menggenggam tanganku, “Tahukah kau anak muda, aku masih mencintainya. Dan saat surat itu datang hidupku terasa berhenti. Aku belum pernah menikah, aku selalu mencintainya.”
“Michael,” kataku, “Ayo ikuti aku.” Lalu kami menuruni tangga ke lantai tiga. Lorong-lorong gedung itu sudah gelap. Hanya satu atau dua lampu kecil menyala menerangi jalan kami menuju ruang tengah di mana Hannah masih duduk sendiri menonton TV. Perawat mendekatinya perlahan.
“Hannah,” kata perawat itu lembut. Ia menunjuk ke arah Michael yang sedang berdiri di sampingku di pintu masuk. “Apakah Anda tahu pria ini?” Hannah membetulkan kacamatanya, melihat sejenak, dan terdiam tidak mengucapkan sepatah katapun. Michael berkata pelan, hampir-hampir berbisik, “Hannah, ini aku, Michael. Apakah kau masih ingat padaku?” Hannah gemetar, “Michael! Aku tak percaya. Michael! Kau! Michaelku!” Michael berjalan perlahan ke arah Hannah. Mereka lalu berpelukan. Perawat dan aku meninggalkan mereka dengan air mata menitik di wajah kami. “Lihatlah,” kataku. “Lihatlah, bagaimana Tuhan berkehendak. Bila Ia berkehendak, maka jadilah.”
Sekitar tiga minggu kemudian, di kantor aku mendapat telepon dari rumah panti jompo itu. “Apakah Anda berkenan untuk hadir di sebuah pesta perkimpoian di hari Minggu mendatang? Michael dan Hannah akan menikah!” Dan pernikahan itu, pernikahan yang indah. Semua orang di panti jompo itu mengenakan pakaian terbaik mereka untuk ikut merayakan pesta. Hannah mengenakan pakaian abu-abu terang dan tampak cantik. Sedangkan Michael mengenakan jas hitam dan berdiri tegak. Mereka menjadikan aku sebagai wali mereka. Rumah panti jompo memberi hadiah kamar bagi mereka.
Dan bila Anda ingin melihat bagaimana sepasang pengantin berusia 76 dan 79 tahun bertingkah seperti anak remaja, Anda harus melihat pernikahan pasangan ini. Akhir yang sempurna dari sebuah hubungan cinta yang tak pernah padam selama 60 tahun. ***

Tangisku Sepanjang Kepergianmu

(TULISAN INI MENGHIASI HALAMAN 2 HARIAN PAGI VOKAL)
Fulan lagi berduka kawan! Temannya mendapat musibah. Istri sang teman sudah berpulang dan meninggalkan satu orang anak. Pasti kesedihan bergelayut di hati. Nestapa menghantui hati.
Tapi Fulan justru lebih sedih lagi. Ia ingat kisah betapa merananya jadi single parent. Tak seimbangnya psikologis jadi ayah sekaligus merangkap jadi ibu. Barangkali teman ini akan mengalami nelangsa pada wilayah perasaan yang sama.
Tuhan….! Kisah ini benar-benar membuat Fulan menangis. Kawan kita juga akan menangis sepertinya. Ini cerita yang dikirim ke Fulan lewat email. Lima tahun yang lalu, Allah telah memanggil orang yang kusayangi, sering aku bertanya-tanya, bagaimana keadaan istri saya sekarang di alam surga, baik-baik sajakah? Dia pasti sangat sedih karena sudah meninggalkan sorang suami yang tidak mampu mengurus rumah dan seorang anak yang masih begitu kecil. Begitulah yang kurasakan, karena selama ini saya merasa bahwa saya telah gagal, tidak bisa memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani anak saya, dan gagal untuk menjadi ayah dan ibu untuk anak saya.
Pada suatu hari, ada urusan penting di tempat kerja, aku harus segera berangkat ke kantor, anak saya masih tertidur. Ohhh... aku harus menyediakan makan untuknya. Karena masih ada sisa nasi, jadi aku menggoreng telur untuk dia makan. Setelah memberitahu anak saya yang masih mengantuk, kemudian aku bergegas berangkat ke tempat kerja. Peran ganda yang kujalani, membuat energiku benar-benar terkuras. Suatu hari ketika aku pulang kerja aku merasa sangat lelah, setelah bekerja sepanjang hari. Hanya sekilas aku memeluk dan mencium anakku, saya langsung masuk ke kamar tidur, dan melewatkan makan malam. Namun, ketika aku merebahkan badan ke tempat tidur dengan maksud untuk tidur sejenak menghilangkan kepenatan, tiba-tiba saya merasa ada sesuatu yang pecah dan tumpah seperti cairan hangat! Aku membuka selimut dan..... di sanalah sumber 'masalah'nya ... sebuah mangkuk yang pecah dengan mie instan yang berantakan di seprai dan selimut!
Ya Alloh..! Aku begitu marah, aku mengambil gantungan pakaian, dan langsung menghujani anak saya yang sedang gembira bermain dengan mainannya, dengan pukulan-pukulan! Dia hanya menangis, sedikitpun tidak meminta belas kasihan, dia hanya memberi penjelasan singkat:
"Ayah, tadi aku merasa lapar dan tidak ada lagi sisa nasi. Tapi ayah belum pulang, jadi aku ingin memasak mie instan. Aku ingat, ayah pernah mengatakan untuk tidak menyentuh atau menggunakan kompor gas tanpa ada orang dewasa di sekitar, maka aku menyalakan mesin air minum ini dan menggunakan air panas untuk memasak mie. Satu untuk ayah dan yang satu lagi untuk saya ... Karena aku takut mie'nya akan menjadi dingin, jadi aku menyimpannya di bawah selimut supaya tetap hangat sampai ayah pulang. Tapi aku lupa untuk mengingatkan ayah karena aku sedang bermain dengan mainan saya ... Saya minta maaf Ayah ... "
Seketika, air mata mulai mengalir di pipiku ... tetapi, saya tidak ingin anak saya melihat ayahnya menangis maka aku berlari ke kamar mandi dan menangis dengan menyalakan shower di kamar mandi untuk menutupi suara tangis saya. Setelah beberapa lama, aku hampiri anak saya, memeluknya dengan erat dan memberikan obat kepadanya atas luka bekas pukulan dipantatnya, lalu aku membujuknya untuk tidur. Kemudian aku membersihkan kotoran tumpahan mie di tempat tidur. Ketika semuanya sudah selesai dan lewat tengah malam, aku melewati kamar anakku, dan melihat anakku masih menangis, bukan karena rasa sakit di pantatnya, tapi karena dia sedang melihat foto ibu yang dikasihinya.
Satu tahun berlalu sejak kejadian itu, saya mencoba, dalam periode ini, untuk memusatkan perhatian dengan memberinya kasih sayang seorang ayah dan juga kasih sayang seorang ibu, serta memperhatikan semua kebutuhannya. Tanpa terasa, anakku sudah berumur tujuh tahun, dan akan lulus dari Taman Kanak-kanak. Untungnya, insiden yang terjadi tidak meninggalkan kenangan buruk di masa kecilnya dan dia sudah tumbuh dewasa dengan bahagia.
Namun... belum lama, aku sudah memukul anakku lagi, saya benar-benar menyesal.... Guru Taman Kanak-kanaknya memanggilku dan memberitahukan bahwa anak saya absen dari sekolah. Aku pulang kerumah lebih awal dari kantor, aku berharap dia bisa menjelaskan. Tapi ia tidak ada dirumah, aku pergi mencari di sekitar rumah kami, memangil-manggil namanya dan akhirnya menemukan dirinya di sebuah toko alat tulis, sedang bermain komputer game dengan gembira. Aku marah, membawanya pulang dan menghujaninya dengan pukulan-pukulan.
Dia diam saja lalu mengatakan, "Aku minta maaf, Ayah". Selang beberapa lama aku selidiki, ternyata ia absen dari acara "pertunjukan bakat" yang diadakan oleh sekolah, karena yang diundang adalah siswa dengan ibunya. Dan itulah alasan ketidakhadirannya karena ia tidak punya ibu..... Beberapa hari setelah penghukuman dengan pukulan rotan, anakku pulang ke rumah memberitahu saya, bahwa di sekolahnya mulai diajarkan cara membaca dan menulis. Sejak saat itu, anakku lebih banyak mengurung diri di kamarnya untuk berlatih menulis, yang saya yakin, jika istri saya masih ada dan melihatnya ia akan merasa bangga, tentu saja dia membuat saya bangga juga!
Waktu berlalu dengan begitu cepat, satu tahun telah lewat. Saat ini musim dingin,dan hari raya idul fitri pun telah tiba. tapi astagfirulloh, anakku membuat masalah lagi. Ketika aku sedang menyelasaikan pekerjaan di hari-hari terakhir kerja, tiba-tiba kantor pos menelpon. Karena pengiriman surat sedang mengalami puncaknya, tukang pos juga sedang sibuk-sibuknya, suasana hati mereka pun jadi kurang bagus. Mereka menelpon saya dengan marah-marah, untuk memberitahu bahwa anak saya telah mengirim beberapa surat tanpa alamat. Walaupun saya sudah berjanji untuk tidak pernah memukul anak saya lagi, tetapi saya tidak bisa menahan diri untuk tidak memukulnya lagi, karena saya merasa bahwa anak ini sudah benar-benar keterlaluan. Tapi sekali lagi, seperti sebelumnya, dia meminta maaf : "Maaf, Ayah". Tidak ada tambahan satu kata pun untuk menjelaskan alasannya melakukan itu.
Setelah itu saya pergi ke kantor pos untuk mengambil surat-surat tanpa alamat tersebut lalu pulang. Sesampai di rumah, dengan marah saya mendorong anak saya ke sudut mempertanyakan kepadanya, perbuatan konyol apalagi ini? Apa yang ada dikepalanya? Jawabannya, di tengah isak-tangisnya, adalah : "Surat-surat itu untuk ibu.....". Tiba-tiba mataku berkaca-kaca. .... tapi aku mencoba mengendalikan emosi dan terus bertanya kepadanya: "Tapi kenapa kamu memposkan begitu banyak surat-surat, pada waktu yg sama?" Jawaban anakku itu : "Aku telah menulis surat buat ibu untuk waktu yang lama, tapi setiap kali aku mau menjangkau kotak pos itu, terlalu tinggi bagiku, sehingga aku tidak dapat memposkan surat-suratku. Tapi baru-baru ini, ketika aku kembali ke kotak pos, aku bisa mencapai kotak itu dan aku mengirimkannya sekaligus". Setelah mendengar penjelasannya ini, aku kehilangan kata-kata, aku bingung, tidak tahu apa yang harus aku lakukan, dan apa yang harus aku katakana .... Aku bilang pada anakku, "Nak, ibu sudah berada di surga, jadi untuk selanjutnya, jika kamu hendak menuliskan sesuatu untuk ibu, cukup dengan membakar surat tersebut maka surat akan sampai kepada ibu. Setelah mendengar hal ini, anakku jadi lebih tenang, dan segera setelah itu, ia bisa tidur dengan nyenyak. Saya berjanji akan membakar surat-surat atas namanya, jadi saya membawa surat-surat tersebut ke luar, tapi.... saya jadi penasaran untuk tidak membuka surat tersebut sebelum mereka berubah menjadi abu.
Dan salah satu dari isi surat-suratnya membuat hati saya hancur......
'Ibu sayang', Saya sangat merindukanmu! Hari ini, ada sebuah acara 'Pertunjukan Bakat' di sekolah, dan mengundang semua ibu untuk hadir di pertunjukan tersebut. Tapi kamu tidak ada, jadi saya tidak ingin menghadirinya juga. Aku tidak memberitahu ayah tentang hal ini karena aku takut ayah akan mulai menangis dan merindukanmu lagi. Saat itu untuk menyembunyikan kesedihan, aku duduk di depan komputer dan mulai bermain game di salah satu toko. Ayah keliling-keliling mencari saya, setelah menemukanku ayah marah, dan aku hanya bisa diam, ayah memukul aku, tetapi aku tidak menceritakan alasan yang sebenarnya. Ibu, setiap hari saya melihat ayah merindukanmu, setiap kali dia teringat padamu, ia begitu sedih dan sering bersembunyi dan menangis di kamarnya. Saya pikir kita berdua amat sangat merindukanmu. Terlalu berat untuk kita berdua, saya rasa. Tapi ibu, aku mulai melupakan wajahmu. Bisakah ibu muncul dalam mimpiku sehingga saya dapat melihat wajahmu dan ingat ibu? Temanku bilang jika kau tertidur dengan foto orang yang kamu rindukan, maka kamu akan melihat orang tersebut dalam mimpimu. Tapi ibu, mengapa engkau tak pernah muncul?
Setelah membaca surat itu, tangisku tidak bisa berhenti karena saya tidak pernah bisa menggantikan kesenjangan yang tak dapat digantikan semenjak ditinggalkan oleh istri saya ...
Air mata Fulan menetes deras! Ia menangis tersedu-sedu. Sungguh dahsyat kasih sayangmu ratu di istana hati.***