(TULISAN INI DISEBARLUASKAN HARIAN VOKAL, 26 AGUSTUS 2010)
KEPALA
Satpol PP Kampar, A Muis barangkali sosok kesepian. Jika benar dia
seorang yang suka main tampar, banyak anggotanya tak mau dekat. Berjarak
dan menjauh. Tak mau komunikasi secara akrab. Karena salah-salah, bisa
tamparan yang didapat. Pemimpin yang kesepian. Sunyi dalam tugas.
Menelisik
tamparan yang diberikan ke anggotanya, ingatan melayang pada sebuah
tulisan Gede Prama. Sang pemberi wejangan ini punya kisah. Dulu, ketika
ada orang yang bercerita bahwa hampir semua pemimpin duduk kesepian di
puncak piramida, saya agak kurang percaya. Pasalnya, secara kasat mata
kelihatan, setiap pemimpin dikelilingi oleh banyak sekali pengikut. Di
mana-mana muncul diikuti oleh banyak orang.
Sekian tahun setelah
menjadi konsultan banyak pemimpin perusahaan, dan juga merasakan sendiri
bagaimana kesepiannya saya di puncak piramida sebuah perusahaan swasta,
terasa sekali kebenaran pernyataan di atas.
Ada banyak sekali hal
yang hilang begitu duduk di atas. Tawa ria yang bebas, hubungan tanpa
jarak, manusia-manusia tulus yang datang tanpa kepentingan, kebebasan
dari politik perkantoran yang busuk, hidup dengan stress ringan,
hanyalah sebagian kecil saja dari kemewahan hidup yang hilang.
Ketika
hanya menjadi penasihat sejumlah pemimpin, ringan, enteng, dan jernih
saja saya bisa menasehati mereka. Banyak klien yang bahkan mendekatkan
anaknya ke saya, guna diberikan pencerahan berpikir ketika kesepian di
atas. Namun, begitu duduk dan merasakan sendiri rasanya kesepian, baru
terasa amat dalam substansi dari ide pemimpin yang kesepian di atas.
Ada
kerinduan akan tawa yang bebas, tetapi saya tidak bisa melakukannya
terlalu sering, sebab menyangkut the power of execution. Ada niat untuk
lari dari politik perkantoran, tetapi tidak bisa ditinggalkan begitu
saja, karena setiap pemimpin harus melakukan power games. Maunya
memiliki stress yang ringan-ringan saja, namun di atas, hampir semua
informasi hadir seperti teka-teki yang tidak saja mengasyikkan, tetapi
juga membawa tekanan.
Ketika dunia pemimpin belum saya tahu
langsung wajah aslinya, mimpi untuk sampai di sana sering hadir.
Sekarang, ketika semua itu sudah menjadi keseharian, kadang saya rindu
akan dunia orang biasa yang sederhana dan bersahaja. Ada kebahagiaan
tersendiri ketika bercengkerama dengan tukang taman yang mengurus taman
rumah, dengan satpam yang menjadi penjaga rumah, atau dengan pedagang
skoteng yang kerap lewat di malam hari. Namun, bukankah daya radiasi
hidup dan kehidupan pemimpin jauh lebih luas dari sekadar manusia biasa
yang sederhana dan bersahaja?
Pertanyaan terakhir inilah yang
memompa semangat saya, untuk tegar kesepian di atas. Lebih dari sekadar
takut kesepian, pemimpin seyogyanya terbang seperti burung elang.
Tinggi, sendirian, kesepian, namun memiliki helicopter”s view yang amat
mengagumkan. Atau ibarat orang yang bangun di pagi hari sendirian,
kemudian siap disebut aneh oleh semua orang ketika bertutur tentang apa
yang terjadi di pagi hari.
Sebagaimana burung elang yang
sebenarnya, ia memang tidak pernah terbang bersama-sama, dan juga penuh
kebebasan. Ia senantiasa sendirian.
Setiap kali saya mengambil
keputusan penting, selalu saya usahakan untuk membayangkan diri terbang
tinggi, dan bebas dari segala ketakutan termasuk dipecat besok pagi.
Untuk kemudian, berusaha sekuat tenaga mengangkat dan menarik bawahan ke
atas. Persis seperti magnet, untuk menarik logam yang berat, diperlukan
tenaga yang amat kuat.
Stres, marah, tegang, kehilangan kawan,
bahkan kadang frustrasi adalah bagian dari tanda-tanda mulai terkuras
habisnya tenaga untuk menarik orang-orang bawah. Apapun harganya, ia
mesti dibayar oleh setiap orang yang berani memutuskan diri hidup
menjadi pemimpin.
Hanya dengan cara terakhir, daya radiasi
pemimpin menjadi luas, dalam dan panjang. Magnetnya akan menarik ke atas
banyak orang. Standar kualitasnya diikuti.
Meminjam contoh cantik
John Maxwell, pemimpin orkestra ketika bekerja harus membalik punggung
di hadapan pengunjung. Ia membuat keputusan seorang diri – sekali lagi
seorang diri. Ia tidak bisa hanyut dengan pengunjung, dan memperhatikan
respons pengunjung terhadap cara dia memimpin. Bakti hidup dan
perhatiannya tidak ditujukan untuk pengunjung, tetapi untuk
bawahan-bawahan yang ia pimpin. Tepuk tangan penonton itu penting,
tetapi bukan itu tujuannya. Tujuan utamanya, memimpin pemain orkestra
secara amat cemerlang.
Untuk mencapai tujuan tadi, pemimpin
memerlukan lem yang bisa mengikat tanpa paksaan. Logika adalah salah
satu perlengkapan dari lem tadi. Namun, sehebat-hebatnya logika, dia
tidak bisa mengalahkan hubungan dari hati ke hati.
Hubungan
terakhir, mirip sekali dengan semen. Sekali merekat, susah sekali
merobohkannya. Bedanya dengan logika yang boros sekali dengan kata-kata,
hubungan dari hati ke hati tidak memerlukan terlalu banyak kata-kata.
Setiap tambahan kata-kata, hanya akan memperenggang hubungan. Namun ia
merindukan banyak tindakan. Lebih-lebih yang dibangun di atas ketulusan
dan kemurnian.
Setiap tambahan tindakan tadi, di satu sisi
memperkuat kekuatan daya tarik magnet pimpinan, dan pada saat yang sama
memperingan gerakan orang bawah untuk ditarik ke atas.
Ada
saatnya, “burung elang” pemimpin akan terbang ringan, bebas dan sedikit
hambatan. Dan ini sangat ditentukan pada daya rekat lem di atas.
Saya
memang masih terbang berat dan memiliki cukup banyak hambatan. Namun,
ada saatnya, ketika tabungan hubungan dari hati ke hati sudah memadai,
“burung elang” saya akan terbang bebas dan ringan.
Sama dengan
burung elang yang sebenarnya, di titik ini, setiap hambatan tidak
membuat daya jangkau terbangnya menyempit. Justru hambatan tadi –
seperti angin – akan membuat burung elang terbang semakin jauh dan
semakin jauh. Wahai Fulan! Mengertilah dengan alunan kepemimpinan. Agar
kamu merasa damai dalam ramainya anggotamu kawan! ***