Rabu, 30 Mei 2012

Meniru Alasan Sahabat Nabi

on Sunday, April 18, 2010 at 7:40pm ·
(tulisan ini disebarluaskan harian vokal dan riauhariini.com)

Tersebutlah amarah Ketua Fraksi Gabungan Bersatu DPRD Kabupaten Inhu, Deari Zamora kepada Sekwan setempat, Drs Asrian. Diangkat jadi penjabat, sang Sekwan malah jarang masuk kantor. Entah kemana sang pejabat itu sehari-hari.
Mengingat dua kata, yaitu masuk kantor, jadi terbayang pula cerita sahabat Nabi Muhammad, Said bin ‘Amir Aljumahy. Sosok Gubernur Himsh dalam sebulan, ia tidak masuk kantor sehari penuh. Jangan-jangan Asrian punya alasan yang sama dengan tokoh tersohor itu.
Kisah bermula tatkala Khalifah Umar bin Khattab singgah ke Himsh. Di tengah-tengah rakyatnya khalifah bertanya, “Bagaimana penilaian Saudara-saudara terhadap kebijakan Gubernur Saudara-saudara?” Mereka menjawab, “Ada empat macam kelemahan yang hendak kami laporkan kepada khalifah.” Kemudian khalifah mempertemukan rakyat dengan gubernurnya. Setelah semua kumpul, khalifah membuka pertanyaan, “Bagaimana laporan?”
Seorang jurubicara menjawab pertanyaan khalifah. Pertama, gubernur selalu tiba di kantor setelah matahari tinggi. Kedua, gubernur tidak bersedia melayani rakyat pada malam hari. Ketiga, gubernur tak masuk kantor sehari penuh dalam sebulan. Keempat, sewaktu-waktu gubernur menutup diri untuk bicara. Dalam kondisi seperti itu biasanya sang gubernur meninggalkan majelis.
Khalifah Umar menyilakan gubernur Sa’id mengklarifikasi. Masalah pertama, kata Sa’id, “Sebetulnya saya keberatan menanggapinya, tapi apa boleh buat. Keluarga saya tidak mempunyai pembantu. Karenanya tiap pagi saya terpaksa turun tangan membuat adonan lebih dahulu. Sesudah adonan itu siap dimasak, barulah saya buat roti. Kemudian saya berwudhu. Setelah itu barulah saya berangkat ke tempat tugas untuk melayani masyarakat.”
Masalah kedua, sebenarnya saya juga berat menanggapinya, apalagi di depan umum seperti ini. Saya telah membagi waktu saya, siang hari untuk melayani masyarakat, malam hari untuk bertaqarub (mendekatkan diri) kepada Allah.
Masalah ketiga, saya hanya memiliki sepasang pakaian yang melekat di badanku ini. Saya mencucinya sekali sebulan. Jadi, jika saya mencucinya, saya terpaksa menunggu kering lebih dahulu. Sesudah itu barulah saya dapat keluar melayani masyarakat.
Masalah keempat, ketika saya masih musyrik dulu, saya pernah menyaksikan almarhum Khubaib bin ‘Ady dihukum mati oleh kaum kafir Quraisy. Saya menyaksikan mereka menyayat-nyayat tubuh Khubaib berkeping-keping. Pada waktu itu mereka bertanya mengejek Khubaib, sukakah engkau si Muhammad menggantikan engkau, kemudian engkau kami bebaskan? Khubaib menjawab ejekan mereka, saya tak ingin bersenang-senang dengan anak istri saya, sementara Muhammad tertusuk duri.
Said melanjutkan, “Demi Allah...! Jika saya teringat peristiwa itu, di saat mana saya membiarkan Khubaib tanpa membelanya sedikit pun, maka saya merasa, bahwa dosaku tak diampuni Allah.”
Khalifah Umar mengakhiri dialog itu dengan mengatakan, “Segala puji bagi Allah yang tidak mengecewakanku.”
Lain waktu, sebagai dikutip dari bahan tarbiah, Khalifah Umar meminta daftar orang miskin penduduk Himsh. Dalam pertemuan dengan delegasi yang ditugaskan, Khalifah melihat nama Sa’id bin ‘Amir. Lalu beliau bertanya; “Siapa Sa‘id bin ‘Amir yang kalian cantumkan ini?” “Gubenur kami! “jawab mereka.
“Betulkah Gubenur kalian miskin?” tanya khalifah heran. “Sungguh, ya Amirul Mu’minin! Demi Allah! Sering kali di rumahnya tidak kelihatan tanda-tanda api menyala (tidak memasak),”jawab mereka meyakinkan.
Mendengar perkataan itu, Khalifah Umar menangis, sehingga air mata beliau meleleh membasahi jenggotnya. Kemudian beliau mengambil sebuah pundi-pundi berisi uang seribu dinar. “Kembalilah kalian ke Himsh. Sampaikan salamku kepada Gubernur Sa’id bin ‘Amir. Dan uang ini saya kirim kan untuk beliau, guna meringankan kesulitan-kesulitan rumah tangganya.” Setibanya di Himsh, delegasi itu segera menghadap Sa’id, menyampaikan salam dan uang kiriman. Melihat pundi-pundi berisi dinar, Said menjauhkan dari sisinya seraya berucap; “Inna lilahi wa innailaihi raji’un.”
Mendengar ucapannya itu, seolah-olah suatu mara bahaya sedang menimpanya. Karena itu isterinya segera menghampiri seraya bertanya, “Apa yang terjadi, hai Sa‘Id? Meninggalkah Amirul Mu‘minin?” “Bahkan lebih besar dan itu!” jawab Sa’id sedih. “Apakah tentara muslimin kalah berperang?” tanya isterinya pula. “Jauh lebih besar dari itu!” jawab Sa’id tetap sedih. “Apa pulakah gerangan yang Iebih dari itu?” tanya isterinya tak sabar. “Dunia telah datang untuk merusak akhiratku. Bencana telah menyusup ke rumah tangga kita,” jawab Sa’id mantap.“Bebaskan dirimu daripadanya! “ kata isteri Sa’id memberi semangat, tanpa mengetahui perihal adanya pundi pundi uang yang dikirimkan Khalifah ‘Umar untuk peribadi suaminya. “Mahukah Engkau menolongku berbuat demikian?” tanya Sa‘id. ‘Tentu...;! “jawab isterinya bersemangat. Maka Sa’id mengambil pundi-pundi uang itu, lalu disuruhnya isterinya membagi-bagi kepada fakir miskin.
Sebagai warga negara yang baik, pikiran positif mesti jadi basis melihat perkara anak bangsa. Manalah tahu, Asrian sedang menapak jalan kesucian. Kalau begitu, timbul pula pertanyaan, apakah kita boleh mencederai tugas dan tanggung jawab untuk kesucian itu? Atau jangan-jangan jalan itu jalan lain…Entahlah Fulan! ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar