Rabu, 30 Mei 2012

Revolusi Diri ala Seekor Elang

on Thursday, April 15, 2010 at 4:56pm ·
(tulisan ini disebarluaskan harian vokal dan riauhariini.com)

Apakah Anda pernah melihat murid Taman Kanak-kanak ikut pawai? Mereka yang sedari kecil diajarkan bagaimana memposisikan diri dari sebuah karnaval. Berbaris dan melangkah bersama di sepanjang jalan. Berhiaskan beragam aksesoris dan penuh dengan pernak-pernik yang menarik.
Ada tawa dan tersembul senyum khas generasi penerus dari perhelatan itu. Situasi kian jamak, manakala dalam pawai itu hadir pejabat, atau minimal istri pejabat. Indah bukan! Sungguh rasa kebanggaan berlipat ganda dibuatnya. Berbaur dalam satu gerak untuk tujuannya sama.
Begitulah tabiat daerah ini setiap sebentar. Paling tidak sekali sebulan. Benar-benar negeri ini dihuni orang yang bahagia. Suka seremonial demi mengekpresikan perasaan hati. Negeri kaya, banyak agenda. Memang begitulah adanya titah alam kalau sudang beruang.
Namun entah kenapa pikiran ini mendadak ingat dengan sebuah cerita dari seorang kawan di pulau seberang. Entah ada hubungan atau tidak, tapi sepertinya tak rugi untuk disimak. Cerita elang judulnya.
Alkisah elang merupakan satu jenis unggas yang memiliki umur panjang. Usia tertua bisa mencapai 70 tahun. Sesuatu yang muskyil dicapai oleh unggas-unggas lain. Akan tetapi, untuk dapat bertahan hidup pada usia itersebut, , tepat di umur 40 tahun, seekor elang harus mengambil keputusan sangat penting dalam hidupnya. Apakah dia memilih pasrah dengan kondisinya, atau melakukan sesuatu yang sangat menyakitkan untuk dapat bertahan hidup 30 tahun lagi.
Pada episode demikian, seekor elang akan mengalami kesulitan hidup yang luar biasa. Paruhnya sudah sedemikian panjang hingga hampir mencapai dada. Akibatnya sulit untuk mencabik mangsa. Pun demikian dengan kuku cakar yang menjadi andalannya untuk menangkap. Kuku-kuku cakar itu menjadi panjang namun rapuh. Alamat sangat sulit mencakar dan menghentikan perlawanan. Kondisi lain yang membuat hidupnya menjadi sulit adalah bulu-bulu tubuhnya yang semakin tebal dan panjang. Tubuhnya menjadi berat, ia tak mampu melakukan manuver-manuver gesit yang menjadi penentu berhasil tidaknya seekor elang menangkap mangsa.
Hari-hari selanjutnya sang elang akan dilalui dengan kesulitan-kesulitan yang semakin berat. Waktu berikutnya adalah hari-hari dimana sang elang terus melemah dan melemah karena kekurangan makanan dan akhirnya mati tak berdaya.
Demi dapat melanjutkan hidup, elang itu harus memaksakan dirinya terbang ke puncak sebuah bukit batu terjal yang tinggi. Sulit memang sulit, terbang dengan kondisi tubuh yang kian berat. Di tepian dinding terjal bukit itu, sang elang harus membangun sarang tempatnya menjalani proses ”transformasi” atau revolusi atas dirinya sendiri.
Tindakan pertama nan dilakukan adalah mematukkan paruh sekeras-kerasnya ke bebatuan. Sebelum paruh tanggal, patukan tak akan dihentikan. Usai tanggal, harus menjalani hidup di sarang sembari menunggu tumbuh paruh baru yang muda dan kuat.
Sekira paruh sudah tumbuh, penderitaan berikutnya adalah mencabuti semua kuku-kuku di cakar. Usai kuku dicabut, giliran bulu mendapat perlakuan yang sama. Proses yang sangat menyakitkan. Badan tanpa bulu. Bila malam datang dinginnya minta ampun di puncak bukit berbatu.
Duhai kawan! Intinya sedari kecil tanamkanlah semangat merevolusi diri pada generasi. Jangan rapuhkan mental dan spirit anak bangsa dengan segala berbau seremonial. Hidup ini keras. Tak selamanya uang bisa menyelesaikan masalah. Tuan dan Puan tahu itu kan! He he he ada-ada saja si Fulan ini! ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar