Rabu, 30 Mei 2012

Ketika Miskin, Baru Tyson Bahagia

on Monday, May 10, 2010 at 7:03pm ·
(tulisan ini disebarluaskan harian vokal n riauhariini.com)

Miskin namun bahagia. Tak punya apa-apa secara materi, tapi hati senang. Senyum mekar kendati makan sepotong roti tawar plus segelas kopi. Begitu benar yang dirasakan mantan petinju dunia Mike Tyson. Ia memproklamirkan hidupnya telah hancur, tapi pikirannya tanpa masalah.
Pada suatu waktu, Mike Tyson memahami sukses dalam dunia tinju bila telah menyandang gelar juara dunia kelas berat sejati. Saat itulah ia merasa bahagia. Namun waktu berjalan dan roda kehidupan berputar, rasa bahagia tak lagi bersandar pada capaian prestasi, melainkan pada ruang lain yang ada pada roman kehidupan.
Tyson bangkrut tahun 2003 dan sejak itu kehidupannya berubah dratis. Manakala sebelumnya seorang bintang, kini mengalami kemunduran dalam masalah keuangan. Meski demikian, dia tetap mampu mengidupi keluarganya dengan pekerjaan lain. Tyson, yang saat kariernya kerap dilanda masalah, kini mengaku lebih bahagia bersama istri ketiganya, Lakiha Spicer.
Sungguh Si Leher Beton sepertinya memahami kehidupan dari sudut kesederhanaan yang membahagaiakan, kekurangan yang selalu memuaskan dan kebersyukuran dalam kemiskinan. Dalam serba banyak minusnya, rasa solidaritas dalam keluarga begitu lekat dan kebersamaan yang mendarah daging. Berpantaslah Tyson berbahagia dengan kemiskinannya sekarang.
Dahulu Tyson adalah sosok yang sukses. Bergelimang pamor dan harta. Kini dia jatuh miskin. Untung seribu untung, ia memiliki pikiran yang sehat. Sehat dalam arti sanggup merencanakan matang-matang aksi kehidupan dan merealisasikannya dalam tindakan nyata. Pikirannya tak terkungkung oleh angan kosong ketika mendera masa kepapaan.
Manakala Tyson bahagia di ujung masa kejayaan, justru Thomas Alfa Edison merasa lega di akhir karyanya. Impiannya menciptakan bola lampu listrik ternyata harus melakukan eksperimen 1000 kali. Yaa…, 1000 kali! Bukan hanya 10-50 atau 100-200 kali saja. Andai saja kegagalan pada eksperimen yang ke-999, ditambah cercaan-cacian teman-teman seprofesi (yang sebelumnya mungkin “pasti” ada) membuatnya mutung (putus asa), tentu, ia tak akan pernah mencipta lampu listrik. Akibatnya, perkembangan teknologi (perlistrikan) tentu tak secanggih sekarang.
Itu Tyson dan Edison, lain pula beragam kapasitas orang soal bahagia. Pencari kerja mengatakan sukses bila diterima bekerja di perusahaan bonafide dengan gaji yang besar. Seorang penulis memaknai sukses bila buku karyanya menjadi bestseller dan mengalami cetak ulang puluhan kali. Seorang pemulung mengatakan dirinya sukses bila telah menjadi bos-nya pemulung, dan asetnya miliaran rupiah. Seorang Andrias Harefa merasakan sukses dan bahagia bila telah menghasilkan 100 buku. Seorang politikus memaknai sukses bila telah bersinggasana di Senayan (gedung DPR/MPR). Seorang negarawan memaknai sukses bila telah menguasai istana kepresidenan.
Menurut Abraham Maslow, ada kebutuhan lain selain kebutuhan hidup
untuk memiliki makanan, rasa aman, cinta dan pengakuan. Ada piramida kebutuhan lain selain kebutuhan duniawi, yaitu kebutuhan jiwa. Namun sepertinya Abraham Maslow tidak bisa menjelaskan mengapa kenyataannya bahwa orang yang miskin banyak yang bahagia, mereka tidak terpengaruh dengan perbedaan jenis makanan, minuman atau rumah yang ditempati, seakan-akan ukuran kebutuhan dasar hidup bukanlah itu.
Apakah miskin dulu, baru kita bahagia? Atau kaya raya sumber bahagia sejati dengan segala prasyarat luhurnya. He he he Fulan oh Fulan! ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar