Rabu, 30 Mei 2012

Sekretaris Wahyu dari Tanah Suci

on Tuesday, April 6, 2010 at 8:13pm ·
(tulisan ini disebarluaskan harian vokal dan riauhariini.com)

Pemerintah melalui kejaksaan di republik ini lagi doyan memusnahkan buku. Sedikit sedikit buku dibakar, tapi jumlah tak sedikit. Tak sesuai dengan ideologi negara lah, tak cocok dengan haluan bangsa lah. Begitu alasannya
Di Jambi, provinsi tetangga, ada 13 judul buku sejarah yang dibumihanguskan. Buku-buku yang diputuskan tak sesuai fakta kehidupan berbangsa dan bernegara harus lenyap dari peredaran. Manakala dibaca, bisa rusak mental dan paradigma generasi. Pemerintah yang merasa punya wewenang tak membolehkan itu terjadi. Makanya sebelum yang ditakutkan muncul, dipangkas terlebih dahulu.
Hebat juga pemerintah di negeri ini. Kalau buku berbau porno atau seputar selangkangan, pemerintah seperti menikmati. Dibiarkan dan mungkin juga dinikmati aparaturnya. Tak dilarang-larang beredar. Lantas timbul pertanyaan, mana yang lebih dahsyat dampaknya buku porno atau buku pemikiran? Buku sejarah atau buku yang mengumbar lekuk tubuh?
Entahlah Bujang! Namun yang jelas, dalam sejarah umat manusia ada namanya sekretaris wahyu dari tanah suci. Namanya Zaid bin Tsabit. Sosok inilah yang jadi jurus tulis Firman Tuhan. Segala kalam Ilahi yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dibukukan oleh Zaid.
Hasil goresan tinta Zaid sampai sekarang tetap ada. Malah Sang Pencipta menjamin orisinalitasnya. Begitu besarnya talenta Zaid, juru tulis ini dipakai dari Nabi Muhammad sampai khalifah berikutnya. Zaid merupakan keturunan Bani Khazraj, yang mulai tinggal bersama Muhammad ketika ia hijrah ke Madinah. Saat berusia berusia 11 tahun, Zaid bin Tsabit dikabarkan telah dapat menghafal 11 surah Alquran. Zaid bin Tsabit turut serta bersama Muhammad dalam perperangan Khandaq dan peperangan-peperangan lainnya. Dalam peperangan Tabuk, Muhammad menyerahkan bendera Bani Najjar yang sebelumnya dibawa oleh Umarah kepada Zaid bin Tsabit. Ketika Umarah bertanya kepada Rasulullah SAW, ia berkata: "Alquran harus diutamakan, sedang Zaid lebih banyak menghafal Alquran daripada engkau."
Zaid lahir dari pasangan Tsabit bin Zaid dan Nawwar binti Malik bin Sharmah bin ‘Ady. Dia tidak lama merasakan kebersamaan dan kasih sayang keluarganya. Menginjak usia 5 tahun, ayah Zaid tewas dalam perang Bu'ats, perang antara suku Aus dan suku Khazraj yang terjadi sebelum hijrah.
Tak lama setelah itu, ibu Zaid menikah dengan Umarah bin Hazm dari bani Najjar. Umarah syahid dalam perang Yamamah pada tahun ke-11 H. Di bawah asuhan ayah tirinya inilah, Zaid masuk Islam dan menjadi Muslim yang teguh dan gagah berani.
Menurut riwayat Ibnu Sa‘ud, Zaid bisa menulis berkat didikan seorang tawanan perang Badar. Tawanan yang tidak bisa membayar uang tebusan oleh Nabi diberi dispensasi dengan mengajarkan baca-tulis pada generasi-generasi Islam yang masih kecil. Tapi menurut riwayat lain, bakat menulis sudah dimiliki Zaid sejak kecil, sebelum Nabi hijrah.
Di masa Nabi Muhammad SAW, Zaid termasuk seorang penulis aktif Alquran, alias sekretaris wahyu. Penulisan al-Quran pun sempurna pada masa Nabi, tapi belum terkumpul dalam satu mushaf. Baru pada masa pemerintahan Abu Bakar ra, Alquran rampung terkumpul dalam satu mushaf. Zaid juga menjadi penulis surat yang dikirimkan kepada beberapa raja di luar kawasan Islam.
Dalam perang Yamamah, sahabat penghafal Alquran banyak yang gugur. Melihat fenomena itu, Abu Bakar khawatir atas kelangsungan nasib Alquran. Setelah berunding dengan beberapa sahabat dan atas usulan Umar bin Khattab, barulah disepakati untuk mengumpulkan Alquran. Segera Abu Bakar menugaskan Zaid sebagai pimpinan pengumpul Alquran.
Dalam Sahîh al-Bukhârî disebutkan bahwa Zaid dipilih antara lain karena pada masa mudanya, Zaid memiliki peran vital dalam penulisan Alquran. Selain itu, Zaid adalah sahabat yang mendengar langsung bacaan Alquran malaikat Jibril bersama Nabi di bulan Ramadhan.
Mulanya, Zaid menolak tugas itu, karena pengumpulan Alquran tidak pernah dikerjakan Nabi. Zaid merasa ini adalah tugas yang super-berat, hingga beliau menganggapnya lebih berat dibanding memikul gunung. Namun atas motivasi Abu Bakar, akhirnya Zaid bersedia mengerjakannya.
Begitu benar alur menjadi sekretaris wahyu. Hari ini banyak penulis yang menorehkan tintanya dengan beragam maksud. Ada karena ideologi, cari makan, dan popularitas. Lantas bagaimana dengan kamu Fulan? Kalau karena ideologi dan bukumu dibakar, kamu akan menulis lagi. Kalau karena cari makan, kamu akan sedih karena royaltimu berkurang. Sekiranya karena popularitas, inilah momennya untuk tenar. Bukankah buku adalah tabungan kebahagiaan bernuansa intelektual! ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar