Rabu, 30 Mei 2012

Simaklah Kisah Bapak Kaum Miskin

on Tuesday, June 15, 2010 at 11:27pm ·
(tulisan ini disebarkan Harian Vokal, Kamis 17 Juni 2010)

Ada pendapat. Begini bunyinya; kaya itu hanya milik orang yang mau dan punya mental kaya. Pribadi yang bermental kaya setiap kali memiliki harta akan terlebih dahulu mengupayakan terjadinya pertambahan nilai, baik dengan menabung atau investasi. Sosok bermental miskin tatkala memperoleh harta cenderung menghabiskan. Kalau punya uang, untuk apa disimpan-simpan, habiskan saja.
Bisa jadi benar adanya. Entah relevan atau tidak, poin pertama sepertinya diaplikasikan oleh staf Humas PT Chevron Pasific Indonesia. Dengan posisi yang nyentreng sebagai karyawati perusahaan minyak asal negara Paman Sam, dia menambah nilai uangnya dengan cara menculik. Culik anak orang, lalu minta tebusan miliran rupiah.
Inilah barangkali tipikal orang berada, tapi papa hatinya. Orang yang berpunya secara harta, namun miskin mentalnya. Fakta ini menyeruak ingatan pada Jundub bin Junadah, yang kemudian dikenal sebagai Abu Dzar Al Gifari. Dia bergelar bapak kaum miskin, namun ia justru bermental sangat kaya. Kala datang tamu, Abu Dzar meminta kepada pelayannya untuk menyembelih seekor kambing kualitas terbaik. Namun pelayannya menyembelih kambing kualitas nomor dua. Mengetahui hal itu, Abu Dzar marah dan menegur pelayannya. Karena ia ingin harta terbaiknyalah yang menjadi harta abadinya, kekal dan berlipat-lipat ganda nilai kebaikannya. Itulah harta yang dikeluarkannya dengan ikhlas untuk memuliakan tamunya.
Cerita bermental kaya bermula ketika anggota suku Ghifar itu yang mengalami kegelisahan luar biasa karena mendengar selentingan berita tentang nabi baru di kota Mekah. Kegelisahan begitu bergelora sampai akhirnya mendorong dirinya berangkat ke Mekah. Singkat cerita, datanglah Abu Dzar ke kota Mekah dan langsung jatuh cinta dengan ajaran Muhammad pada pertemuan pertama.
Abu Dzar adalah orang kelima/keenam yang pertama-tama masuk Islam. Dialah orang yang berani memproklamirkan keislamannya di tengah keramaian kota Mekah. Alhasil, dirinya menjadi bulan-bulanan dipukuli warga Mekah waktu itu, sampai dilerai oleh Ibnu Abbas yang mengingatkan warga Mekkah bahwa Abu Dzar adalah warga Ghiffar yang akan menuntut balas jika mereka membunuhnya.
Abu Dzar sangat mencintai Rasulullah dengan segenap jiwa raganya. Suatu ketika, dalam perjalanan menuju perang Tabuk (9 H), Abu Dzar tertinggal karena lambatnya unta yang dikendarai. Karena semakin tertinggal dari rombongan Rasulullah, Abu Dzar memutuskan untuk berjalan kaki. Mengetahu hal tersebut, Rasulullah memutuskan berkemah di tempat terdekat. Lama mereka menunggu di tengah panas terik padang pasir, sampai akhirnya terlihat sesosok lelaki berjalan mendekat. Seorang sahabat berseru, “Ya Rasul, itu Abu Dzar!!” dan Rasulullah berkata, “Semoga Allah mengasihi Abu Dzar, ia berjalan sendirian, akan meninggal sendirian, dan dibangkitkan kelak pun sendirian”.
Abu Dzar tiba dengan tubuh lemah dan pucat pasi karena kehausan. Rasulullah heran karena tangan Abu Dzar menggenggam sebungkus air minum. “Kamu punya air tetapi kamu tampak kehausan?“, tanya sang Rasul. “Ya Nabi Allah, di tengah jalan aku sangat kehausan sampai akhirnya menemukan air yang sejuk. Aku khawatir Nabi juga merasakan kehausan yang sama, maka tidaklah adil jika aku meminum air ini sebelum Nabi meminumnya,” jawab Abu Dzar.
Setelah Rasulullah wafat, Abu Dzar meninggalkan kota Madinah, berdakwah dan mempertahankan nilai-nilai kehidupan dari kontaminasi kenikmatan dunia. Hidupnya semakin terkucil karena perbedaan pendapat dengan penguasa saat itu. Sabda Rasulullah tentang kesendirian Abu Dzar terbukti, ketika pada tahun 32 H, tiada yang menemani kepergiannya kecuali isteri dan anaknya. Menjelang meninggalnya, beliau berwasiat kepada isteri dan anaknya itu agar keduanya yang memandikan dan mengkafaninya.
Tatkala Abu Dzar meninggal, keduanya pun melakukan apa yang diwasiatkannya, lalu meletakkan beliau di pinggir jalan. Saat itu lewatlah Abdulah bin Mas’ud dan sekelompok rombongan dari Irak untuk umrah. Mereka menemukan sebuah jenazah di pinggir jalan yang di sampingnya ada seekor unta dan seorang anak yang berkata, “Ini adalah Abu Dzar sahabat Rasulullah, maka tolonglah kami untuk menguburkannya”.
Maka, Abdullah bin Mas’ud pun menangis dan berkata, “Sungguh telah benar Rasulullah, beliau bersabda bahwa Abu Dzar, dia berjalan pergi sendirian, dan meninggal pun dalam kesendirian, dan akan dibangkitkan dalam kesendirian pula”.
Itulah Abu Dzar Al Ghifari, yang dipuji oleh Rasulullah dalam sebuah sabdanya, “Bumi tidak pernah menadah dan langit tidak pernah menaungi orang yang lebih jujur daripada Abu Dzar”
Itulah generasi sahabat nabi. Lantas bagaimana dengan mental kita wahai Fulan! Mungkin kita generasi yang tersesat di jalan materi. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar