Rabu, 30 Mei 2012

Mentimun Bungkuk di Bursa Politik

on Tuesday, June 29, 2010 at 11:19am ·
(tulisan ini disebarluaskan HARIAN VOKAL, Rabu, 30 Juni 2010)

Datang tidak menambah, pergi tidak mengurangi. Masuk keranjang iya, tapi tidak dihitung. Ada atau tidak, tidak berpengaruh. Tak ada kontribusi yang diberikan pada lingkungan sekitarnya. Itulah nasib mentimun bungkuk.
Anak kemanakan lima Luhak di Kabupaten Rokan Hulu menilai Wakil Bupati setempat, H Sukiman berada pada kadar demikian. Punya jabatan strategis namun dianggap belum berprestasi. Hmm…sayang ya!
Banyak orang tidak tahu kalau negeri seribu suluk itu punya wakil bupati. Tak sedikit pula mengira-ngira, Rohul sama dengan Pelalawan beberapa waktu lalu, sama-sama tidak punya wakil bupati. Apakah lantaran Sukiman nyaris tak pernah tampil di media massa, dia dianggap tidak ada? Lantas dinilai tidak berprestasi dan nol perperbuatanya bagi kemajuan daerah. Entahlah! Ini hanya sekelabat pikiran liar di tengah masyarakat.
Setiap orang berangkat dari asumsi pribadi. Tatkala kurang kontrol, bisa jadi terjebak pada skeptisme yang luar biasa. Ada sebuah cerita di laman motivasi di sebuah situs internet. Seorang wanita sedang menunggu di bandara suatu malam. Masih ada beberapa jam sebelum jadwal terbangnya tiba. Untuk membuang waktu, ia membeli buku dan sekantong kue di toko bandara, lalu menemukan tempat untuk duduk.
Sambil duduk wanita tersebut membaca buku yang baru saja dibelinya. Dalam keasyikannya tersebut ia melihat lelaki di sebelahnya dengan begitu berani mengambil satu atau dua dari kue yang berada di antara mereka berdua. Wanita tersebut mencoba mengabaikan agar tidak terjadi keributan. Ia membaca, mengunyah kue dan melihat jam. Sementara si pencuri kue yang pemberani menghabiskan persediaannya.
Ia semakin kesal sementara menit-menit berlalu. Wanita itupun sempat berpikir: “Kalau aku bukan orang baik sudah kutonjok dia!”. Setiap ia mengambil satu kue, si lelaki juga mengambil satu.
Ketika hanya satu kue tersisa, ia bertanya-tanya apa yang akan dilakukan lelaki itu. Dengan senyum tawa di wajahnya dan tawa gugup, si lelaki mengambil kue terakhir dan membaginya dua. Si lelaki menawarkan separo miliknya sementara ia makan yang separonya lagi. Si wanita pun merebut kue itu dan berpikir “Ya ampun orang ini berani sekali”, dan ia juga kasar malah ia tidak kelihatan berterima kasih. Belum pernah rasanya ia begitu kesal.
Ia menghela napas lega saat penerbangannya diumumkan, dan ia mengumpulkan barang miliknya dan menuju pintu gerbang. Menolak untuk menoleh pada si “Pencuri tak tahu terima kasih!”.
Ia naik pesawat dan duduk di kursinya, lalu mencari bukunya, yang hampir selesai dibacanya. Saat ia merogoh tasnya, ia menahan napas dengan kaget. Di situ ada kantong kuenya, di depan matanya. Kok… milikku ada di sini erangnya dengan patah hati. Jadi kue tadi adalah miliknya dan ia mencoba berbagi. Terlambat untuk minta maaf, ia tersandar sedih.
Bahwa sesungguhnya dialah yang kasar, tak tahu terima kasih dan dialah pencuri kue itu. Dalam hidup ini kisah pencuri kue seperti tadi sering terjadi. Kita sering berprasangka dan melihat orang lain dengan kacamata kita sendiri serta tak jarang kita berprasangka buruk terhadapnya.
Orang lainlah yang selalu salah, orang lainlah yang patut disingkirkan, orang lainlah yang tak tahu diri, orang lainlah yang berdosa, orang lainlah yang selalu bikin masalah, orang lainlah yang pantas diberi pelajaran. Padahal kita sendiri yang mencuri kue tadi, padahal kita sendiri yang tidak tahu terima kasih. Kita sering mempengaruhi, mengomentari, mencemooh pendapat, penilaian atau gagasan orang lain sementara sebetulnya kita tidak tahu betul permasalahannya. **

Tidak ada komentar:

Posting Komentar