Rabu, 30 Mei 2012

Tuhan Mati di Tangan Pelacur

on Sunday, April 25, 2010 at 5:07pm ·
(tulisan ini disebarluaskan harian vokal dan riauhariini.com)

Orang heboh dengan penari telanjang yang beraktivitas di Pekanbaru. Di Negeri Bertuah sangat terlarang menampilkan lekuk tubuh tanpa busana, apalagi sambil bergoyang. Ini Pekanbaru Tuan dan Puan! Sebuah negeri katanya sangat Melayu dan menonjolkan karakter islami.
Tak heran manakala ada kabar mesum, nyaris semua petinggi kota, baik yang formal maupun informal, kasak-kusuk mencaci-maki. Apakah si pencela lebih baik dari yang dicela? Apakah si tukang maki lebih berhak mendapatkan tiket surga dari yang dimaki? Apakah si penghujat lebih disayang Tuhan ketimbang yang dihujat? Entahlah Fulan! Petinggi itu tentu lebih mafhum perkara begituan.
Di tengah berseliwerannya kemarahan orang yang merasa dirinya moralis, barangkali elok juga membaca penggalan kisah yang ditulis Yunk GAN. Seorang wanita penghibur pergi dari lokalisasi ke desa di selatan kota yang sering dikunjunginya. Di ujung desa itu terdapat lembah ngarai yang pemandangannya sangat indah. Di sebelah timur ngarai itu terdapat hutan lebat, dan gunung yang tak begitu tinggi. Saat matahari muncul dari balik gunung itu sinar emasnya meluncur seperti lempengan emas menerpa dedaunan pepohonan hutan itu.
Sementara itu kabut merayap naik dari ngarai lalu dengan pelan dan halus menyelimuti hutan dan lubang ngarai yang menganga itu. Meski di atas ngarai, ia tak merasa berada di ketinggian jika kabut itu sudah menutupinya, sebab nanti hanya akan tampak hamparan
permadani putih membentang di atas ngarai. Karenanya dia bisa berjalan ke permadani itu dan, tentu saja, ia akan jatuh ke ngarai yang curam dan berbatu. Sungguh tempat ideal untuk bunuh diri.
Saat pelacur itu sampai di tempat itu di pagi hari, ngarai tersebut sudah hampir tertutup oleh kabut, dan permadani putih itu sudah terbentuk. Keadaannya sepi, dan hanya desir angin yang mengisi kekosongan. Dia tinggal menunggu beberapa saat lagi, dan terlaksanalah rencananya, tanpa harus takut.
Demikianlah, ketika permadani itu sudah terbentuk, ia menarik nafas panjang, mengepalkan kedua tangan, ditegakkannya kepala dan punggungnya, lalu dengan langkah pelan tapi pasti ia berjalan ke bibir ngarai.Angin masih berdesir,dan di atas seekor burung melayang seolah ingin menyaksikan detik-detik yang mendebarkan ini.
Langit biru cerah, udara dingin, sepi, dan langkah kakinya terdengar berdetak keras saat menapak tanah. Dalam hitungan detik ia sampai di bibir ngarai. Ia tak menatap ke bawah, hanya memandang permadani putih itu. Sejenak ia tampak bimbang, bibirnya terkatup.
Lalu dipejamkan matanya dan seiring hembusan angin ia mengangkat kakinya maju ke depan… Di kejauhan terdengar suara cicit burung. Daun gemerisik disentuh angin. Bukk… pelacur itu terjerembab… ke belakang! Di saat yang menentukan itu sebuah tangan menarik badannya dengan keras. Jadi ia tak jadi mati.
Pelacur itu meringis kesakitan, lalu menoleh ke belakang. Di lihatnya seorang lelaki setengah baya, sedikit beruban, memanggul ikatan rumput, dengan sabit di pinggangnya. Lelaki itu tersenyum. “Kenapa?” tanyanya pelan, sambil meletakkan ikatan rumput, lalu menolong pelacur itu berdiri.
Pelacur itu, setelah terhenyak heran sejenak, merasa kecewa, sedih dan marah, lalu duduk di atas tanah. Kemudian terdengar isak tangis di kesunyian. Lelaki itu membiarkannya menangis. Setelah beberapa lama isak itu semakin pelan, lalu berhenti sama sekali.
“Kenapa?” kembali ia bertanya. Pelacur itu hanya diam. Angin menderu sedikit lebih kencang. Setelah beberapa lama ia mendesah. “Mengapa paman selamatkan aku?” protesnya.
“Aku hanya mengikuti kata hati. Bunuh diri itu perbuatan buruk, maka aku mencegahmu. Tampaknya kau menanggung beban persoalan yang sangat berat hingga kau berbuat nekat. Ceritakanlah, barangkali aku bisa meringankannya. “
“Tak usahlah paman. Aku sudah berminggu-minggu mencoba menguranginya, tapi itu bahkan menambah bebanku. Lagipula aku tak ingin membebani paman dengan persoalanku. “Lelaki itu tersenyum. “Mari duduk. Ceritakan saja, aku tak kan merasa terbebani.” Setelah ragu sejenak, pelacur itu menurut. Ia duduk di atas batu, sedangkan lelaki itu duduk di depannya, juga di atas batu. Hening sesaat.
Burung di langit itu masih berputar, seperti tak hendak melewatkan peristiwa ini. Kemudian, sambil menyibakkan rambut yang menutup wajahnya itu, dia mengangkat kepalanya dan menatap lelaki itu. Lalu ia mulai menceritakan semuanya, ya, semuanya, dari awal hingga akhir.
Setelah selesai, pelacur itu menunduk lagi, dan tak terasa matanya kembali berlinang. “Hmm, jadi itu persoalannya. Jadi kau yakin Tuhan, walau mungkin akan mengampunimu, Dia tetap akan menghukummu atas dosa-dosamu. Sungguh adil Tuhanmu itu, tetapi Dia juga sungguh keras. Tak memberimu pilihan selain melacur, hmm, Dia sungguh keras.”
Perempuan itu hanya menganggukkan kepalanya. “Aku mau bertanya, seandainya ada orang yang membebaskanmu dari dunia pelacuran, apakah kau masih yakin Tuhan akan menghukummu?” Sejenak pelacur itu berpikir. “Ya,” jawabnya.
“Mengapa?” “Sebab aku terlampau kotor, dan hanya api neraka saja yang bisa menghapusnya. Bukankah Dia itu Hakim Maha Adil? Tentunya kesalahan tak dihapus begitu saja. Bukankah menurut kitab suci yang pernah aku baca perbuatan buruk sebesar zarah sekalipun akan mendapat balasannya?”
“Jadi menurutmu Tuhan itu bagaimana?”
“Dia Maha Adil. Dia pasti menepati janji. Aku ingat dulu ustad di
desaku mengatakan begitu. Dia akan menghukumku…” sampai di sini
dia menangis lagi.
Lelaki itu menggelengkan kepalanya. tampak jelas dia begitu masygul.”Terlalu banyak orang yang seperti dia” katanya dalam hati. Tapi ia sadar bahwa pelacur itu sudah banyak mendapat nasihat, jadi dia merasa tak perlu memberinya nasihat lagi.
Akhirnya, setelah menimbang-nimbang sejenak dia berkata: “Kau tertekan sekali. Hidupmu demikian pedih karena Tuhanmu menghendaki begitu, kan? Tak memberimu pilihan selain melacur, dan tentu akan menghukummu, ” katanya, mengulang kata-katanya yang tadi telah diucapkan.
Sambil terisak pelacur itu mengangguk, “Ya, Dia tak memberiku banyak pilihan.”
“Jadi kalau begitu Tuhanmu itulah sumber masalahnya,sebab Dia-lah yang menjadikanmu tertekan begini.”
Mendengar ini, pelacur itu agak ragu. Benarkah Tuhannya yang menjadi sumber masalah? Benarkah takdir-Nya yang menciptakan semua persoalan yang menimpanya kini? Ia jadi bimbang, tak tahu apa yang mesti dikatakan. Seketika pikirannya kosong, kalut. Ia jadi takut sendiri.
“Jika menurutmu Tuhan itu sumber masalah, kau abaikan saja Dia, atau… “sejenak dia berhenti. Lalu dengan pelan berkata sambil tersenyum misterius:”Bunuhlah Dia. Kujamin masalahmu hilang,” Dan pelacur itu kaget lalu bertambah jengkel. Membunuh Tuhan? “Apa maksud paman?”
“Ya, tinggalkan dia. Hiduplah tanpa Tuhan.” Pelacur itu jadi ragu, jangan-jangan lelaki ini tak waras. Tapi, setelah berpikir agak lama, rasanya anjurannya tampak masuk akal.
Jika ia tak memikirkan Tuhannya lagi, tak memikirkan surga neraka, tentunya ia tak perlu
Ya, ia akan bunuh atau tinggalkan saja Tuhannya itu. Ia akan menapak hidup ini dengan riang dan bebas dari beban dosa dan kecemasan akan murka-Nya. Ia merasa bebas. Karena ia sudah membunuh Tuhan, bukankah takdir itu sudah tak berlaku lagi? Pikirannya kini dipenuhi banyak rencana, dan seiring dengan semakin tenangnya pikirannya itu, ia merasakan banyak kesempatan terbuka lebar di hadapannya. Ia punya rencana jadi TKW, atau pembantu domestik. Ia juga punya rencana untuk membuka warung makan. Modalnya bisa pinjam temannya. Pokoknya sejak ia membunuh Tuhan, pilihan tak lagi terbatas. Ia tak lagi hanya punya pilihan melacur!
Takdir-Nya sudah dihancurkan! Ah, benar sekali nasihat lelaki itu: membunuh Tuhan yang jadi sumber masalah. Kenapa tidak dari dulu saja! Kini ia jadi pembantu. Sekarang dia tenang dan bahagia dengan keadaannya yang sekarang. Pagi itu ia merasa dadanya sangat lapang. Majikannya akan pergi selama seminggu, dan dia boleh pergi ke mana saja selama seminggu ini. Dia ingin berlibur, dan tempat pertama yang muncul di pikirannya adalah ngarai itu. Ya, ngarai yang mengubah jalan hidupnya.
Pagi buta dia berangkat. Setelah tiga jam sampailah dia di sana. Tak lama ketika dia duduk di batu yang sama, tiba-tiba dia merasakan sentuhan di bahunya. Saat membuka mata dia melihat lelaki yang dulu itu sudah berada di depannya. Tapi kini ia tak membawa ikatan rumput, hanya sabit di pinggangnya. “Bagaimana keadaanmu?” tanyanya, dengan senyum yang masih sama seperti yang dulu.
Kini bekas pelacur itu membalas senyum itu dengan senyum pula. “Jauh
lebih baik. Aku merasa lebih bahagia dan tenang. sekali lagi, terima kasih atas nasihat paman,” sahutnya ramah.
Dan lelaki itu tertawa kecil, mengangguk-anggukan kepalanya. “Hmm, kau telah menemukan ganti atas Tuhanmu yang kau bunuh dulu. Kau telah menemukan Tuhan baru.”
Bekas pelacur heran mendengar ucapannya. Mendapatkan ganti Tuhan yang baru? Memangnya ada berapa banyak Tuhan itu? “Apa maksudmu?” “Apakah kau tahu bahwa Tuhan itu tunduk kepada pikiran orang?”
Perempuan itu menggeleng, dan bertambah heran. Lelaki itu bangkit
berdiri, menatap hamparan langit, lalu berkata: “Dulu kau menundukkan Tuhan dengan pikiranmu. Kau jadikan dia Tuhan yang Adil dan Keras. Tuhan yang tak memberimu pilihan. Maka Tuhanpun menuruti keinginanmu. Jadi bukan Tuhan sumber masalahmu, tapi kau sendiri.”
Seketika itu juga pikirannya kembali kosong, tapi kini tak kalut lagi. Ia lalu lagi-lagi ingat dulu waktu kecil saat mengaji kitab-kitab agama, ustadnya membacakan hadits qudsi, yang artinya kurang lebih menyatakan bahwa Tuhan itu adalah sesuai dengan anggapan dan pikiran orang, karena itu orang mesti berbaik sangka kepada-Nya. Bekas pelacur itu tersenyum. Lelaki itu juga tersenyum, dan setelah mengucap salam dia pergi, mencari rumput dengan sabitnya yang terselip di pinggang. Sejenak kemudian bekas pelacur itu tiba-tiba seperti mendengar panggilan salat. Dan kali ini hatinya bergetar, sebab hatinya rindu ingin segera menemui dan bercakap-cakap lebih banyak dengan Tuhannya yang baru ini. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar