Rabu, 30 Mei 2012

Pemimpin Kami Sudah Berusia Lanjut

on Sunday, July 25, 2010 at 8:05pm ·
(TULISAN INI DISEBARLUASKAN HARIAN VOKAL, 25 JULI 2010)

Bergema suara anak Rohil di Departemen Dalam Negeri. Namanya Saut. Komentarnya menggetarkan jagad raya perpolitikan Negeri Seribu Kubah. Bak pantulan suara dari menara gading yang memantul dari bukit ke bukit.
Ribut orang se-kabupaten dibuatnya. Dimana-mana orang berbicara pemimpin uzur, orang yang didahulukan selangkah, ditinggikan seranting sudah lansia, gaek alias tua bangka. Perkataan demikian jelas ditujukan kepada Bupati Annas Maamun yang sekarang berusia sekitar 70 tahun.
Pendukung bupati pun beraksi. Beragam pernyataan pembelaan terdengar dimana-mana. Mereka cinta pada orang tua ini dengan segala apa yang mereka sebut sebagai kesuksesan.
Orang lanjut usia dalam persepsi dan sosok berumur dalam paradigma membuat orang teringat dengan Nelson Rolihlahla Mandela, mantan Presiden Afrika Selatan. Tokoh yang terkenal dengan pejuang apartheid ini memutuskan tak maju lagi sebagai pemimpin negaranya pada umur 81 tahun. Sosok kelahiran 18 Juli 1918 menjabat presiden saat umur 76 tahun.
Kebesaran seorang pemimpin antara lain dapat dilihat dari apa yang diwariskannya. Sejak awal masa kepresidenannya, Mandela telah mempersiapkan suatu Afrika Selatan pasca-Mandela. Sebagai negarawan besar, Mandela menolak masa jabatan kedua setelah kepresidenannya berakhir pada 1999 kendati banyak pihak menghendaki hal itu. ”Saya pikir tidaklah bijak bahwa suatu negara kuat seperti Afrika Selatan mesti dipimpin oleh seorang yang sudah uzur. Anda membutuhkan orang yang lebih muda yang mampu mengguncang dan menggerakkan negeri ini,” seperti dikutip dari Meredith, 1999:552.
Barangkali, inilah yang mendorong banyak orang yang menginginkan Annas Maamun untuk maju lagi. Hmmm…Ini persepsi Bung! Sama hal juga dengan cerita seorang ayah yang kaya mengajak anaknya ke sebuah tempay yang dhuni orang miskin. Begini kisahnyanya. Suatu hari, ayah yang sangat sejahtera membawa anaknya bepergian ke suatu negara yang sebagian besar penduduknya hidup dari hasil pertanian, dengan maksud untuk menunjukkan bagaimana kehidupan orang-orang yang miskin.
Mereka menghabiskan waktu berhari-hari di sebuah tanah pertanian milik keluarga yang terlihat sangat miskin. Sepulang dari perjalanan tersebut, sang ayah bertanya. “Bagaimana perjalanan tadi?”
“Sungguh luar biasa, Pa.”
“Kamu lihat kan bagaimana kehidupan mereka yang miskin?” tanya sang ayah.
“Iya, Pa,” jawabnya.
“Jadi, apa yang dapat kamu pelajari dari perjalanan ini?” tanya ayahnya lagi.
Si anak menjawab, “Saya melihat kenyataan bahwa kita mempunyai seekor anjing sedangkan mereka memiliki empat ekor. Kita punya sebuah kolam yang panjangnya hanya sampai ke tengah-tengah taman, sedangkan mereka memiliki sungai kecil yang tak terhingga panjangnya. Kita memasang lampu taman yang dibeli dari luar negeri dan mereka memiliki bintang-bintang di langit untuk menerangi taman mereka.
Beranda rumah kita begitu lebar mencapai halaman depan dan milik mereka seluas horison. Kita tinggal dan hidup di tanah yang sempit sedangkan mereka mempunyai tanah sejauh mata memandang. Kita memiliki pelayan yang melayani setiap kebutuhan kita tetapi mereka melayani diri mereka sendiri. Kita membeli makanan yang akan kita makan, tetapi mereka menanam sendiri. Kita mempunyai dinding indah yang melindungi diri kita dan mereka memiliki teman-teman untuk menjaga kehidupan mereka.”
Dengan cerita tersebut, sang ayah tidak dapat berkata apa-apa. Kemudian si anak menambahkan, “Terima kasih, Pa, akhirnya aku tahu betapa miskinnya diri kita.”
Itulah Fulan! Beberapa tahun yang lalu, kalau tak salah tahun 2005, Partai Golkar pernah mengeluarkan rekomendasi batas maksimal umur kepala daerah, yaitu 60 tahun. Hmm…bisa jadi ada pengecualian. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar