Rabu, 30 Mei 2012

Setianya Seekor Buaya Jantan

on Tuesday, June 8, 2010 at 3:02pm ·
Tulisan ini disebarluaskan harian vokal)

Ada pesan pendek beredar sebelum hari Pemilu Kada 3 Juni 2010 di Bengkalis. Kalau pasangan si Fulan menang, alamat dibolehkan poligami bagi Pegawai Negeri Sipil. Ibu-ibu yang mendapatkan pesan sontak rebut. Hmmmm…buaya darat di Negeri Kunjungan. Calon pemimpin yang bertingkah, buaya yang kena labrak kata-kata. Luar biasa!
Terlepas dari aksi politik tersebut, sesungguhnya seekor buaya jantan adalah makhluk Tuhan yang setia. Hewan reptil merupakan hewan yang paling setia terhadap pasangannya. Seekor buaya jantan hanya memiliki satu pasangan. Buaya jantan hanya akan kawin dengan betina yang sama seumur hidupnya. Bahkan jika sang betina mati terlebih dahulu, buaya jantan akan tetap menjaga janji setia sang pasangan dengan cara tidak akan mengawini betina lain seumur hidupnya.
Lantas kenapa pula buaya sebagai simbol ketidaksetiaan seorang lelaki? Sungguh kedengaraannya padasoksal. Bertolak belakang dan tidak dari nyatanya. Namun sebuah referensi menuliskan, buaya darat adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan seorang lelaki yang menduakan, mentigakan bahkan mengempatkan pasangannya. Tapi kenapa harus buaya?
Cerita bermula tatkala di Desa Soronganyit, pada tahun 1971, di sebuah daerah yang bernama Soronganyit yang terletak di sekitar Jember tersebutlah terdapat sebuah tambak buaya, dan buaya buaya tersebut sudah mempunyai jadwal aktivitas yang rutin, kapan harus di darat dan kapan harus di air. Nah pada suatu hari pemilik tambak kehilangan satu ekor buaya jantan. Tentu saja satu desa gempar dan semua penduduk akhirnya ketakutan, mungkin karena takut dimangsa oleh buaya tersebut banyak penduduk yang melakukan hal yang aneh-aneh. Ada yang mengurung diri di rumah, ada yang ke dukun dll.
Pada bulan ketiga setelah kegemparan terjadi, akhirnya buaya tersebut ditemukan di salah satu desa tetangga, yang lingkungannya cukup tandus kering kekurangan air. Tetapi anehnya buaya tersebut bisa bertahan hidup tanpa air selama tiga bulan, hanya dengan cara mandi kucing dengan buaya betina yang entah datang darimana, yang tentu saja bukan pasangannya yang sah. Lebih parahnya lagi, betina yang baru ini ternyata seumuran dengan anaknya sendiri, dasar buaya. Maka sejak itu melalui word of mouth, dimulai dari desa Soronganyit, jika sekiranya ada lelaki yang punya affair dengan perempuan yang bukan pasangannya, maka dia disebut lelaki buaya darat.
Wahai Fulan. Begitulah orang kita. Satu buaya yang melenceng, semua lelaki kena getahnya. Dua kata itu melekat dalam benak. Semoga buaya darat kembali menjadi air tawar yang setia. Alamak! Semuanya berubah. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar