Rabu, 30 Mei 2012

Cuci Pakaian dengan Air Kencing

on Wednesday, July 21, 2010 at 6:27pm ·
(TULISAN INI DISEBARLUASKAN HARIAN VOKAL, 22 JULI 2010)

Ada perkataan semacam doa dari Direktur RSUD Dumai, dr Azrida usai dirampok. Pimpinan rumah sakit plat merah itu meminta pelaku kejahatan yang mengambil tas miliknya nan berisi uang Rp 9 juta, agar insaf.
Ini kata kuncinya; insaf. Serta-merta jadi teringat perampokan yang dilakoni Raden Said yang kemudian tersohor dengan nama Sunan Kalijaga. Merampok dengan motivasi mirip Robin Hood. Hasil rampokan untuk fakir miskin. Perampok bermental budiman yang punya kekuasaan di hutan Jatiwangi.
Yang dirampoknya hanya para hartawan atau orang kaya yang kikir, tidak menyantuni rakyat jelata, dan tidak mau membayar zakat. Di hutan Jatiwangi dia membuang nama aslinya. Orang menyebutnya Brandal Lokajaya.
Pada masanya, seorang berjubah putih lewat di hutan Jatiwangi. Dari jauh Brandal Lokajaya sudah mengincarnya. Lelaki tua itu membawa sebatang tongkat yang gagangnya berkilauan. “Pasti gagang tongkat itu terbuat dari emas,” bisik Brandal Lokajaya dalam hati.
Terus diawasinya dan setelah dekat dia hadang langkahnya. “Orang tua, apa kau pakai tongkat? Tampaknya kau tidak buta, sepasang matamu masih awas dan kau juga masih kelihatan tegar, kuat berjalan tanpa tongkat!”
Lelaki berjubah putih itu tersenyum, wajahnya ramah, dengan suara lembut dia berkata; “Anak muda! Perjalanan hidup manusia itu tidak menentu, kadang berada di tempat terang, kadang berada di tempat gelap, dengan tongkat ini aku tidak akan tersesat bila berjalan dalam kegelapan.”
“Tapi ...! Saat ini hari masih siang, tanpa tongkat saya kira kau tidak akan tersesat berjalan di hutan,” sahut Raden Said.
Kembali lelaki berjubah putih itu tersenyum arif. “Anak muda! Perjalanan hidup manusia itu tidak menentu, kadang berada di tempat terang, kadang berada di tempat gelap, dengan tongkat ini aku tidak akan tersesat bila berjalan dalam kegelapan.”
“Tetapi saat ini hari masih siang, tanpa tongkat saya kira kau tidak akan tersesat berjalan di hutan ini,” sahut Raden Said kembali.
Lagi-lagi lelaki berjubah putih itu tersenyum arif. “Anak muda tongkat adalah pegangan, orang hidup haruslah mempunyai pegangan supaya tidak tersesat dalam menempuh perjalanan hidupnya.”
Agaknya jawab-jawab yang mengandung filosofi itu tak menggugah hati Raden Said. Dia mendengar dan mengakui kebenarannya tapi perhatiannya terlanjur tertumpah kepada gagang tongkat lelaki berjubah putih itu. Tanpa banyak bicara lagi direbutnya tongkat itu dan tersungkurlah orang berjubah putih itu.
Dengan susah payah orang itu bangun, sepasang matanya mengeluarkan air walau tak ada suara tangis dari mulutnya. Raden Said pada saat itu sedang mengamat-amati gagang tongkat yang dipegangnya. Ternyata tongkat itu bukan terbuat dari emas, hanya gagangnya saja terbuat dari kuningan sehingga berkilauan tertimpa cahaya matahari, seperti emas. Raden Said heran melihat orang itu menangis. Segera diulurkannya kembali tongkat itu, “Jangan menangis, ini tongkatmu kukembalikan.”
“Bukan tongkat ini yang kutangisi,” ujar lelaki itu sembari memperlihatkan beberapa batang rumput di telapak tangannya. “Lihatlah! Aku telah berbuat dosa, berbuat kesia-siaan. Rumput ini tercabut ketika aku aku jatuh tersungkur.”
“Hanya beberapa lembar rumput. Kau merasa berdosa?” tanya Raden Said heran.
“Ya, memang berdosa! Karena kau mencabutnya tanpa suatu keperluan. Andaikata guna makanan ternak itu tidak mengapa. Tapi untuk suatu kesia-siaan benar-benar suatu dosa!”
Hati Raden Said agak tergetar atas jawaban yang mengandung nilai iman itu.
“Anak muda sesungguhnya apa yang kau cari di hutan ini ?”
“Saya mengintai harta ?”
“Untuk apa?”
“Saya berikan kepada fakir miskin dan penduduk yang menderita.”
“Hemm, sungguh mulia hatimu, sayang ...... caramu mendapatkannya yang keliru.”
“Orang tua, apa maksudmu?”
“Boleh aku bertanya anak muda ?”
“Silahkan!”
“Jika kau mencuci pakaianmu yang kotor dengan air kencing, apakah tindakanmu itu benar ?”
“Sungguh perbuatan bodoh. Hanya manambah kotor dan bau pakaian saja.”
Lelaki itu tersenyum. “Demikian pula amal yang kau lakukan. Kau bersedekah dengan barang yang didapat secara haram. Merampok atau mencuri, itu sama halnya mencuci pakaian dengan air kencing.”
Raden Said tercekat.
“Allah itu adalah zat yang baik, hanya menerima amal dari barang yang baik atau halal.”
Raden Said makin tercengang mendengar keterangan itu. Rasa malu mulai menghujam hati. Betapa keliru perbuatannya selama ini. Di pandangnya sekali lagi wajah lelaki berjubah putih itu. Agung dan berwibawa namun mencerminkan pribadi yang welas asih. Dia mulai suka dan tertarik pada lelaki berjubah putih itu.
“Banyak hal yang terkait dalam usaha mengentas kemiskinan dan penderitaan rakyat pada saat ini. Kau tidak bisa merubahnya hanya dengan memberi para penduduk miskin bantuan makan dan uang. Kau harus memperingatkan para penguasa yang zalim agar mau mengubah caranya memerintah yang sewenang-wenang, kau juga harus dapat membimbing rakyat agar dapat meningkatkan taraf kehidupannya!”
Raden Said semakin terpana, ucapan seperti itulah yang didambakannya selama ini.
“Kalau kau tak mau kerja keras, dan hanya ingin beramal dengan cara yang mudah maka ambillah itu. Itu barang halal. Ambillah sesukamu!” kata lelaki itu sembari menunjuk pada sebatang pohon aren. Seketika pohon itu berubah menjadi emas seluruhnya. Sepasang mata Raden Said terbelalak. Dia adalah seorang pemuda sakti, banyak ragam pengalaman yang telah dikecapnya. Berbagai ilmu yang aneh-aneh telah dipelajarinya. Dia mengira orang itu mempergunakan ilmu sihir, kalau benar orang itu mengeluarkan ilmu sihir ia pasti dapat mengatasinya.
Akan tetapi, setelah ia mengerahkan ilmunya, pohon aren tetap berubah menjadi emas. Berarti orang itu tidak mempergunakan sihir.
Raden Said terpukau di tempatnya berdiri. Dia mencoba memanjat pohon aren itu. Benar-benar berubah menjadi emas seluruhnya. Ia ingin mengambil buah aren yang telah berubah menjadi emas berkilauan itu. Mendadak buah aren itu rontok, berjatuhan mengenai kepala Raden Said. Pemuda itu terjerembab ke tanah. Roboh dan pingsan.
Sejak itulah perampok budiman itu bertaubat. Dia menjadi murid lelaki berjubah yang kemudian diketahui bernama Sunan Bonang. Jadi mereka bagian dari wali songo.
Tuan dan Puan! Adakah perampok yang beraksi di Riau itu bertaubat! Atau paling tidak menjadi Robin Hood! He he he entahlah Buyung! Tapi tak salah manakala kita cari mereka di tempat pelacuran atau hiburan lainnya. Di sana muaranya Tuan! ***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar