Rabu, 30 Mei 2012

Jadi Hakim = Disembelih Tanpa Pisau

on Wednesday, March 31, 2010 at 6:36pm ·
(tulisan ini disebarluaskan Harian Vokal dan riauhariini.com)

Ketukkan palu hakim di Pengadilan Negeri Pasir Pengaraian telah bikin ricuh, keributan dan anarkis. Malah sampai-sampai pengacara dihajar hingga babak belur, kaca pecah, dan peralatan kantor dirusak.
Mengingat begitu besarnya dampak putusan hakim, ada sebuah hadist yang patut direnungkan. Sebagaimana diriwayatkan Turmudzi, Rasulullah SAW bersabda; “Barangsiapa yang diangkat sebagai hakim di tengah-tengah masyarakat, sama saja disembelih tanpa pisau.”
Betapa berat dan ngerinya menjabat sebagai pemutus keadilan di muka bumi. Baru saja kedudukan diambil, diri sudah disembelih. Malah tanpa pisau lagi. Menakutkan. Hingga tak heran pula di lain waktu dan tempat, Rasulullah pernah mengatakan; “Ada tiga golongan hakim, dua golongan di neraka, sedang satu golongan lagi masuk surga. Hakim masuk surga adalah mengetahui kebenaran hukum dan mengadili dengan hukum tersebut. Sedang hakim yang mengetahui kebenaran hukum, tetapi tidak mengadili dengan hukum tersebut, bahkan bertindak zhalim dalam memutuskan perkara, maka ia masuk neraka. Yang segolongan lagi adalah hakim yang bodoh, yang tidak mengetahui kebenaran dan memutuskan perkara dengan kebodohannya itu. Maka ia juga masuk neraka.”
Bicara soal hakim, ada kisah yang cukup menarik. Tersebutlah Abu Nawas, tokoh yang dinggap badut namun juga dianggap ulama besar, tokoh super lucu yang tiada bandingnya dan aslinya orang Persia. Ia dilahirkan pada tahun 750 M di Ahwaz meninggal pada tahun 819 M di Baghdad. Setelah dewasa ia mengembara ke Bashra dan Kufa. Di sana ia belajar bahasa Arab dan bergaul rapat sekali dengan orang-orang badui padang pasir. Karena pergaulannya itu ia mahir bahasa Arab dan adat istiadat dan kegemaran orang Arab, la juga pandai bersyair, berpanlun dan menyanyi. la sempat pulang ke negerinya, namun pergi lagi ke Baghdad bersama ayahnya, keduanya menghambakan diri kepada Raja Baghdad, Sultan Harun Al Rasyid.
Abu Nawas adalah orang yang tidak mau jadi hakim. Kisahnya bermula ketika ayahnya sakit parah dan hendak meninggal dunia. Saat itulah Abu Nawas dipanggil untuk menghadap. Abu Nawas pun datang mendapati bapaknya yang sudah lemah lunglai.
Berkata bapaknya, “Hai anakku, aku sudah hampir mati. Sekarang ciumlah telinga kanan dan telinga kiriku.”
Abu Nawas segera menuruti permintaan terakhir bapaknya. la cium telinga kanan bapaknya, ternyata berbau harum, sedangkan yang sebelah kiri berbau sangat busuk.
“Bagamaina anakku? Sudah kau cium?” “Benar Bapak!” “Ceritakan dengan sejujurnya, baunya kedua telingaku ini.” “Aduh Pak, sungguh mengherankan, telinga Bapak yang sebelah kanan berbau harum sekali. Tapi… yang sebelah kiri kok baunya amat busuk?”
“Hai anakku Abu Nawas, tahukah apa sebabnya bisa terjadi begini?” “Wahai bapakku, cobalah ceritakan kepada anakmu ini.”
“Suatu hari datang dua orang mengadukan masalahnya kepadaku. Yang seorang aku dengarkan keluhannya. Tapi yang seorang lagi karena aku tak suka maka tak kudengar pengaduannya. Inilah resiko menjadi hakim. Jika kelak kau suka menjadi Kadi maka kau akan mengalami hal yang sama, namun Jika kau tidak suka menjadi Kadi maka buatlah alasan yang masuk akal agar kau tidak dipilih sebagai Kadi o!eh Sultan Harun Al Rasyid. Tapi tak bisa tidak Sultan Harun AI Rasyid pastilah tetap memilihmu sebagai Kadi.”
Nah, itulah sebabnya Abu Nawas pura-pura menjadi gila. Hanya untuk menghindarkan diri agar tidak diangkat menjadi kadi, seorang kadi atau penghulu pada masa itu kedudukannya seperti hakim yang memutus suatu perkara. Walaupun Abu Nawas tidak menjadi Kadi namun dia sering diajak konsultasi oleh sang Raja untuk memutus suatu perkara. Bahkan ia kerap kali dipaksa datang ke istana hanya sekadar untuk menjawab pertanyaan Baginda Raja yang aneh-aneh dan tidak masuk akal.
Inilah satu kisah yang pernah diselesaikan Abu Nawas. Entah sudah berapa hari kasus seorang bayi yang diakui oleh dua orang ibu yang sama-sama ingin memiliki anak. Hakim rupanya mengalami kesulitan memutuskan dan menentukan perempuan yang mana sebenarnya yang menjadi ibu bayi itu.
Karena kasus berlarut-larut, maka terpaksa hakim menghadap Baginda Raja untuk minta bantuan. Baginda pun turun tangan. Baginda memakai taktik rayuan. Baginda berpendapat mungkin dengan cara-cara yang amat halus salah satu, wanita itu ada yang mau mengalah. Tetapi kebijaksanaan Baginda Raja Harun Al Rasyid justru membuat kedua perempuan makin mati-matian saling mengaku bahwa bayi itu adalah anaknya. Baginda berputus asa.
Mengingat tak ada cara-cara lain lagi yang bisa diterapkan Baginda memanggil Abu Nawas. Abu Nawas hadir menggantikan hakim. Abu Nawas tidak mau menjatuhkan putusan pada hari itu melainkan menunda sampai hari berikutnya. Semua yang hadir yakin Abu Nawas pasti sedang mencari akal seperti yang biasa dilakukan. Padahal penundaan itu hanya disebabkan algojo tidak ada di tempat.
Keesokan hari sidang pengadilan diteruskan lagi. Abu Nawas memanggrl algojo dengan pedang di tangan. Abu Nawas memerintahkan agar bayi itu diletakkan di atas meja. “Apa yang akan kau perbuat terhadap bayi itu?” kata kedua perempuan itu saling memandang. Kemudian Abu Nawas melanjutkan dialog.
“Sebelum saya mengambil tindakan apakah salah satu dari kalian bersedia mengalah dan menyerahkan bayi itu kepada yang memang berhak memilikinya?”
“Tidak, bayi itu adalah anakku.” kata kedua perempuan itu serentak.
“Baiklah, kalau kalian memang sungguh-sungguh sama menginginkan bayi itu dan tidak ada yang mau mengalah maka saya terpaksa membelah bayi itu menjadi dua sama rata.” kata Abu Nawas mengancam.
Perempuan pertama girang bukan kepalang, sedangkan perempuan kedua menjerit-jerit histeris. “Jangan, tolong jangan dibelah bayi itu. Biarlah aku rela bayi itu seutuhnya diserahkan kepada perempuan itu.” kata perempuan kedua. Abu Nawas tersenyum lega. Sekarang topeng mereka sudah terbuka. Abu Nawas segera mengambil bayi itu dan langsung menyerahkan kepada perempuan kedua.
Abu Nawas minta agar perempuan pertama dihukum sesuai dengan perbuatannya. Karena tak ada ibu yang tega menyaksikan anaknya disembelih. Apalagi di depan mata. Baginda Raja merasa puas terhadap keputusan Abu Nawas. Dan .sebagai rasa terima kasih, Baginda menawari Abu Nawas menjadi penasehat hakim kerajaan. Tetapi Abu Nawas menolak. la lebih senang menjadi rakyat biasa. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar