Rabu, 30 Mei 2012

Bermula dari Kentut Sang Kusir

on Tuesday, May 18, 2010 at 8:57am ·
(TULISAN INI DISEBARLUASKAN HARIAN VOKAL,-jangan bicara kalau kamu tidak vokal-)

Beginilah rupanya manakala kusir bendi bersilang pendapat. Dalam lingkaran duduk bersama, mereka saling berebut bicara. Yang satu baru memulai, yang lain langsung pula angkat suara. Nada siapa yang paling besar, bakal dialah yang didengar dan terdengar.
Sungguh sebuah dialog tak berguna dan tiada habisnya. Gejala perangai dialektika sosok yang mengemudikan bendi atau delman (kendaraan zaman dulu yang pakai kuda sebagai penariknya), mewabah di wakil rakyat kita. Tidak di Senayan, tidak di gedung dewan provinsi dan tidak kabupaten/kota, anggota legislatif tampaknya berdebat seperti kusir. Jamak sudah perilaku tak baik itu tatkala hadir pula warga di gedung terhormat. Ibarat menyiram bensin pada bara api. Kobaran serta-merta membubung ke udara. Panas dan bisa-bisa membakar.
Soal debat kusir, seorang penulis, Topan Tambunan cerita. Ini kisahnya. Posisi duduk kusir kan membelakangi penumpang, atau menyamping. Karena jika berhadapan dengan penumpang bisa jadi menabrak. Suatu ketika, kusir tiba-tiba kentut, otomatis alirannya langsung ke penumpang. Penumpang akan bertanya; “Bapak kentut ya?”
Pak kusir berkata; “Ah… perasaan nggak…ini mah bau kotoran kuda!”
“Tidak kok saya yakin ini bau kentut,” timpal sang penumpang.
“Lho ibu jangan menuduh saya gitu dong, saya tidak mencium bau kentut, yang saya cium kotoran kuda,” sanggah kusir.
“Oohhh…. gitu, jadi bapak nggak mau mengaku kalau sudah ngentutin saya,” kata penumpang, “Kalo begitu saya turun di sini aja…,” kata penumpang marah. Padahal memang sudah sampai di tempat tujuan.
“Oii… Bu, bayar dong, kok maunya gratisan,” kata kusir makin panas.
“Enak saja, saya nggak mau bayar gara-gara nyium kentut Bapak!!” kata penumpang sambil kabur sewot.
Ada satu karakter dari peserta debat kusir, yaitu sama-sama egois. Sikap ingin menang sendiri yang sering kali diawali sudut pandang yang tidak nyambung dan ujung-ujungnya diakhiri dengan pertengkaran.
Syahdan, debat kusir akan berakhir tatkala ada sosok Abu Nawas sebagai peserta. Ada pula kisah yang mengelikan soal kepintaran sufi yang satu ini. Di masa Khalifah Harun al-Rasyid ada sayembara dengan pola debat kusir. Bermula ketika Baginda tersenyum melihat ayam betinanya bertelur. Beliau memanggil pengawal agar mengumumkan kepada rakyat bahwa kerajaan mengadakan sayembara untuk umum. Sayembara itu berupa pertanyaan yang mudah tetapi memerlukan jawaban yang tepat dan masuk akal. Barangsiapa yang bisa menjawab pertanyaan itu akan mendapat imbalan yang amat menggiurkan. Satu pundi penuh uang emas. Tetapi bila tidak bisa menjawab maka hukuman yang menjadi akibatnya.
Banyak rakyat yang ingin mengikuti sayembara itu terutama orang-orang miskin. Beberapa dari mereka sampai meneteskan air liur. Mengingat beratnya hukuman yang akan dijatuhkan maka tak mengherankan bila pesertanya hanya empat orang. Dan salah satu dari para peserta yang amat sedikit itu adalah Abu Nawas.
Aturan main sayembara itu ada dua. Pertama, jawaban harus masuk akal. Kedua, peserta harus mampu menjawab sanggahan dari Baginda sendiri.
Pada hari yang telah ditetapkan para peserta sudah siap di depan panggung. Baginda duduk di atas panggung. Beliau memanggil peserta pertama. Peserta pertama maju dengan tubuh gemetar. Baginda bertanya, “Manakah yang lebih dahulu, telur atau ayam?”
“Telur.” jawab peserta pertama.
“Apa alasannya?” tanya Baginda.
“Bila ayam lebih dahulu itu tidak mungkin karena ayam berasal dari telur.” kata peserta pertama menjelaskan.
“Kalau begitu siapa yang mengerami telur itu?” sanggah Baginda.
Peserta pertama pucat pasi. Wajahnya mendadak berubah putih seperti kertas. la tidak bisa menjawab. Tanpa ampun ia dimasukkan ke dalam penjara.
Kemudian peserta kedua maju. la berkata, “Paduka yang mulia, sebenarnya telur dan ayam tercipta dalam waktu yang bersamaan.”
“Bagaimana bisa bersamaan?” tanya Baginda.
“Bila ayam lebih dahulu itu tidak mungkin karena ayam berasal dari telur. Bila telur lebih dahulu itu juga tidak mungkin karena telur tidak bisa menetas tanpa dierami.” kata peserta kedua dengan mantap.
“Bukankah ayam betina bisa bertelur tanpa ayam jantan?” sanggah Baginda memojokkan. Peserta kedua bingung. la pun dijebloskan ke dalam penjara.
Lalu giliran peserta ketiga. la berkata; “Tuanku yang mulia, sebenarnya ayam tercipta lebih dahulu daripada telur.”
“Sebutkan alasanmu.” kata Baginda.
“Menurut hamba, yang pertama tercipta adalah ayam betina.” kata peserta ketiga meyakinkan.
“Lalu bagaimana ayam betina bisa beranak-pinak seperti sekarang. Sedangkan ayam jantan tidak ada.” kata Baginda memancing.
“Ayam betina bisa bertelur tanpa ayam jantan. Telur dierami sendiri. Lalu menetas dan menurunkan anak ayam jantan. Kemudian menjadi ayam jantan dewasa dan mengawini induknya sendiri.” peserta ketiga berusaha menjelaskan.
“Bagaimana bila ayam betina mati sebelum ayam jantan yang sudah dewasa sempat mengawininya?”
Peserta ketiga pun tidak bisa menjawab sanggahan Baginda. la pun dimasukkan ke penjara.
Kini tiba giliran Abu Nawas. la berkata, “Yang pasti adalah telur dulu, baru ayam.”
“Coba terangkan secara logis.” kata Baginda ingin tahu.
“Ayam bisa mengenal telur, sebaliknya telur tidak mengenal ayam.” kata Abu Nawas singkat. Agak lama Baginda Raja merenung. Kali ini Baginda tidak nyanggah alasan Abu Nawas. Ha…ha…ha kena dikau Fulan! ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar