Rabu, 30 Mei 2012

Republik Burung Murai Tuan!

on Monday, August 23, 2010 at 4:09pm ·
(TULISAN INI DISEBARLUASKAN HARIAN VOKAL, 24 AGUSTUS 2010)

Penduduk di republik ini terlalu banyakbicara. Semuanya dikomentari. Tak pada kapasitasnya, ikut pula nimbrung.Semuanya angkat suara. Tak ada yang mau ketinggalan. Mereka pandai bicara, tapituli untuk mendengar.
Percuma punya dua telinga. Tak ada bedanyaseperti kisah dua orang tuli dan seorang guru bisu. Seorang penggembala miskin yangsetiap hari menggiring domba-dombanya ke bukit mencari rumput segar. Dari sana ia memandangi desatempat ia tinggal bersama keluarganya. Ia tuli, tetapi itu tak jadi masalahbaginya.
Suatu hari istrinya lupa mengirim bungkusanmakan siangnya; juga tidak menyuruh anak mereka untuk membawakannya. Sampaitengah hari kiriman itu tidak datang juga. Si penggembala itu berpikir, "Akuakan pulang dan mengambilnya. Aku tidak dapat berdiam di sini sepanjang haritanpa sepotong makanan." Namun ia tidak dapat meninggalkan domba-dombanya.Tiba-tiba ia memperhatikan seorang pemotong rumput di tepi bukit. Iamenghampirinya dan berkata, "Saudaraku, tolong jaga domba-dombaku ini dan awasijangan sampai tersesat atau berkeliaran. Aku akan kembali ke desa karenaistriku begitu bodoh lupa mengirim makan siangku."
Ternyata pemotong rumput itu juga tuli. Iatidak mendengar satu kata pun yang diucapkan, dan sama sekali salah pahamterhadap maksud si penggembala.
Katanya, "Mengapa aku harus memberi rumputuntuk ternakmu? Sedangkan aku sendiri memiliki seekor sapi dan dua ekor kambingdi rumah. Tidakkah kau lihat, aku ini harus pergi jauh demi mencari rumput bagiternak-ternakku.
Tidak, tinggalkan aku. Aku tidak ada urusandengan orang sepertimu yang hanya ingin enaknya sendiri mengambil milikku yangcuma sedikit ini." Ia menggerakkan tangannya dan tertawa kasar.
Si penggembala tidak mendengar apa yang dikatakanoleh si pemotong rumput.
Katanya, "Oh, terima kasih kawan, ataskebaikkan dan kesediaanmu. Aku akan segera kembali. Semoga keselamatan danberkah tercurah atas dirimu. Engkau telah meringankan bebanku." Ia segeraberlari ke desa menuju gubuknya yang sederhana. Di sana ia mendapati istrinya sakit demam dansedang dirawat oleh para istri tetangga.
Kemudian, si penggembala itu mengambilbungkus makanan dan berlari kembali ke bukit. Ia menghitung domba-dombanyadengan cermat. Semuanya masih lengkap seperti semula. Ia lalu melihat sipemotong rumput masih sibuk memotong rumput segar. Si penggembala ini berkatapada dirinya sendiri, "Ah, betapa luar biasa pribadi si pemotong rumput ini.Benar-benar dapat dipercaya. Ia sudah menjaga domba-dombaku agar tidakterpencar bahkan tidak mengharapkan terima kasih dariku. Aku akan memberinyadomba pincang ini. Sebenarnya domba pincang ini akan kusembelih sendiri, namunbiarlah aku berikan pada si pemotong rumput itu agar bisa jadi makan malam yanglezat bagi keluargnya.
Ia pun memanggul domba pincang yang dimaksuddi atas bahunya, menuruni bukit dan berteriak pada si pemotong rumput, "Wahaisaudaraku!, ini hadiah dariku, karena engkau telah menjaga domba-dombaku selamaaku pergi. Istriku yang malangmenderita demam, itulah mengapa ia tidak mengirimkan aku makan siang.
Pangganglah domba ini untuk makan malammunanti malam; lihat domba ini kakinya pincang dan memang akan aku sembelih!"
Tetapi disisi lain, si pemotong rumput tidakmendengar kata-katanya dan berteriak marah, "Penggembala busuk! Aku tidak tahuapapun yang terjadi selama kau pergi. Jadi jangan salahkan aku atas kakipincang dombamu! Sedari tadi aku sibuk memotong rumput, dan tidak tahu mengapahal itu terjadi!
Pergilah, atau aku akan memukulmu!"
Si penggembala itu amat heran melihat sikapmarah si pemotong rumput, tetapi ia tidak dapat mendengarkan apa yangdikatakannya. Tiba-tiba ada seorang melintas di antara mereka dengan menunggangseekor kuda yang bagus. Si penggembala menghentikan si penunggang kuda itu danberkata, "Tuan penunggang kuda yang mulia, aku mohon katakan padaku apa yangdiucapkan oleh pemotong rumput itu. Aku ini tuli, dan tidak tahu mengapa iamenolak pemberianku berupa seekor domba ini, malah marah-marah seperti itu."
Si penggembala dan si pemotong rumput mulaisaling berteriak pada si penunggang kuda untuk menjelaskan kemauannyamasing-masing. Si penunggang kuda itu turun dan menghampiri mereka. Ternyatapenunggang kuda itu pun sama tulinya. Ia tidak mendengar apa-apa yang keduaorang itu katakan. Justru, ia ini sedang tersesat dan hendak bertanya dimanadirinya saat ini. Tetapi ketika melihat sikap keras dan mengancam dari ke duaorang itu, akhirnya ia berkata, "Benar, benar, saudara. Aku telah mencuri kudaini. Aku mengakui, tetapi aku tidak tahu kalau itu milik kalian. Maafkan aku,karena aku tidak dapat menahan diriku dan bertindak mencuri."
"Aku tidak tahu apa-apa tentang pincangnyadomba ini!" teriak pemotong rumput.
"Suruh ia mengatakan padaku mengapa pemotongrumput itu menolak pemberianku, " desak si penggembala, "aku hanya inginmemberikannya sebagai penghargaan tanda terima kasihku."
"Aku mengaku mengambil kuda. Aku akankembalikan kuda ini. "kata penunggang kuda," tapi aku tuli, dan tidak tahusiapa di antara kalian pemilik sesungguhnya kuda ini."
Pada saat itu, dari kejauhan, tampak seorangguru tua berjalan. Si pemotong rumput lari menghampirinya, menarik jubahlusuhnya dan berkata, "Guru yang mulia, aku seorang tuli yang tidak mengertiujung pangkal apa yang dibicarakan oleh kedua orang ini. Aku mohonkebijaksanaan anda, adili dan jelaskan apa yang mereka teriakkan."
Namun, si Guru tua ini bisu dan tidak dapatmenjawab, tapi ia mendatangi mereka dan memandangi ketiga orang tuli tersebutdengan penuh selidik.
Sekarang ketiga orang tuli itu menghentikanteriakan mereka. Guru itu memandangi sedemikian lama dan dengan tajam, satu persatu hingga ketiga orang itu merasa tidak enak. Matanya yang hitam berkilauanmenusuk ke dalam mata mereka, mencari kebenaran tentang persoalan tersebut,mencoba mendapatkan petunjuk dari situasi itu.
Tetapi ketiga orang tuli itu mulai merasatakut kalau-kalau guru tua itu menyihir mereka atau mengendalikan kemauanmereka. Tiba-tiba si pencuri kuda meloncat ke atas kuda dan memacunyakencang-kencang. Begitu juga si penggembala, segera mengumpulkan ternaknya danmenggiringnya jauh ke atas bukit. Si pemotong rumput tidak berani menatap mataguru tua itu, lalu ia mengemasi rumputnya ke dalam kantong dan mengangkatnya keatas bahu dan berjalan menuruni bukit pulang ke rumahnya.
Guru tua itu melanjutkan perjalanannya,berpikir sendiri bahwa kata-kata merupakan bentuk komunikasi yang tidakberguna, bahwa orang mungkin lebih baik tidak pernah mengucapkannya!
Inilah negeri kita. Semuanya adu lihaibicara. Tak ada yang mau diam. Hmmm...Sudah seperti kandang burung murai sajanegara ini Fulan! ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar