Rabu, 30 Mei 2012

Ironisnya Daerah Kaya Kami

on Thursday, June 17, 2010 at 3:11pm ·
(tulisan ini disebarluaskan harian Vokal)

Pemerintah Provinsi Riau menunggak honor kepala desa. Pemerintah yang dipimpin Gubernur Rusli Zainal berutang Rp 12 juta pada masing-masing sang kades. Jumlah kades lebih dari seribu orang dan kurang dari 1.500 personel. Alamat jamak Rp 12 miliar lebih honor belum dibayarkan.
Alamak! Katanya kemaren dibayar tunai oleh pemerintah setempat. Kok bisa menunggaknya? Apakah setelah demo dulu, baru bisa dicairkan? Apakah usai diprotes ramai-ramai, baru ada respon. Kacau nian negeri ini Tuan dan Puan! Membayar upah orang sudah berbulan-bulan lamanya kerja dilakukan atau jabatan dipangku. Katanya ini negeri agamais? Tahu hadist dan mengerti Firman Tuhan.
Menelisik fenomena itu, ada penggalan gorehan karya Taufiq Ismail; “Sekali Saya Sendiri Juga Maling”. Hampir paripurna menjadi bangsa porak-poranda, terbungkuk dibebani hutang dan merayap melata sengsara di dunia. Penganggur 40 juta orang, anak-anak tak bisa bersekolah 11 juta murid, pecandu narkoba 6 juta anak muda, pengungsi perang saudara 1 juta orang, VCD koitus beredar 20 juta keping, kriminalitas merebat di setiap tikungan jalan dan beban hutang di bahu 1600 trilyun rupiahnya.
Pergelangan tangan dan kaki Indonesia diborgol di ruang tamu Kantor Pegadaian Jagat Raya, dan di punggung kita dicap sablon besar-besar Tahanan IMF dan Penunggak Bank Dunia. Kita sudah jadi bangsa kuli dan babu, menjual tenaga dengan upah paling murah sejagat raya.
Ketika TKW-TKI itu pergi lihatlah mereka bersukacita antri penuh harapan dan angan-angan di pelabuhan dan bandara, ketika pulang lihat mereka berdukacita karena majikan mungkir tidak membayar gaji, banyak yang disiksa malah diperkosa dan pada jam pertama mendarat di negeri sendiri diperas pula.
Negeri kita tidak merdeka lagi, kita sudah jadi negeri jajahan kembali. Selamat datang dalam zaman kolonialisme baru, saudaraku. Dulu penjajah kita satu negara, kini penjajah multi-kolonialis banyak bangsa. Mereka berdasi sutra, ramah-tamah luarbiasa dan banyak senyumnya. Makin banyak kita meminjam uang, makin gembira karena leher kita makin mudah dipatahkannya.
Di negeri kita ini, prospek industri bagus sekali. Berbagai format perindustrian, sangat menjanjikan, begitu laporan penelitian. Nomor satu paling wahid, sangat tinggi dalam evaluasi, dari depannya penuh janji, adalah industri korupsi.
Apalagi di negeri kita lama sudah tidak jelas batas halal dan haram, ibarat membentang benang hitam di hutan kelam jam satu malam.
Bergerak ke kiri ketabrak copet, bergerak ke kanan kesenggol jambret, jalan di depan dikuasai maling, jalan di belakang penuh tukang peras, yang di atas tukang tindas. Untuk bisa bertahan berakal waras saja di Indonesia, sudah untung.
Lihatlah para maling itu kini mencuri secara berjamaah. Mereka bersaf-saf berdiri rapat, teratur berdisiplin dan betapa khusyuk.
Begitu rapatnya mereka berdiri susah engkau menembusnya. Begitu sistematiknya prosedurnya tak mungkin engkau menyabotnya. Begitu khusyu’nya, engkau kira mereka beribadah. Kemudian kita bertanya, mungkinkah ada maling yang istiqamah?
Lihatlah jumlah mereka, berpuluh tahun lamanya, membentang dari depan sampai ke belakang, melimpah dari atas sampai ke bawah, tambah merambah panjang deretan saf jamaah. Jamaah ini lintas agama, lintas suku dan lintas jenis kelamin.
Bagaimana melawan maling yang mencuri secara berjamaah? Bagaimana menangkap maling yang prosedur encuriannya malah dilindungi dari atas sampai ke bawah? Dan yang melindungi mereka, ternyata, bagian juga dari yang pegang senjata dan yang memerintah.
Bagaimana ini? Tangan kiri jamaah ini menandatangani disposisi MOU dan MUO (Mark Up Operation), tangan kanannya membuat yayasan beasiswa, asrama yatim piatu dan sekolahan.
Kaki kini jamaah ini mengais-ngais upeti ke sana ke mari, kaki kanannya bersedekah, pergi umrah dan naik haji. Otak kirinya merancang prosentasi komisi dan pemotongan anggaran, otak kanannya berzakat harta, bertaubat nasuha dan memohon ampunan Tuhan.
Tuan dan Puan! Itulah pemimpin kita, berladang di atas punggung kepala desa. Hmmmm… Barangkali juga kepala desa berladang dipunggung warga. Wallahu Alam! ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar