Rabu, 30 Mei 2012

Raja Bersyukur Ibu Jarinya Putus

on Sunday, August 8, 2010 at 8:38pm ·
(TULISAN INI DISEBARLUASKAN HARIAN VOKAL, 9 AGUSTUS 2010)

Banyak keluh kesah di negeri ini. Mulut-mulut penghuni republik banyak mengumpat. Jika tak dapat proyek, marah, mengancam dan mengeluarkan sumpah serapah. Cari salah sini dan sana. Semuanya dilihat dari segi negatif.
Sebagai rekanan kerja pemerintahan sudah begitu emosi. Apalagi diri seorang raja. Jika kapasitas penguasa disandang, alamat terulang kisah raja zalim. Dahulu kala seorang raja memiliki kawan yang selalu optimis, yang melihat segalanya dari kacamata positif sehingga segalanya tampak lebih baik. Raja sangat menyukai kawan yang satu ini. Bersamanya, selalu ada keceriaan sehingga hatinya terhibur.
Suatu hari, raja mengajak kawan tersebut untuk berburu. Sang kawan bertugas membawa senapan-senapan sang raja dan mengisi pelurunya. Dalam perburuan itu, raja melihat seekor rusa jantan, yang segera dikejarnya dengan mengendarai kuda, sementara sang kawan, di atas kuda yang lain mengikutinya sambil memberikan senapan sang raja. Naas bagi raja, rupanya senapan tersebut tidak terkunci dan ketika berpindah ke tangannya, picunya tertarik dan raja menembak kakinya sendiri.
Raja terjatuh dari kuda, kaki kanannya berlumuran darah. Sambil mengerang kesakitan, ia melihat bahwa Ibu jari kakinya putus tertembak. Sang kawan turun dari kuda dan mendekati sang raja, tetap dengan sikapnya yang ceria. Ia berusaha menghibur raja, “Tak apa-apa” katanya, “Baginda bisa saja terluka lebih parah. Ini hal yang baik”.
Bukan main marahnya raja mendengar komentar tersebut, segera ia memerintahkan pengawalnya untuk memenjarakan sang kawan. Itu hukuman yang setimpal karena menyebabkan raja kehilangan ibu jari kakinya.
Selang beberapa tahun kemudian, raja kembali berburu. Kali ini, karena asyiknya, rombongan raja tersesat, melewati perbatasan negaranya dan akhirnya ditangkap oleh suku kanibal.
Bukan main takutnya sang raja, Ia sudah melihat beberapa pengawalnya sudah mengalami nasib yang mengerikan, dipanggang untuk menjadi makanan lezat bagi seluruh anggota suku. Dan kini tiba gilirannya. Ia melihat api unggun sudah disiapkan di luar gubuk, ia memohon agar dibebaskan, menawarkan harta dan wilayah, tetapi suku kanibal itu tak menggubrisnya.
Tetapi, ketika suku tersebut melucuti pakaiannya, mereka tiba-tiba berhenti dan berteriak, bicara satu sama lain dalam bahasa yang tak dimengerti raja, sambil menunjuk-nunjuk ibu jarinya yang cacat. Akhirnya, raja mengetahui bahwa suku kanibal tersebut mempunyai pantangan untuk tidak memakan manusia yang anggota tubuhnya tidak lengkap. Mereka meyakini bahwa anggota tubuh yang hilang tersebut akan datang mencari dan menghantui mereka.
Raja kemudian dibebaskan, ia satu-satunya yang selamat dalam rombongan tersebut.
Sepanjang jalan ke ibukota, raja memikirkan kejadian yang dialaminya. Ia teringat akan ucapan sahabatnya dan sekarang ia bisa menerima bahwa benar kawannya dahulu, kecelakaan itu adalah ‘hal yang baik’. Terbayang apa yang telah ia lakukan kepada sahabat baiknya itu dan ia sangat menyesal.
Sesampainya di ibukota, ia segera mendatangi penjara dan memerintahkan agar sahabatnya itu dibebaskan. Dilihatnya, kawannya tampak kurus dan pucat, walau tetap ceria. Ia sangat terharu. Dipeluknya sang sahabat seraya memohon maaf atas kesalahannya, ia ceritakan pengalaman yang baru saja terjadi.
“Sahabat, sungguh-sungguh aku menyesal. Engkau memang benar. Kehilangan ibu jari kaki itu hal yang baik, mohon engkau maafkan aku atas perlakuan yang engkau terima selama ini” . “Tak apa-apa, baginda” ujar kawannya sembari tersenyum, “Ini hal yang baik”. “Bagaimana ini jadi hal yang baik?” ujar raja heran. “Engkau dipenjarakan disini, kehilangan kebebasanmu, statusmu, harus hidup bersama sampah masyarakat selama ini?”
“Tentu saja ini hal yang baik, baginda” ujar temannya sambil tersenyum lebar, “Jika saya tidak dipenjarakan, maka pasti saya ikut rombongan baginda berburu….”
Terkadang itulah diri kita Tuan! Ego kita berkuasa atas kemurnian kata hati. Jiwa diperbudak emosi membara. Kita kehilangan kearifan Tuan demi segumpuk uang dan impian. Entahlah Bujang! ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar