Rabu, 30 Mei 2012

Mengecilnya Moral Musafir Ilmu

on Thursday, April 29, 2010 at 6:15pm ·
(tulisan ini disebarluaskan harian vokal n riauhariini.com)

Kata teman, demoralisasi. Itulah perangai para musafir di jalan ilmu. Mereka mahasiswa tak lagi dekat dengan perilaku bermoral. Di Pekanbaru, ada beberapa mahasiswa perguruan tinggi berbendera agama, kerjanya menjambret. Hasilnya untuk bayar uang kost dan makan sehari-hari.
Mahasiswa perguruan tinggi berlabel agama di provinsi tetangga juga tak jauh berbeda. Ada yang suka ‘mengerjaian’ murid ngajinya. Sehingga jamak sudah gelar mereka dengan sebutan mahasiswa plus guru ngaji mesum. Bermaksiat di rumah Tuhan. Di sisi lain, tak sedikit pula yang bergelar professor proposal. Tiap sebentar membuat proposal dan dimasukan ke beragam instansi. Namun kegiatan tak terlihat jua. Orang bilang, ini proposal fiktif. Mencari uang dengan cara-cara siluman. Mahasiswa lagi!
Sebagian mahasiswa mengalami demoralisasi kehidupan pribadi. Surutnya standar perilaku ke arah yang memprihatinkan. Namun begitulah cucu Adam di ladang intelektual (sebutan di kampus).
Namun Tuan dan Puan di Universitas Kehidupan, ada sebuah pencerahan. Seorang kawan bernama Thomas berkisah. Di suatu sore saat aku pulang kantor dengan mengendarai sepeda motor, aku disuguhkan suatu drama kecil yang sangat menarik. Seorang anak kecil berumur lebih kurang sepuluh tahun dengan sangat sigapnya menyalip di sela-sela kepadatan kendaraan di sebuah lampu merah perempatan jalan di Jakarta.
Dengan membawa bungkusan yang cukup banyak diayunkannya sepeda berwarna biru muda, sambil membagikan bungkusan. Ia menyapa akrab setiap orang, dari tukang koran, penyapu jalan, tuna wisma sampai pak polisi.
Pemandangan ini membuatku tertarik, pikiranku langsung melayang membayangkan apa yang diberikan si anak kecil. Apakah dia berjualan? “Kalau berjualan, apa mungkin seorang tuna wisma menjadi langganan tetapnya atau…?? Untuk membunuh rasa penasaran, aku pun membuntuti si anak kecil tersebut sampai di seberang jalan. Setelah itu aku langsung menyapa. Aku ajak berbincang-bincang. “Dek! Boleh kakak bertanya?” “Silahkan kak!”
“Kalau boleh tahu yang barusan adik bagikan itu apa?”
“Oh… itu bungkusan nasi dan sedikit lauk kak, memang kenapa kak!” dengan sedikit heran sambil ia balik bertanya. “Oh…tidak! Kakak cuma tertarik cara kamu membagikan. Kelihatan kamu sudah terbiasa dan cukup akrab dengan mereka. Apa kamu sudah lama kenal dengan mereka?
Lalu, adik kecil tersebut mulai bercerita, “Dulu! Aku dan ibuku sama seperti mereka hanya seorang tuna wisma. Setiap hari bekerja hanya mengharapkan belas kasihan banyak orang. Seperti kakak ketahui hidup di Jakarta begitu sulit, sampai kami sering tidak makan. Waktu siang hari kami kepanasan dan waktu malam hari kami kedinginan. Ditambah lagi pada musim hujan, kami sering kehujanan. Apabila kami mengingat waktu dulu, kami sangat-sangat sedih. Namun setelah ibuku membuka warung nasi, kehidupan keluarga kami mulai membaik.”
Lantaran itu, ibu selalu mengingatkanku, bahwa masih banyak orang yang susah seperti kita dulu. Kalau saat ini kita diberi rezeki yang cukup, kenapa kita tidak dapat berbagi kepada mereka. Yang ibuku selalu katakana; “hidup harus berarti buat banyak orang.” Saat kita kembali kepada Sang Pencipta tidak ada yang kita bawa, kecuali hanya kasih kepada sesama serta amal baik. Kalau hari ini kita bisa mengamalkan sesuatu yang baik buat banyak orang, kenapa kita harus tunda. Karena menurut ibuku umur manusia terlalu singkat, hari ini kita memiliki segalanya, namun satu jam kemudian atau besok kita dipanggil Sang Pencipta, apa yang kita bawa?
Kata-kata adik kecil ini sangat menusuk hatiku. Saat itu juga aku merasa menjadi orang yang tidak berguna, bahkan aku merasa tidak lebih dari seonggok sampah yang tidak ada gunanya, dibandingkan adik kecil itu.
Aku yang selama ini merasa menjadi orang hebat dengan pendidikan dan jabatan tinggi, namun untuk hal seperti ini, aku merasa lebih bodoh. Aku malu dan sangat malu. Yah.. Tuhan, ampuni aku, ternyata kekayaan, kehebatan dan jabatan tidak mengantarku kepada Mu. Hanya kasih yang sempurna serta Iman dan Pengharapan kepada Mu lah yang dapat mengiringiku masuk ke surga. Terima kasih adik kecil, kamu adalah malaikatku yang menyadarkan aku dari tidur nyenyakku.
Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersuka cita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Kasih tidak berkesudahan.
Duhai Fulan luas terbentang ilmu di Universitas Kehidupan! ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar