Rabu, 30 Mei 2012

Makelar Tersesat di Pintu Kekuasaan

on Wednesday, June 9, 2010 at 7:43pm ·
(tulisan ini disebarluaskan Harian Vokal)

Ada banyak orang merasa berjasa terhadap pendulangan suara kandidat yang meraih suara terbanyak pada Pemilu Kada di Riau. Tanggal 3 Juni menjadi hari bersejarah dalam hati banyak orang. Mereka merasa punya andil besar dan tanpa peran mereka, hanya Tuhan yang tahu kalau calon itu tak bakal menang.
Hmm…dasar makelar. Pribadi yang bermental pecundang. Tak berbuat apa-apa sudah merasa menjadi siapa. Merasa paling berkontribusi, berperan dan menyumbangkan banyak hal secara signifikan.
Tuan dan Puan! Inilah yang terdengar di kedai-kedai kopi. Inilah yang banyak terucap dari mulut. Tak di pasar tak di kantor, mereka sibuk menghitung-hitung jasa politik. Jangan-jangan mereka adalah pribadi yang tersesat di singsana kekuasaan orang lain. Layaknya sebuah cerita pemuda yang tersesat di surga.
Tahukah Tuan dan Puan kisahnya? Jika tidak, ini alur ceritanya sebagaimana ramainya didengar kalangan sufi. Seorang pemuda datang ke seorang sufi. Sang pemuda dengan bangganya mengatakan kalau dirinya sudah melakukan amal ibadah wajib, sunnah, baca Alquran, berkorban untuk orang lain dan kelak harapan satu satunya adalah masuk surga dengan tumpukan amalnya.
Bahkan sang pemuda tadi malah punya catatan amal baiknya selama ini dalam buku hariannya, dari hari ke hari.
“Saya kira sudah cukup bagus apa yang saya lakukan Tuan…”
“Apa yang sudah Anda lakukan?”
“Amal ibadah bekal bagi surga saya nanti…”
“Kapan Anda menciptakan amal ibadah, kok Anda merasa punya?”
Pemuda itu diam…lalu berkata,
“Bukankah semua itu hasil jerih payah saya sesuai dengan perintah dan larangan Allah?”
“Siapa yang menggerakkan jerih payah dan usahamu itu?”
“Saya sendiri…hmmm….”
“Jadi kamu mau masuk surga sendiri dengan amal-amalmu itu?”
“Jelas dong Tuan…”
“Saya nggak jamin kamu bisa masuk ke surga. Kalau toh masuk kamu malah akan tersesat di sana…”
Pemuda itu terkejut bukan main atas ungkapan sang sufi. Pemuda itu antara marah dan diam, ingin sekali menampar muka sang sufi.
“Mana mungkin di surga ada yang tersesat. Jangan-jangan tuan ini ikut aliran sesat…” kata pemuda itu menuding Sang Sufi.
“Kamu benar. Tapi sesat bagi setan, petunjuk bagi saya….”
“Toloong diperjelas…”
“Begini saja, seluruh amalmu itu seandainya ditolak oleh Allah bagaimana?”
“Lho kenapa?”
“Siapa tahu Anda tidak ikhlas dalam menjalankan amal Anda?”
“Saya ikhlas kok, sungguh ikhlas. Bahkan setiap keikhlasan saya masih saya ingat semua…”
“Nah, mana mungkin ada orang yang ikhlas, kalau masih mengingat-ingat amal baiknya? Mana mungkin anda ikhlas kalau Anda masih mengandalkan amal ibadah Anda? Mana mungkin Anda ikhlas kalau Anda sudah merasa puas dengan amal Anda sekarang ini?”
Pemuda itu duduk lunglai seperti mengalami anti klimaks, pikirannya melayang membayang bagaimana soal tersesat di surga, soal amal yang tidak diterima, soal ikhlas dan tidak ikhlas.
Dalam kondisi setengah frustrasi, sang sufi menepuk pundaknya. “Hai anak muda. Jangan kecewa, jangan putus asa. Kamu cukup istighfar saja. Kalau kamu berambisi masuk surga itu baik pula. Tapi, kalau kamu tidak bertemu dengan Sang Tuan Pemilik dan Pencipta syurga bagaimana? Kan sama dengan orang masuk rumah orang, lalu anda tidak berjumpa dengan tuan rumah, apakah anda seperti orang linglung atau orang yang bahagia?”
“Saya harus bagaimana Tuan…”
“Mulailah menuju Sang Pencipta surga, maka seluruh nikmatnya akan diberikan kepadamu. Amalmu bukan tiket ke surga. Tapi ikhlasmu dalam beramal merupakan wadah bagi ridho dan rahmat-Nya, yang menarik dirimu masuk ke dalamnya…”
He…he…he Tuan dan Puan! Hanya manusia mengharapkan pamrih yang menyebut kebaikan. Kalau begini, alamat banyak yang bakal tersesat di lingkaran kekuasaan. Terdepak karena tak dapat apa-apa dari sang kandidat. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar