Rabu, 30 Mei 2012

He…He…He Bahasa Anak Preman Bung!

on Wednesday, April 28, 2010 at 7:14pm ·
(tulisan ini disebarluaskan harian vokal dan riauhariini.com)

Terhenyak dibuatnya manakala membaca caci maki Calon Bupati Bengkalis, Normansyah Abdul Wahab. Apa yang ditulis dalam berita (Kau belum tahu, kalau aku ini masih wakil bupati. Jangan sembarang saja memberitakan aku. Nanti aku ke Duri akan aku obrak-abrik kau), sesungguhnya adalah praktik dari euphemisme (penghalusan) saja.
Yang dikatakan sangat kasar. Ibarat kata orang Minang, kata-kata calon pemimpin yang sedang bersaing memperebutkan tahta kekuasaan itu tak terpatuk oleh ayam dan tersudu oleh itik. Kasar benar. Beragam hewan keluar dari mulutnya. Alamak! Mati aku membacanya. Sudahlah membawa mobil plat merah untuk kampanye, marah pula diberitakan.
Namun tiba-tiba tersadar pula dibuatnya. Berpantaslah seorang Normansyah berkomunikasi begitu. Maklum anak preman, begitu pengakuannya di depan suku Batak di Duri. Sebuah tipikal manusia yang tergolong kasar dan hidup di alam yang keras. Mafhum sudah dibikinnya. Apa mau dikata. Preman yang punya anak.
Namun tak habis pikir juga. Bukankah sosok Normansyah itu seorang pemimpin. Wakil Bupati jabatannya sekarang dan bercita-cita menduduki posisi bupati lima tahun ke depan. Ketika sudah begini, tertuju pikiran pada petuah. Bahasa menunjukan kualitas bangsa. Ucapan menunjukan kadar diri. Tabiat seseorang dapat dilihat dari cara bertutur kata. Kesopansantunan seseorang menunjukkan asal keluarganya. Bahasa yang sempurna menunjukkan peradaban yang tinggi.
Menimbang-nimbang perangai seorang pemimpin, ada sebuah kisah. Al-Hajjaj bin Yusuf As-saqofiy. Ia adalah seorang yang zalim, sombong, buruk perangainya dan suka menumpahkan darah. Ia mempunyai keberanian dan kelicikan serta fasih dalam berkata-kata. Dialah orang yang membunuh khalifah Abdullah bin Zubair di Makkah Mukarramah atas perintah Abdul Malik bin Marwan bin Hakam. Ia diutus dengan jumlah pasukan 3.000 personel. Hajjaj bin Yusuf mengepung penduduk Makkah selama lima puluh bulan dan sepuluh malam. Pada peperangan tersebut wajah Abdullah bin Zubair terkena manjanik hingga mengalirkan darah. Pasukan Hajjaj bin Yusuf langsung mengepung dan membunuhnya. Dan setelah kematiannya maka Hajjaj bin Yusuf mengirimkan kepalanya kepada Abdul Malik bin Marwan di Damaskus. Kejadian ini tepatnya pada hari selasa 12 Jumadil ula tahun 72H/692M.
Ketika Hajjaj bin Yusuf menjadi penguasa di irak, ia terkenal bengis dan suka membunuh para ulama yang tidak sependapat dengannya. Hingga segolongan dari kaum muslimin datang kepada Al-Imam Hasan al-Bashriy meminta fatwa untuk memberontak kepadanya. Namun Hasan al-basri melarangnya meski pada hakikatnya Hajjaj bin Yusuf juga sangat membencinya dan beberapa kali merencanakan pembunuhan terhadap dirinya namun gagal. Sikap beliau yang tidak mau melakukan pemberontakan, dikarenah kebijaksanaan beliau untuk bersabar atas kezaliman demi menjaga persatuan kaum muslimin.
Namun demikian bukan berarti Hasan al-bashriy berdiam diri dari kema'syiatan yang dilakukan oleh penguasa. Bahkan beliau tampil sebagai sosok yang tegas dan tidak takut terhadap ancaman penguasa zalim. Suatu ketika Hajjaj bin Yusuf membangun istana yang sangat megah untuk dirinya dikota Wasit. Ketika pembangunan telah selesai diundangnya orang-orang untuk melihat dan mendo'akannya. Hassan Al-bashriy tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini untuk berda'wah saat manusia banyak berkumpul. Beliau tampil berceramah mengingatkan mereka tentang zuhud di dunia dan menganjurkan manusia untuk mengejar apa yang ada di sisi Allah . Beliau berkata: "wahai manusia, kita mengetahui apa yang dibangun oleh manusia yang paling kejam dan kita dapati Fir'aun yang membangun istana yang lebih besar dan megah dari pada bangunana ini. Namun kemudian Allah membinasakan Fir'aun beserta apa yang dibangunnya. Andai saja Hajjaj sadar bahwa penghuni langit membencinya dan penduduk bumi telah memperdayakannya…
Keesokan harinya ia berkumpul dengan para pejabatnya dengan memendam amarah dan berkata "celakanlah kalian! seorang dari budak-budak Bashrah memaki-maki kita dengan seenaknya dan tidak seorangpun dari kalian yang berani mencegahnya. Demi Allah akan kuminumkan darahnya kepada kalian". Hajjaj memerintahkan pengawalnya untuk menyiapkan pedang dan algojonya. Dibawalah Hasan al-bashriy, semua mata tertuju kepadanya dan hati mulai berdebar-debar menunggu nasibnya. Begitu hasan al-basriy melihat algojo dengan pedang yang terhunus beliau membaca sesuatu. Lalu berjalan mendekati Hajjaj dengan ketabahan seorang mu'min, kewibawan seorang mu'min dan kehormatan seorang da'i. Melihat ketegaran beliau nyali Hajjaj menjadi ciut dan terpengaruh oleh kewibawaan Hasan al-bashriy. Dia berkata dengan ramah "silahkan duduk di sini wahai Abu Sa'id".
Seluruh yang hadir menjadi terbengong dan terheran-heran melihat perilaku amirnnya yang mempersilahkan Hasan duduk di kursinya. Sementara itu Hasan dengan tenang dan penuh kewibawaan duduk ditempat yang dipersilahkan untuknya. Hajjaj menoleh kepadanya lalu menayakan beberapa hal tentang urusan agama, dan dijawab oleh hasan al-bashriy dengan jawaban-jawaban yang menarik dan mencerminkan pengetahuan yang luas. Merasa cukup dengan pertanyaannya maka Hajjaj berkata "wahai Abu Sa'id anda benar-benar adalah tokoh ulama yang hebat." Ia semprotkan minyak wangi kejenggot Hasan al-bashriy lalu diantar sampai keluar pintu.
Pada kesempatan lain Hajjaj kembali ingin membunuh beliau. Dan takkala telah berada di hadapannya beliau berkata "wahai Hajjaj, berapa banyak menusia antara dirimu dan adam alaihissalam?" ia berkata "banyak". Hasan berkata lagi "kemanakah mereka"? Ia menjawab "Mati" semabari menundukkan kepalanya. Cukup dengan kata-kata hikmah tersebut menjadikan Hajjaj mengurungkan niatnya.
Kira-kira adakah ulama di Negeri Junjungan yang bisa mengubah tabiat buruk pemimpin di sana? Payah memang wahai pewaris nabi, sudahlah salah, orang pula dicaci maki. Telingga mereka terlalu tipis untuk sebuah koreksian. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar