Rabu, 30 Mei 2012

Teringat Hegemoni Budaya ala Antonio Gramsci

on Sunday, March 28, 2010 at 7:21pm ·
(tulisan ini disebarluaskan harian vokal dan riauhariini.com)

Tersebutlah Kepala Dinas Pariwisata Pekanbaru, Syahril Manaf mengeluarkan pernyataan berbau dominasi budaya. Pemko setempat berupaya mempertahankan citra Pekanbaru sebagai kota berbudaya Melayu dengan mewajibkan tempat-tempat keramaian memperdengarkan musik atau lagu Melayu.
Inilah tempat keramaian dimaksud, yaitu hotel/wisma, rumah makan, restiran, bus Trans Metro, biro perjalanan, dan usaha pariwisata lainnya. Selain wajib menerapkan musik Melayu, juga diimbau memasang dinding/figura bernuansa Melayu. Ini bersifat wajib. Bagi yang tidak mau mematuhinya sudah disediakan sanksi berupa pencabutan izin usahanya.
Usai membaca, berkelabat pikiran pada Antonio Gramsci (22 January 1891–27 April 1937). Sosok filsuf Italia yang juga anggota pendiri dan pernah menjadi pemimpin Partai Komunis Italia, yang menemukan konsep hegemoni budaya. Katanya, satu cara menjaga keberlangsungan negara atau dalam sebuah masyarakat kapitalisme adalah dominasi suatu kelas sosial terhadap kelas sosial lain.
Gramsci yang menyatakan, kekuasaan suatu budaya dapat dilanggengkan melalui strategi hegemoni lewat peran kepemimpinan intelektual dan moral untuk menciptakan ide-ide dominan. Relasi kekuasaan dan kekerasan menjadi tidak kentara, dalam artian kekerasan yang ada tertutupi oleh kekuasaan yang bekerja secara halus melalui representasi simbol-simbol.
Sistem simbol memiliki kekuatan untuk memberikan pemaknaan bagi realitas sosial. Lewat proses pencitraan, sistem simbol memperoleh daya abstraknya guna mengubah makna, menggiring cara pandang, hingga mempengaruhi praktik seseorang maupun kelompok.
Simbol memiliki kekuatan untuk membentuk, melestarikan dan mengubah realitas. Kekuatan simbol ini mengandung energi magis yang bisa membuat orang percaya, mengakui, serta tunduk atas kebenaran yang diciptakan oleh tata simbol. Kekuatan simbol mampu menggiring siapapun untuk mengakui, melestarikan atau mengubah persepsi hingga tingkah laku orang dalam bersentuhan dengan realitas. Daya magis simbol tidak hanya terletak pada kemampuannya merepresentasikan kenyataan, tetapi realitas juga dipresentasikan lewat penggunaan logika simbol.
Kata seorang facebooker, Mayang, hegemoni juga merupakan suatu bentuk dominasi kesadaran yang didasarkan pada kesepakatan. Contoh sederhana, nikmatnya singkong goreng yang disantap dengan secangkir kopi hangat di waktu sore digantikan dengan pizza atau hamburger yang disajikan oleh pelayan yang ramah dan suasana restauran yang menyenangkan dan dipenuhi oleh kelompok orang dengan status sosial menengah ke atas. Secara tidak langsung ingin dikatakan, kalau mau dianggap kelompok menengah atas, makanlah pizza atau hamburger dan tinggalkanlah makanan tradisionalmu. Pergilah ke resto atau cafe!
Mengingat dua realitas dari zaman yang berbeda itu, mencuat sejumlah pertanyaan. Apaklah pejabat di lingkaran pejabat Pemko Pekanbaru itu banyak yang bermazhab hegemoni budaya? Apakah mereka yang birokrat itu bermental kapitalis, sehingga muncul cara pemodal melanggengkan kekuasaan? Apakah untuk membangun sebuah citra budaya, dibolehkan dengan cara memaksa? Bukankah budaya itu bagian dari proses tradisi kehidupan? Kalau sebuah budaya dipaksakan kepada masyarakat yang telah berbudaya, apakah bisa disebut sebuah kolonialisasi? Apakah ini sebuah pelanggaran hak asasi manusia?
Ini perlu kearifan untuk menjawabnya. Jangan karena didorong nafsu kultural, keberadaan yang lain jadi terabaikan, barangkali juga merasa terjajah. Republik ini dibangun atau pembentukan sebuah wilayah kekuasaan bukan atas budaya, melainkan sebuah wilayah admistrasi pemerintahan. **

Tidak ada komentar:

Posting Komentar