Rabu, 30 Mei 2012

Ketika Jurnalis tak Lagi Jadi Raja di Istana Kata

Kendati dalam istilah saya, jurnalis adalah raja di istana kata, namun ia sendiri bisa dijajah oleh kata. Ia bisa diperbudak oleh rangkaian huruf. Kemerdekaannya bisa dirampas.
Di dunia media massa, wartawanlah yang jadi raja. Jurnalis merupakan raja di istana kata. Layaknya raja yang memiliki kuasa, ia bisa seenaknya saja mengobrak-abrik, membolak-balik, menyusun, merangkai, bahkan ‘memperkosa’ kata-kata itu sendiri.
Sebagai penguasa dunia kata, kuli flash disc (sebutan untuk wartawan) sesukanya memainkan dan mempermainkan kata. Kata-kata menghamba kepada dirinya. Fakta tidak lagi dibahasakan sebagai apa adanya. Realitas peristiwa tidak diverbalisasikan sebagaimana mestinya.
Pembaca menjerit. Masyarakat bertanya. Apa sebenarnya yang terjadi dengan raja di istana kata? Apa benar seperti itu kejadiannya? Apakah wartawan tidak salah tulis? Begitu benar keluhan terdengar di tengah publik.
Seyogianya, alangkah lebih mulia menjadi raja yang bijaksana. Tidak zalim, konsisten, dan mampu bertanggung jawab atas rangkaian kata yang dituliskan. Itulah sesungguhnya karakter raja di istana kata. Ia terikat dengan tata bahasa Indonesia yang baik dan benar. Ia tidak bisa sembarangan menggunakan kata. Ia dilarang memakai kata-kata secara serampangan. Wartawan harus tunduk pada kaidah bahasa sebagaimana layaknya bahasa jurnalistik. Selain itu, dalam kode etik, wartawan pantang menyiarkan karya jurnalistik (tulisan, suara, serta suara dan gambar) yang menyesatkan, memutarbalikkan fakta, bersifat fitnah, cabul serta sensasional.
Wartawan boleh saja menyebut dirinya raja di istana kata. Tetapi ia tidak boleh berlaku seenak perut menyusun kata, apalagi kata yang tidak merefleksikan fakta. Ini baru tataran normatif. Belum lagi, aturan yang tak tertulis. Banyak ragamnya. Konon kabarnya inilah disebut aturan sang pemilik. Ini yang menjadikan wartawan dikekang. Ada misi tertentu berkelabat dalam mesin jurnalistik. Ada kepentingan yang terkadang, si wartawan sendiri tak tahu. Alamat pusinglah wartawan dibuatnya.
Bila Indonesia ini adalah Amerika, seorang wartawan bisa berkata, gaji saya memang dari bapak, tetapi saya bekerja untuk publik. Saya mencari berita sesuai yang dibutuhkah khalayak ramai. Tidak untuk yang lain, termasuk bapak. Pemilik hanya memfasilitasi untuk bergeraknya organ-organ perusahaan pers, tetapi hakikatnya kerja untuk produsen informasi umum. Maka darin itu lahir sebuah pakem market drive editorial policy. Pasar atau publiklah yang mengendalikan kebijakan redaksi.
Namun sayang, Indonesia tetaplah Indonesia. Amerika tetaplah Amerika. Dua buah negara yang berbeda karakter anak bangsanya. Bila di negara Uwak Sam itu, jurnalis ditempatkan sebagai mesti, di Indonesia tetap baru belajar bertingkah sesuai posisi masing-masing.
Ini suatu masa, dimana jurnalis tak lagi jadi raja di istana kata…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar