Rabu, 30 Mei 2012

Mendirikan Surau di Hati Generasi

Surau di Minangkabau hanya milik dua golongan, yaitu laki-laki muda yang belum berkeluarga dan satu lagi pria tua yang sudah terabaikan dari sanak saudara. Dua golongan yang pautan umurnya jauh berbeda itu saling berkelindan dalam sebuah transfer ilmu dan pengalaman.
Bila malam datang, mereka menggadakan majelis pikir dan zikir. Berpikir dulu baru berzikir. Ilmu dulu baru amal. Ilmu dilandasi pengetahuan. Pengetahuan sebagai hasil dari kristaslisasi majelis pikir. Penat berolah otak, mereka berolah fisik. Jadilah mereka melakukan pencak silat. Bersilat di malam hari. Alamat generasi di zaman itu, jago bersilat lidah, pintar pula bela diri. Sungguh pribadi yang menawan. Apalagi ada dalam diri mereka budi pekerti.
Itu dulu wahai kawan! Zaman baheulak. Suatu masa di zaman nenek moyang kita. Sekarang jangan disebut. Surau itu sendiri sudah amat langkah. Kalau pun ada, ia sudah lapuk. Dindingnya sudah dimakan rayam. Tak siang tak malam, ruangannya sudah menjadi sarang kelalawar. Sungguh menyedihkan!
Lantas kemudian, bolehkah kita berharap, akan adanya atau bakal lahirnya generasi yang berjiwa surau? Sementara surau itu sendiri tak ada. Orangtua pun ikut menjadi malaikat pencabut nyawa surau itu sendiri. Mereka sudah membangun kamar di rumah untuk anak bujangnya. Mereka tak lagi membolehkan anaknya tidur di surau yang banyak nyamuknya itu. Tidur di sana tidak pakai kasur lagi.
Zaman sudah tak sama, generasi sudah berbeda. Pola lama tak cocok dengan gaya hidup kekiniin. Hidup komunal tak lagi mendapat tempat di hati masyarakat. Orang makin hidup sendiri atau individual. Itulah perjalanan waktu anak generasi Minang.
Dengan keadaan yang tak kondusif itu, apakah generasi berjiwa surau akan hilang ditelan masa? Apakah tak akan nada lagi, generasi yang menawan itu? Apakah cerita surau akan tinggal kenangan belaka?
Jawabannya tentu tidak! Pola boleh usang, tetapi spirit tetap dipertahankan. Semangat surau tetap dikobarkan dalam setiap diri insan. Bagaimana wahai kawan, biarkan sajalah surau itu lapuk, tetapi kita membangun surau di hati generasi. Menaruh kalam kesurauan dalam dada. Menggadakan dialektika dalam ruang dan ranah yang tak sama dengan masa lalu.
Untuk mendirikan surau di hati, tentu harus sejarah dan falsafah surau itu sendiri. Ini ada sekelumit kutipan tulisan dari Drs. Yulizal Yunus Dt. Rajo Bagindo.
Sejarah Surau untuk Pesisir Selatan di antaranya tercatat paling awal adalah Surau Burhanuddin Painan tahun 1523. Setelah itu menyusul surau Puluikpuluik Bayang. Surau Puluikpuluik ini termasuk basis kuat pengembangan Islam di Pantai Barat Sumatera Tahun 1666. Ulama besar membina surau Puluikpuluik itu ialah Syeikh Buyung Muda, salah seorang dari 6 ulama seangkatan Syeikh Burhanuddin Ulakan belajar dengan Syeikh Abdul Rauf Singkel di Aceh, sa’at berkobarnya Perang Pauh (mulai 28 April 1666). Bayang dengan basis surau ini basis konsentrasi perjuangan rakyat Sumatera Barat melawan Belanda, di antaranya dikenal Perang Bayang berlangsung lebih satu abad (mulai 7 Juni 1663, berakhir dengan Perjanjian Bayang 1771).
Perang Bayang ini sebenarnya berawal dari Sandiwara Batangkapas. Diceritakan ketika itu Indrapura sebagai pusat perdagangan miniatur dunia, amat waspada terhadap ancam pengaruh asing. Kerajaan Indrapura ini di belakang layar untuk mengelabui Belanda terus bermain mata dengan Inggiris dan Aceh serta Banten. Fenomena itu diketahui Belanda dan minta berdamai, demi kepentingan dagang mereka di perairan Indrapura dan pantai barat umumnya. Tahun 1660, Indrapura mengirim utusan ke meja runding perjanjian damai di Sungai Bungin (Batangkapas) dengan agenda penting di antaranya soal perdagangan lada di pantai Barat . Belanda amat merasa kecewa. Belanda menyatakan belum semua lada ke tangannya, Inggiris dan Aceh masih saja mengambil kesempatan dagang gelap. Perjanjian itu kemudian diperkuat dengan perjanjian berikutnya dikenal dengan Sandiwara Batangkapas, tahun 1662 (ada yang menyebut tempatnya di Taluk Kasai ada pula yang menyebut di Taluk Tampuruang). Belanda merasa semakin kecewa malah merasa dipermainkan. Dalam kekecewaan itu Belanda diam-diam membuat kekuatan baru dengtan membangun kekuasaan di pantai barat. Tahun 1962 itu juga Belanda mendirikan Loji VOC di Pulau Cingkuk yang mengundang marah kota-kota pantai barat.
Tahun 1663 terjadi lagi sebuah perdamaian penting disebut Perjanjian Painan (Painansch Contract). Perjanjian yang ditadatangani tanggal 6 Juli 1663 itu, disebut sebagai lajutan Sandiwara Batangkapas (1662). Disebut Sandiwara karena perjanjian itu adalah untuk menyandiwarai Belanda untuk kepentingan mengusir Aceh.
Minangkabau ketika itu tidak mengerti strategi Batangkapasnya sehingga Pesisir ditudung menjuang tanah kepada Belanda. Tetapi kota-kota pantai di bawah pengaruh Indrapura ketika itu, melanjutkan strategi itu, pura-pura berpihak ke Belanda (maling besar) untuk mengusir kekuatan Aceh di Pantai Barat amat terasa di Batangkapas, Indrapura, Tiku dan Padang. Tanggal 23 Juli 1663, pembesar-pembesar delegasi Perjanjian Painan kembali dari Batavia dalam urusan penandatangan Perjanjian Painan, tangal 6 Agustus 1663 delegasi itu singgah dan merapat di bandar Indrapura. Sebelum delegasi sampai kembali di Painan, disambut dengan Perang Bayang (7 Juni 1663) yang membuat pusing Belanda. Perang Bayang itu sebenarnya pergolakan seluruh negeri yang diadu domba Belanda. Dalam Perang se Pesisir itu melahirkan seorang pahlawan dikenal Sidi Rajo. Karena ia pemberontak melawan penjajah, Belanda menyebutnya urang maliang. Kata urang maliang itu bagi Belanda orang yang melawan kekuasaannya, dan bagi rakyat adalah pahlawan.
Abad ke-18 Bayang seperti juga beberapa nagari di Pesisir Selatan, melahirkan banyak ulama besar dan pejuang di pentas sejarah nasional, di antaranya Syeikh Muhammad Fatawi di Pancuang Taba, Syeikh Muhammad Jamil di Kapunjan, Syeikh Abdurrahman (kakek Ilyas Ya’cub pahlawan Nasional asal Bayang), Syeikh Abdul Wahab (Inyiak Kacuang) guru ayah penulis M.Yunus T. Di Tarusan ada Pakih Hud dan Pakih Samun yang muridnya tersukses adalah ayah Buya HAMKA yakni Dr. H. Abdul Karim Amrullah (HAKA). Di Batangkapas dikenal Syeikh Yunus di IV Koto Mudik, Syeikh Batangkapas di Subarang Patai, Syeikh Surau Tanjung di Limau Sundai, dll. Ulama-ulama tersebut mempunyai surau yang diasuh, dibina oleh ninik mamak. Surau bagi ninik mamak adalah simbol budi, untuk membina anak kemanakan berbudi pekerti mulia. Cadiak pandai pun berperan mencerdaskan anak nagari.
Ketika itu nilai dasar ABS-SBK dalam tataran identitas masyarakat Minang sebagai kelompok masyarakat adat dan syarak (Islam) dibentangkan di Surau. Dr. Alis Marajo (2002:2) menyebut 4 nilai pada adat yakni budi, akal, ilmu, mungkin – patut. Empat nilai ini menurut Alis Marajo diambil dari nilai Syarak (Islam) setelah evolusi agama Majusi, Hindu, Budha (dan agama lain disebut Mukhtar Naim Palbegu). Orang Minang melihat Islamlah yang paling cocok dalam memperkuat nilai-nilai dasar Minang. Nilai yang nan-4 pada adat ini dipersandingkan dengan 4 nilai pada syarak (Islam) yakni hakekat, tarekat, ma’rifat dan syaria’t. Kombinasi nilai nan-4 pada adat dan nan-4 pada syarak itu tertuanglah dalam mamang adat : ka hakikat landasan budi/ ka tarekat landasan aka/ ka ma`rifat landasan mungkin dan patuik/ ka syari’at landasan ilmu. Nilai-nilai dasar adat itu disosialisasikan di lembaga-lembaga yang menjadi persyaratan berdirinya nagari, yakni (1) budi di surau (juga di gobah, palanta), (2) akal dibentuk di Balai, (3) Ilmu diuji di Gelanggang, dan (4) mungkin dan patut disosialisasikan di tepian tempat mandi.
Dirasakan betul dahulu sampai awal abad ke-20 surau tidak saja basis perjuangan nasional melawan penjajah, tetapi juga basis kehidupan banagari. Di surau tungku itu tigo sajarangan – tali tigo sapilin (anggo tango/ anggaran dasar, raso – pareso/ undang-undang, alua patuik/ hukum) amat kuat, dijalankan tiga tuanku (penghulu, alim ulama dan cadiak pandai). Fatwa (agama/ syarak) pada (wewenang) ulama, parentah (dijalankan secara adat) pada (wewenang) penghulu dan teliti (melihat tepat atau tidak) pada (wewenang) cadiak pandai. Jadi menegakkan syarak dan adat tiga tuanku itu bersinergi. Artinya salah satu unsur tidak managehkan tuah, santiang dan bagak surang-surang.
Semangat dan nilai sejarah sinergi ulama, penghulu dan cadiak pandai di surau dahulu sebagai basis kehidupan bernagari, perlu digali ulang. Nilai itu amat berguna bagi sukses otonomi daerah di Sumatera Barat (Perda 9/ 2000 – UU 22/99) memakai sistem kambali ke nagari (kembali hidup banagari), basisnya Surau terutama untuk Batangkapas. Kedepan perlu ada surau basis itu. Bagaimana bentuk surau basis dalam kehidupan bernagari Batangkapas. Dapatkah surau dijadikan basis alternatif pemakmuran kehidupan bernagari dalam visi ekonomi di samping sebagai pusat kebudayaan nagari.
2. Potensi Surau Basis Kehidupan Banagari
Kondisi objektif (potensi dan kelemahan) surau pada waktu kini:
Potensin surau (a) ada tekad pemerintah dan komitmen anak nagari jadikan surau basis kehidupan banagari, (b) pranata adat masih kukuh punya institusi surau (meski pisik tidak ada/ ada tidak terawat), (c) surau simbol moral dan budi pekerti anak kemenakan dibina mamak, (d) sejarah surau melahirkan orang alim (cikal bakal ulama), tahu adat, punya ilmu bela diri untuk self-cofident (pe-de) dalam mengembangkan Islam dan adat, (e) surau – masjid marak sekarang dimanfa’atkan sebagai lembaga TPA/TPSA.
Kelamahan surau: (a) eksistensi surau lemah di tengah sistem pendidikan baru (sisdiknas), (b) sejarah surau beralih ke madrasah dan menjadi institusi pilihan dalam pendidikan Islam, (c) surau kehilangan supremasi sebagai lembaga budi ninik mamak, (d) fungsi surau mengalami disintegrasi sosial (fungsi lama yang mapan kabur/ ditinggalkan, fungsi baru diraba dan dianut bahkan belum ditemukan), (e) KAN sebagai institusi adat belum punya solusi kembalikan fungsi surau dan basis kehidupan banagari, (f) Visi pemerintah daerah (termasuk Depag) tentang institusi surau kabur, sering masjid disamakan dengan surau dalam pembentukan basis pada sistem kembali ke nagari sekarang, padahal syarat nagari di antaranya basurau bamusajik dua institusi berbeda, (g) ninik mamak tidak berdaya (power lemah) membina aset surau sebagai simbol budi, (h) surau dibiarkan berjalan tanpa guru (Islam, adat, bela diri) dan kalau ada guru 1 atau 2 dibiarkan dalam tingkat kesejahteraan memprihatinkan dibanding guru dalam berbagai kursus anak-anak bidang studi umum lainnya, (i) responsibilitas anak nagari terhadap fungsi surau dan peranan gurunya mengalami pasang surut di samping merosotnya pemikiran orang Minang.
3. Peluang Surau sebagai Basis kehidupan Bernagari
Pengaruh lingstra (lingkungan strategis: internasional, regional, nasional dan daerah dengan derasnya arus modernisasi era global dan berbagai tantantangan lainnya di samping peluang untuk maju).
Peluang surau: (a) model alternatif basis memakmurkan kesejahteraan kehidupan nagari dan (b) pusat kebudayaan nagari, seperti tempat pemberdayaan berbagai lembaga masyarakat melalui motivasi agama dan pusat informasi serta sosialiasi nilai Islami untuk memperkuat otoritas pemerintah dalam pengentasan kemiskinan (pemberdayaan ekonomi rakyat lewat motivasi agama ) dan pemberantasan dekadensi moral termasuk pekat/ maksiat.
Tantangan surau: (a) kemajuan teknologi vcd (tv, internet) pengaruhi prilaku masyarakat, menantang anak nagari mempersandingkan vcd negatif dengan vcd ajaran Islam (vcd al-qur’an/ hadist, tafsir, fiqhi dan vcd cerita-cerita pendidikan Islam yang menarik dll), (b) sarjana agama yang punya alam pikir modern yang banyak tinggal di masjid pengaruhi alam pikiran tradisional ninik mamak, merubah fungsi/ arsitektur surau jadi masjid raya modrnis dan besar, lenyap dan roboh surau dan hilang kekayaan budaya/ gaya bangunan arsitektur masjid artistic klasik, menantang lahirnya surau modern dengan fungsi dan arsitek baru, (c) prilaku masyarakat terhadap surau – masjid, mendorong masjid dibangun besar, tapi tidak makmur (tidak ramai isinya), siang berfungsi shalat jum’at dan kadang disertai shalat mayat, banyak kosong, malam menakutkan sepi bagai rumah hantu, makanya ada yang pakai untuk bertapa bukannya untuk i’tikaf, bahkan siang terkunci, surau tidak aktif pula, kemana lagi anak kemanakan mau shalat, makanya banyak kemanakan tidak shalat, menantang memfungsikan surau sebagai tempat ibadat, ngaji Islam dan adat serta belajar ilmu bela diri agar percaya diri dan tangguh menghadapi tantangan dalam mengembangkan Islam.
4. Bentuk Surau
Surau, dahulu dapat dibedakan (1) surau nagari, (2) surau suku dan (3) surau paham keagamaan. Surau nagari merupakan institusi agama di samping masjid menjadi persyaratan nagari. Surau suku, dibina penghulu/ ninik mamak suku dalam pembinaan sopan santun anak kemenakan, maka oleh sebab itu surau suku simol budi. Surau paham keagamaan, berbentuk pusat pengajaran dan ibadat suatu paham tarekat, misal surau Pasia Lubuk Nyiur, Surau Tanjung Limau Sundai, Surau Nyaman Taluk dengan ulamanya adalah surau tarekat yang amat berpengaruh.
Surau di nagari diurus penghulu di nagari, secara operasional diolah malim. Kalau di nagari setidaknya ada 4 suku maka suraunya 4 pula. Justeru Nagari punya syarat basurau-bamusajik (masjid) tampek baibadek (beribadat), tempat belajar cari/ uji kecerdasan dan tempat mengajar anak kemenakan berbudi pekerti mulia, di samping balabuah nan golong – bapasa (nan rami) tampek lalu dan malewakan kebesaran penghulu, batapian tampek mandi, babalai tampek bamusyawarah bamupakek, bagalanggang medan nan bapane tempat uji kepandaian. ***




surau ijuak Sicincin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar