Rabu, 30 Mei 2012

SBY Berkhotbah Tanpa Kitab Suci

*Berbahaya bagi Masa Depan Demokrasi
*Kerap Kerahkan Segala Cara untuk Menang

Dikabarkan Riau Pesisir

JAKARTA (RIAU) - Politik pencitraan yang dilakoni Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dianggap omong kosong. Bagus di kulit, melompong di isi. Malah SBY pun dianggap berkhotbah tanpa kitab suci.
"Adalah realitas politik ketika politik Machiavelli (devide et impera-red) dibalut oleh kesantunan. Itu bisa disebut juga khotbah tanpa kitab suci. Ada ketidakkonsistenan," kata anggota Komite Kebijakan Publik Kementerian Negara BUMN, Ismed Hasan Putro dalam diskusi di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (18/6) seperti dikutip detikcom.
Menurut Ismed, khotbah tanpa kitab suci merupakan praktek pemunduran kitab suci sehingga dianggap berbahaya bagi masa depan demokrasi di Indonesia.
Partai Demokrat, imbuh Ismed, juga dianggap mengerahkan segala cara untuk memenangkan Pemilu Legislatif 9 April lalu. "Demokrat mengerahkan segala cara termasuk tipu muslihat untuk memenangkan pemilu kemarin. Tapi hasilnya cuma 20 persen," lanjut Ismet.
Dia menambahkan, pernyataan para tim sukses SBY yang optimistis menang Pilpres dalam satu putaran saja dianggap tidak masuk akal. Terlebih, komentar salah satu tim sukses SBY-Boediono, Suripto dari PKS yang menganggap jika Pilpres dua putaran akan menimbulkan kericuhan juga dianggap tidak masuk akal. "Karena Pilpres bukannya diposisikan sebagai kompetisi politik, tapi konfrontasi politik," imbuhnya.
Politik pencitraan SBY memang suka menyerang. Karena menganggap diri hebat, setiap dikritik selalu dibalas dengan penyerangan. Supaya dianggap selalu bersih. "Jadi, menurut saya, reaksi yang diberikan SBY berlebihan. Jadi era pencitraan memang harus menyerang. Itulah rumus ilmunya," kata
Pengamat komunikasi politik Effendi Gazali.
Lebih bagus, lanjut Effendi, SBY kerja keras daripada berkoar-koar untuk melakukan hanya 1 putaran. "Jadi menurut saya, orang lain akan melihat bahwa SBY itu sombong. Jika Anda bisa menang di Pileg, kemudian memerintah kedua kalinya, kan tidak ada yang bisa dipertaruhkan," papar dia.
Tetapi ada batasannya untuk menyerang? "Itu tergantung persepsi masing-masing orang. Komunikasi politik tidak terlalu tepat jika hanya dilukiskan dengan speed, stamina, akurasi. Tetapi, yang paling penting juga ada seninya," kata Effendi.
Effendi mengingatkan masyarakat agar tidak gampang terkecoh dengan pencitraan yang dibangun calon presiden.
Pencitraan melalui iklan, kata Effendi, juga telah dilakukan sedemikian rupa. Pasangan calon diposisikan tak ubahnya "barang konsumsi" yang dikemas dan tawarkan dengan sangat bagus sehingga menarik perhatian, meski tidak ada substansinya.
"Bahkan sekarang ada iklan mi instan rasa presiden," kata Effendi yang disambut tawa dan tepuk tangan peserta diskusi. (dtc/mic)




Gali Kubur Sendiri
Elektabilitas SBY dalam survei-survei yang diposisikan menjadi calon terkuat ternyata dapat menimbulkan kegamangan bagi SBY. Dan kegamangan itu pun bisa membuat SBY malah menggali kuburnya sendiri.
"Kegamangan SBY karena diposisikan sebagai yang terkuat membuat SBY ceroboh, seolah-olah dengan menggunakan cara yang sama bisa menang lagi pada 2009. Jangan-jangan 20 persen kemenangan Demokrat itu malah sedang menggali kubur sendiri karena ada kepercayaan diri tinggi yang tak menghiraukan strategi lain," ujar pengamat marketing politik UI Firmanzah di Universitas Paramadina, Jakarta, Kamis (18/6).
Menurut Firman, saat ini SBY adalah seorang market leader karena masih menjadi yang terkuat. Tapi hal itu bukanlah sesuatu keuntungan, melainkan adalah sesuatu yang bisa menjadi bumerang.
"Jadi market leader itu lebih sulit, karena konsentrasinya pasti akan terpecah. Ibarat pembalap sepeda, yang nomor satu itu pasti akan selalu menengok ke belakang melihat posisi nomor dua yang menempelnya. Yang paling enak itu sebenarnya yang di nomor dua karena tahu targetnya itu ada di mana. Market leader itu hanya akan menjadi sasaran tembak lawan. Untuk itu SBY perlu hati-hati," jelasnya.
Dekan Fakultas Ekonomi UI ini menyarankan, SBY jangan terbuai dengan hasil survei yang memposisikan dirinya sebagai yang tak terkalahkan. Karena marketing politik itu ibarat tools, seperti pisau yang bisa digunakan untuk memasak enak atau bisa juga digunakan untuk membunuh. (dtc)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar