Rabu, 30 Mei 2012

Tommy Soeharto di Kedai Kopi

on Saturday, October 17, 2009 at 2:07pm ·

Di sebuah kedai kopi di Jalan Pangkalan Sena, Dumai, terjadi bincang-bincang ringan soal fenomena politik. Namanya ota lapau, cerita mengalir kemana-mana. Belum selesai satu topik pindah ke topik yang lain. Begitu seterusnya.
Kendati demikian, ada satu perkara yang dibahas agak dalam. Tersebutlah sikap politik Tommy Soeharto dalam Munas Golkar baru-baru ini. Anak bungsu Soeharto itu tak dapat suara. Perolehannya nol. Sama nasibnya dengan Yuddy Crisnandy.
Dari empat kandidat yang maju, minus Yuddy, kesemuanya adalah saudagar. Pebisnis yang terjun ke dunia politik. Mereka orang sukses dalam bidang ekonomi masuk ke ranah seni mencari kekuasaan. Namanya saudagar, uang mereka banyak.
Inilah pangkal bala hangatnya cerita di kedai. “Munas partai beringin itu jadi ajang transaksi suara. Harganya sebagaimana dikatakan Yuddy lebih Rp 100 juta per suara. Mahal ya?” kata seorang.
“He he he. Itu bukan kabar baru Bung. Kabar lama itu. Sudah remuk deram diberitakan media massa. Berdagang suara lebih menjanjikan ketimbang dagang sapi, itu cerita lama,” kata seorang yang lain.
Baru selesai bicara, disambung pula oleh yang lain. Yang menarik kata yang satu ini, sikap seorang Tommy yang tak mau ikut-ikutan membeli suara. Jika anak Soeharto itu mau, tentu ia bisa beli lebih mahal lagi. Barangkali ia punya uang lebih banyak dari kandidat lain. Karena harga diri politiknya, biar ia tak dapat suara. Harga sikapnya tak terbeli dengan godaan kekuasaan.
Walau masa lalunya ada catatan-catatan, tapi sikap yang ditunjukkan sangat mulia. Sangat indah dalam dialektika politik di tanah air. Sepertinya ia tak mau merusak sesuatu yang telah rusak.
Sepulang dari kedai itu saya jadi berpikir-pikir. Di tengah kelabat kerja otak, saya jadi teringat dengan Jimmy Carter, Presiden Amerika ke-39. Ia pernah berkata “Politicians are half ego and half humility”. Politisi sesungguhnya manusia yang terdiri atas separoh ego dan separoh lagi tuna harga diri.
Bagaimana seorang Tommy bisa mengalahkan egonya? Bagaimana seorang anak mantan penguasa yang berkuasa bertahun-tahun lamanya, bisa menata keinginannya. Apakah ia sudah mendalami pengertian terhadap cita-cita perbaikan mental kader beringin. Apakah ia telah membenamkan diri ke dalam cita-cita dan ditelan oleh cita-cita itu sendiri. Adakah ia merupakan sosok yang merasakan lezatnya cita-cita itu. Sebuah sikap yang menempatkan garis perjuangan ke dalam jiwa. Ia tak mau diperbudak hawa nafsu dan uang. Karena uang sudah ada di tangannya.
Tapi tiba-tiba saya tersadar. Sebuah pikiran merayam ke dalam kepala saya, boleh jadi juga apa yang dilakukan Tommy itu tipu daya untuk menarik simpati masyarakat. Upss..cepat-cepat saya buang pikiran itu. Lantas entah kenapa, saya begitu rindu sosok politisi yang seluruh hidupnya disedekahkan untuk kepentingan bangsa, siap hidup melarat, berani turun dari jabatan, berani meninggalkan rumah mewah, mobil mentereng, lalu diusir, disiksa, dimaki, dihina, dibuang dan diasingkan dengan segala kemiskinannya.
Ia pilih segala kesengsaraan itu demi mempertahankan cita-cita.Tidak dijual atau digadaikan pendirian lantaran mengharapkan kedudukan empuk. Pribadi yang kuat karakternya. Kuat mental dan teguh moralnya.
Politisi yang punya harga diri yang nilainya lebih mahal dari harta. Jika ada orang mengatakan; “Serahkanlah harga dirimu, aku akan beri engkau sebesar gunung.” Ia akan tetap menolak, sebab sepenuh bumi pun emas disediakan, tetap jua belum seimbang dengan harga diri.
Harga diri seorang politisi merujuk pada pemikiran filosofis; “Lebih baik mati di kaki musuh melalui pejuangan hakiki untuk menegakkan kebenaran sekalipun dari pada menyerah dan hidup di bawah taklukan yang merendahkan martabat. (**)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar