(TULISAN INI DISEBARLUASKAN HARIAN PAGI VOKAL, 6 MEI 2011)
Beberapa
waktu lalu, jalan lintas Riau-Sumbar putus. Batu yang ada di bukit
Kabupaten Kampar, longsor sehingga menutupi infrastruktur tersebut.
Alamat banyak mobil yang terhenti perjalanannya. Mengularlah orang
menunggu sampai jalan lancar lagi.
Tak ada yang berbuat untuk
menyingkirkan batu dan tanah. Kalau pun ada sebagian warga melakukan,
itu tak lebih dari sekelompok orang yang memanfaatkan keadaan. Menangguk
di air keruh. Membantu dengan mengharapkan pamrih, malah mematok harga.
Tapi
dari sekian sopir yang terjebak jalan putus, banyak yang mengambil
jalan lain. Mereka putar kepala atau menempuh rute yang lazim. Sama juga
dengan kisah seorang pemuda pada zaman dahulu di sebuah negeri, seorang
raja yang bijaksana berniat untuk menguji rakyatnya. Di suatu malam,
diam-diam ia memerintahkan pasukannya untuk menutup jalan utama. Sebuah
jalan yang biasa digunakan untuk berdagang dengan sebuah batu yang cukup
besar sehingga tidak mungkin dapat dilewati. Keesokan harinya, satu
demi satu penduduk yang melewati jalan tersebut terlihat berbalik arah
untuk mengambil jalan memutar yang lebih jauh, dengan wajah kesal dan
terus mengomel. Kejadian tersebut berlangsung selama beberapa saat.
Hingga
pada suatu, seorang pemuda dengan terburu-buru melangkahkan kakinya di
jalan tersebut. Ia terhenyak ketika mengetahui bahwa ada batu besar yang
menutupi jalan tersebut. Orang-orang yang kebetulan sedang berada di
sana menyarankan dia untuk menempuh jalan memutar yang setidaknya tiga
kali lebih jauh jaraknya. Pemuda tersebut terdiam. Keningnya berkerut
menandakan ia sedang berpikir keras. Tak lama, tanpa diduga oleh
penduduk yang lain, ia pun berjalan mendekati batu tersebut dan
mendorongnya.
“Percuma!” ujar seorang bapak yang sedang membawa
sekeranjang wortel, “Kami juga sudah mencobanya dan batu itu sama sekali
tidak mau bergerak.”
Penduduk yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya tanda setuju. Sebagian bahkan mulai menatap pemuda tersebut dengan sinis.
“Si
Herikules saja tidak mampu mendorongnya. Mana mungkin kamu bisa?”,
teriak seorang wanita berbaju batik, diikuti dengan tawa cemooh
orang-orang yang ternyata semakin banyak jumlahnya. Aksi nekat pemuda
tersebut rupanya menarik minat mereka untuk menjadi penonton.
Tanpa
menghiraukan mereka, pemuda tersebut dengan sekuat tenaga terus
mendorong… Mendorong… Mendorong… Mendorong… Hingga tiba-tiba… GRRKKKK..
batu besar itu bergeser! Penduduk yang melihatnya terkaget-kaget dan
hanya bisa melongo menyaksikan pemuda tersebut, dengan mengerahkan
tenaganya yang masih tersisa, mulai menggeserkan batu tersebut sedikit
demi sedikit hingga akhirnya jalan tersebut cukup lebar kembali untuk
bisa dilewati.
Merasa capek, pemuda tersebut pun terduduk di
tanah. Di sana ia melihat ada sebuah kotak kayu kecil, yang sedikit
tertimbun oleh pasir. Letaknya persis di bawah batu besar tadi.
Penasaran, ia pun mengambil kotak tersebut, membukanya, dan menemukan
ratusan koin emas di dalamnya beserta sepucuk surat dari sang raja,
lengkap dengan stempel kerajaan dan tanda tangan beliau, yang menyatakan
bahwa siapa saja yang mampu menyingkirkan batu tersebut berhak atas
segala yang ada di dalam kotak kayu.
Pemuda tersebut tidak bisa menahan rasa harunya. Butiran air mata berjatuhan satu demi satu.
“Nak,”
ibu-ibu berbaju batik menyentuh pundaknya. Ia menoleh ke arah ibu
tersebut. “Bagaimana mungkin kamu bisa mendorong batu sebesar itu? Apa
rahasianya? Aku rasa kamu tidak mungkin lebih kuat dari Herikules.”
“Saya
memang tidak lebih kuat dari Herikules, bu,” jawab pemuda tersebut
lirih, “namun, jika ibu berada pada posisi saya, dengan kedua orang tua
yang sakit keras dan satu-satunya obat yang dapat menyembuhkan mereka
hanya dapat dibeli di toko obat yang ada di ujung jalan ini, saya yakin
ibu pun pasti mampu untuk mendorong batu tadi.”
Wahai Tuan! Berbuatlah sesuatu yang berarti pada setiap ada masalah. Mana tahu ada emas di balik tindakan yang diambil. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar