Rabu, 13 Juni 2012

Fisikawan Bilang Surga Itu Dogeng

(TULISAN INI PERNAH MENGHIASI HALAMAN HARIAN PAGI VOKAL)

Fulan benar-benar menyimak pendapat fisikawan Stephen Hawking ketika diwawancarai The Guardian, bahwa konsep kehidupan kekal dan surga hanyalah dongeng belaka. Kematian terjadi ketika otak berhenti bekerja.
"Saya menganggap otak seperti komputer yang akan berhenti bekerja ketika komponennya rusak. Tidak ada kehidupan setelah mati ataupun surga bagi komputer rusak itu. Semua itu cuma dongeng bagi orang-orang yang takut akan kegelapan," urai Hawking.
Pernyataan tersebut juga mempertegas isi buku The Grand Design karyanya yang dipublikasikan pada 2010. Buku itu menyatakan bahwa penciptaan semesta dan eksistensinya tak perlu peran serta Tuhan. Gagasan Hawking yang kontroversial itu menyulut perdebatan dengan para pemuka agama.
Pertanyaannya kemudian, ketika kehidupan kekal dan surga tak ada, apa yang harus dilakukan manusia dalam hidupnya? Hawking mengemukakan bahwa hakikat kehidupan adalah menemukan makna dari tindakan yang dilakukan. "Kita harus menemukan nilai tertinggi dari tindakan kita," cetus Hawking.
Hawking sendiri menyatakan bahwa ia tak takut mati.
"Saya telah hidup dengan prediksi kematian dini selama 49 tahun. Saya tak takut mati, tetapi saya juga tak buru-buru ingin mati. Saya masih punya banyak hal yang perlu saya lakukan," papar fisikawan yang juga menulis buku best seller A Brief History of Time pada tahun 1988 ini.
Dalam kesempatan wawancara itu, Hawking menyatakan, "Semesta diatur oleh sains. Tetapi sains mengatakan kepada kita bahwa kita tak bisa menyelesaikan persamaan secara langsung. Kita harus menggunakan teori seleksi alam Darwin untuk survive. Kita akan memberi mereka nilai tertinggi."
Hawking juga mengatakan sisi sains yang paling menarik bagi dirinya. "Sains menjadi menawan ketika mampu menjelaskan secara sederhana fenomena atau hubungan setiap observasi yang berbeda. Misalnya terkait struktur DNA double helix dalam ilmu biologi dan persamaan dasar fisika," ungkap Hawking. Hawking diketahui mengidap penyakit neuron motorik sejak usia 21 tahun. Dokter memprediksi hidupnya tak akan lama, tetapi ternyata ia hidup hingga lima dekade setelah diagnosis penyakit itu. Kesempatan hidup lebih itu membuat Hawking merasa ia memiliki nilai kehidupan yang lebih.
“Hehehe…” Fulan tersenyum. Apakah ini yang disebut tersesat di jalan pikiran. Menuhankan kehebatan logika. Entahlah Buyung! Sekuat-kuatnya bacaan itu, Fulan masih suka cerita Inul Mardhiyah. Kisah ini dipaparkan Al Yafi’i dari Syeikh Abdul Wahid bin Zahid, dikatakan: Suatu hari ketika kami sedang bersiap-siap hendak berangkat perang, aku meminta beberapa teman untuk membaca sebuah ayat. Salah seorang lelaki tampil sambil membaca ayat Surah At Taubah ayat 111, yang artinya sebagai berikut: "Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min, diri dan harta mereka dengan memberikan sorga untuk mereka" Selesai ayat itu dibaca, seorang anak muda yang berusia 15 tahun atau lebih bangkit dari tempat duduknya. Ia mendapat harta warisan cukup besar dari ayahnya yang telah meninggal. Ia berkata:"Wahai Abdul Wahid, benarkah Allah membeli dari orang-orang mu’min diri dan harta mereka dengan sorga untuk mereka?" "Ya, benar, anak muda" kata Abdul Wahid. Anak muda itu melanjutkan: "Kalau begitu saksikanlah, bahwa diriku dan hartaku mulai sekarang aku jual dengan surga." Anak muda itu kemudian mengeluarkan semua hartanya untuk disedekahkan bagi perjuangan. Hanya kuda dan pedangnya saja yang tidak. Sampai tiba waktu pemberangkatan pasukan, ternyata pemuda itu datang lebih awal. Dialah orang yang pertama kali kulihat. Dalam perjalanan ke medan perang pemuda itu kuperhatikan siang berpuasa dan malamnya dia bangun untuk beribadah. Dia rajin mengurus unta-unta dan kuda tunggangan pasukan serta sering menjaga kami bila sedang tidur. Sewaktu sampai di daerah Romawi dan kami sedang mengatur siasat pertempuran, tiba-tiba dia maju ke depan medan dan berteriak:"Hai, aku ingin segera bertemu dengan Ainul Mardhiyah . ." Kami menduga dia mulai ragu dan pikirannya kacau, kudekati dan kutanyakan siapakah Ainul Mardiyah itu. Ia menjawab: "Tadi sewaktu aku sedang kantuk, selintas aku bermimpi. Seseorang datang kepadaku seraya berkata: "Pergilah kepada Ainul Mardiyah." Ia juga mengajakku memasuki taman yang di bawahnya terdapat sungai dengan air yang jernih dan dipinggirnya nampak para bidadari duduk berhias dengan mengenakan perhiasan-perhiasan yang indah. Manakala melihat kedatanganku , mereka bergembira seraya berkata: "Inilah suami Ainul Mardhiyah . . . . ." "Assalamu’alaikum" kataku bersalam kepada mereka. "Adakah di antara kalian yang bernama Ainul Mardhiyah?" Mereka menjawab salamku dan berkata: "Tidak, kami ini adalah pembantunya. Teruskanlah langkahmu" Beberapa kali aku sampai pada taman-taman yang lebih indah dengan bidadari yang lebih cantik, tapi jawaban mereka sama, mereka adalah pembantunya dan menyuruh aku meneruskan langkah. Akhirnya aku sampai pada kemah yang terbuat dari mutiara berwarna putih. Di pintu kemah terdapat seorang bidadari yang sewaktu melihat kehadiranku dia nampak sangat gembira dan memanggil-manggil yang ada di dalam: "Hai Ainul Mardhiyah, ini suamimu datang . ..." Ketika aku dipersilahkan masuk kulihat bidadari yang sangat cantik duduk di atas sofa emas yang ditaburi permata dan yaqut. Waktu aku mendekat dia berkata: "Bersabarlah, kamu belum diijinkan lebih dekat kepadaku, karena ruh kehidupan dunia masih ada dalam dirimu." Anak muda melanjutkan kisah mimpinya: "Lalu aku terbangun, wahai Abdul Hamid. Aku tidak sabar lagi menanti terlalu lama". Belum lagi percakapan kami selesai, tiba-tiba sekelompok pasukan musuh terdiri sembilan orang menyerbu kami. Pemuda itu segera bangkit dan melabrak mereka. Selesai pertempuran aku mencoba meneliti, kulihat anak muda itu penuh luka ditubuhnya dan berlumuran darah. Ia nampak tersenyum gembira, senyum penuh kebahagiaan, hingga ruhnya berpisah dari badannya untuk meninggalkan dunia.
Mari kita merenung sejenak kawan! ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar