(TULISAN INI PERNAH MENGHIASI HALAMAN HARIAN PAGI VOKAL)
Fulan benar-benar menyimak pendapat fisikawan Stephen Hawking ketika diwawancarai The Guardian, bahwa konsep kehidupan kekal dan surga hanyalah dongeng belaka. Kematian terjadi ketika otak berhenti bekerja.
"Saya
menganggap otak seperti komputer yang akan berhenti bekerja ketika
komponennya rusak. Tidak ada kehidupan setelah mati ataupun surga bagi
komputer rusak itu. Semua itu cuma dongeng bagi orang-orang yang takut
akan kegelapan," urai Hawking.
Pernyataan tersebut juga mempertegas isi buku The Grand Design
karyanya yang dipublikasikan pada 2010. Buku itu menyatakan bahwa
penciptaan semesta dan eksistensinya tak perlu peran serta Tuhan.
Gagasan Hawking yang kontroversial itu menyulut perdebatan dengan para
pemuka agama.
Pertanyaannya kemudian, ketika kehidupan kekal dan
surga tak ada, apa yang harus dilakukan manusia dalam hidupnya? Hawking
mengemukakan bahwa hakikat kehidupan adalah menemukan makna dari
tindakan yang dilakukan. "Kita harus menemukan nilai tertinggi dari
tindakan kita," cetus Hawking.
Hawking sendiri menyatakan bahwa ia tak takut mati.
"Saya
telah hidup dengan prediksi kematian dini selama 49 tahun. Saya tak
takut mati, tetapi saya juga tak buru-buru ingin mati. Saya masih punya
banyak hal yang perlu saya lakukan," papar fisikawan yang juga menulis
buku best seller A Brief History of Time pada tahun 1988 ini.
Dalam
kesempatan wawancara itu, Hawking menyatakan, "Semesta diatur oleh
sains. Tetapi sains mengatakan kepada kita bahwa kita tak bisa
menyelesaikan persamaan secara langsung. Kita harus menggunakan teori
seleksi alam Darwin untuk survive. Kita akan memberi mereka nilai tertinggi."
Hawking
juga mengatakan sisi sains yang paling menarik bagi dirinya. "Sains
menjadi menawan ketika mampu menjelaskan secara sederhana fenomena atau
hubungan setiap observasi yang berbeda. Misalnya terkait struktur DNA double helix dalam ilmu biologi dan persamaan dasar fisika," ungkap Hawking. Hawking
diketahui mengidap penyakit neuron motorik sejak usia 21 tahun. Dokter
memprediksi hidupnya tak akan lama, tetapi ternyata ia hidup hingga lima
dekade setelah diagnosis penyakit itu. Kesempatan hidup lebih itu
membuat Hawking merasa ia memiliki nilai kehidupan yang lebih.
“Hehehe…”
Fulan tersenyum. Apakah ini yang disebut tersesat di jalan pikiran.
Menuhankan kehebatan logika. Entahlah Buyung! Sekuat-kuatnya bacaan itu,
Fulan masih suka cerita Inul Mardhiyah. Kisah ini dipaparkan Al Yafi’i
dari Syeikh Abdul Wahid bin Zahid, dikatakan: Suatu hari ketika kami
sedang bersiap-siap hendak berangkat perang, aku meminta beberapa teman
untuk membaca sebuah ayat. Salah seorang lelaki tampil sambil membaca
ayat Surah At Taubah ayat 111, yang artinya sebagai berikut:
"Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min, diri dan
harta mereka dengan memberikan sorga untuk mereka" Selesai ayat itu
dibaca, seorang anak muda yang berusia 15 tahun atau lebih bangkit dari
tempat duduknya. Ia mendapat harta warisan cukup besar dari ayahnya yang
telah meninggal. Ia berkata:"Wahai Abdul Wahid, benarkah Allah membeli
dari orang-orang mu’min diri dan harta mereka dengan sorga untuk
mereka?" "Ya, benar, anak muda" kata Abdul Wahid. Anak muda itu
melanjutkan: "Kalau begitu saksikanlah, bahwa diriku dan hartaku mulai
sekarang aku jual dengan surga." Anak muda itu kemudian mengeluarkan
semua hartanya untuk disedekahkan bagi perjuangan. Hanya kuda dan
pedangnya saja yang tidak. Sampai tiba waktu pemberangkatan pasukan,
ternyata pemuda itu datang lebih awal. Dialah orang yang pertama kali
kulihat. Dalam perjalanan ke medan perang pemuda itu kuperhatikan siang
berpuasa dan malamnya dia bangun untuk beribadah. Dia rajin mengurus
unta-unta dan kuda tunggangan pasukan serta sering menjaga kami bila
sedang tidur. Sewaktu sampai di daerah Romawi dan kami sedang mengatur
siasat pertempuran, tiba-tiba dia maju ke depan medan dan
berteriak:"Hai, aku ingin segera bertemu dengan Ainul Mardhiyah . ."
Kami menduga dia mulai ragu dan pikirannya kacau, kudekati dan
kutanyakan siapakah Ainul Mardiyah itu. Ia menjawab: "Tadi sewaktu aku
sedang kantuk, selintas aku bermimpi. Seseorang datang kepadaku seraya
berkata: "Pergilah kepada Ainul Mardiyah." Ia juga mengajakku memasuki
taman yang di bawahnya terdapat sungai dengan air yang jernih dan
dipinggirnya nampak para bidadari duduk berhias dengan mengenakan
perhiasan-perhiasan yang indah. Manakala melihat kedatanganku , mereka
bergembira seraya berkata: "Inilah suami Ainul Mardhiyah . . . . ."
"Assalamu’alaikum" kataku bersalam kepada mereka. "Adakah di antara
kalian yang bernama Ainul Mardhiyah?" Mereka menjawab salamku dan
berkata: "Tidak, kami ini adalah pembantunya. Teruskanlah langkahmu"
Beberapa kali aku sampai pada taman-taman yang lebih indah dengan
bidadari yang lebih cantik, tapi jawaban mereka sama, mereka adalah
pembantunya dan menyuruh aku meneruskan langkah. Akhirnya aku sampai
pada kemah yang terbuat dari mutiara berwarna putih. Di pintu kemah
terdapat seorang bidadari yang sewaktu melihat kehadiranku dia nampak
sangat gembira dan memanggil-manggil yang ada di dalam: "Hai Ainul
Mardhiyah, ini suamimu datang . ..." Ketika aku dipersilahkan masuk
kulihat bidadari yang sangat cantik duduk di atas sofa emas yang
ditaburi permata dan yaqut. Waktu aku mendekat dia berkata:
"Bersabarlah, kamu belum diijinkan lebih dekat kepadaku, karena ruh
kehidupan dunia masih ada dalam dirimu." Anak muda melanjutkan kisah
mimpinya: "Lalu aku terbangun, wahai Abdul Hamid. Aku tidak sabar lagi
menanti terlalu lama". Belum lagi percakapan kami selesai, tiba-tiba
sekelompok pasukan musuh terdiri sembilan orang menyerbu kami. Pemuda
itu segera bangkit dan melabrak mereka. Selesai pertempuran aku mencoba
meneliti, kulihat anak muda itu penuh luka ditubuhnya dan berlumuran
darah. Ia nampak tersenyum gembira, senyum penuh kebahagiaan, hingga
ruhnya berpisah dari badannya untuk meninggalkan dunia.
Mari kita merenung sejenak kawan! ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar