Rabu, 13 Juni 2012

Mencuci Pakaian dengan Air Kencing

on Sunday, October 30, 2011 at 1:25pm ·
 Ada pertanyaan klasik yang dimodifikasi; jika kita mencuri ayam, lalu daging atau uang penjualannya kita berikan pada fakir miskin, lantas bisakah kita dikatakan orang baik? Adakah perbuatan itu dicatat malaikat sebagai pahala? Atau jangan-jangan kita ini Robin Hood zaman platinum!
Itulah yang terjadi kawan.  Momentum hari raya qurban, telah mengguak tabir perampok yang berjubah agama. Ada banyak sapi yang diqurbankan. Ada banyak masjid yang disumbangkan. Tidak  sedikit anak yatim yang disantuni. Sebegitu dermawan sang kawan.
Tapi sayang seribu sayang pihak hukum belum mengungkap siapa sebenarnya si Robin Hood.  Orang hanya tahu dia dermawan. Ya...sosok murah hati dan suka membantu. Mana tahu suatu masa, nasibnya sama dengan Baidul Haq Nasir, perampok dari Banglades yang menyumbangkan hasil kejahatannya untuk amal.

Di kota Chittagong, Baidul Haq Nasir (45 tahun) menyumbangkan ribuan dollar AS hasil kejahatannya selama 20 tahun. Dia sumbangkan untuk anak-anak yatim dan masjid. Polisi mengatakan lembaga yang menerima sumbangan uang tunai darinya itu tidak mengetahui bahwa pemberian tersebut dari hasil kejahatan. Baidul Haq Nasir kemudian dijuluki media massa sebagai Robin Hood masa kini. Robin Hood adalah tokoh cerita rakyat yang merampok orang kaya pada abad pertengahan Inggris. Dia kemudian memberikan hasil rampokannya kepada orang miskin.
Bagi sahabat, tetangga dan kenalan bisnisnya, Baidul Haq Nasir merupakan pengusaha kaya yang tinggal di sebuah rumah besar di pinggiran Chittagong. Namun, para pejabat polisi mengatakan Baidul Haq Nasir kenyataannya adalah maling pembobol rumah dan kantor. Dia juga pencuri perhiasan yang memiliki kontak dengan dunia kejahatan.

Kedermawanannya dalam menyumbang dari hasil kejahatannya membuat status Baidul Haq Nasir terhormat di kalangan penduduk pedesaan sekitar Chittagong.
Ketika ditangkap, dia memohon keringanan hukuman karena dia maling baik hati.
Perangai berjubah agama ini pernh terjadi dengan Raden Said, yang kemudian dikenal dengan nama Sunan Kalijaga. Ketika menguasai hutan Jatiwangi, ia dijuluki perampok budiman. Hasil rampokannya itu tak pernah dimakannya. Seperti dulu, selalu diberikan kepada fakir miskin. Yang dirampoknya hanya para hartawan atau orang kaya yang kikir, tidak menyantuni rakyat jelata, dan tidak mau membayar zakat. Di hutan Jatiwangi dia membuang nama aslinya. Orang menyebutnya sebagai Brandal Lokajaya.

Pada suatu hari, ada seorang berjubah putih lewat di hutan Jatiwangi. Dari jauh Brandal Lokajaya sudah mengincarnya. Orang itu membawa sebatang tongkat yang gagangnya berkilauan.
“Pasti gagang tongkat itu terbuat dari emas,” bisik Brandal Lokajaya dalam hati. Terus diawasinya orang tua berjubah putih itu. Setelah dekat dia hadang langkahnya sembari berkata, “Orang tua, apa kau pakai tongkat ? Tampaknya kau tidak buta, sepasang matamu masih awas dan kau juga masih kelihatan tegar, kuat berjalan tanpa tongkat !”

Lelaki berjubah putih itu tersenyum, wajahnya ramah, dengan suara lembut dia berkata, “Anak muda ………. Perjalanan hidup manusia itu tidak menentu, kadang berada di tempat terang, kadang berada di tempat gelap, dengan tongkat ini aku tidak akan tersesat bila berjalan dalam kegelapan.”
“Tapi .......... saat ini hari masih siang, tanpa tongkat saya kira kau tidak akan tersesat berjalan di hutan ini.” Sahut Raden Said. Kembali lelaki berjubah putih itu tersenyum arif, “anak muda ………. Perjalanan hidup manusia itu tidak menentu, kadang berada di tempat terang, kadang berada di tempat gelap, dengan tongkat ini aku tidak akan tersesat
bila berjalan dalam kegelapan.”
“Tetapi .......... saat ini hari masih siang, tanpa tongkat saya kira kau tidak akan tersesat berjalan di hutan ini.” Sahut Radeb Said. Kembali lelaki berjubah putih itu tersenyum arif, “Anak muda tongkat adalah pegangan, orang hidup haruslah mempunyai pegangan supaya tidak tersesat dalam menempuh perjalanan hidupnya.”
Agaknya jawab-jawab yang mengandung filosofi itu tak menggugah hati Raden Said. Dia mendengar dan mengakui kebenarannya tapi perhatiannya terlanjur tertumpah kepada gagang tongkat lelaki berjubah putih itu. Tanpa banyak bicara lagi direbutnya tongkat itu dari tangan lelaki berjubah putih. Karena tongkat itu dicabut dengan paksa maka orang
berjubah putih itu jatuh tersungkur.
Dengan susah payah orang itu bangun, sepasang matanya mengeluarkan air walau tak ada suara tangis dari mulutnya. Raden Said pada saat itu sedang mengamat-amati gagang tongkat yang dipegangnya. Ternyata tongkat itu bukan terbuat dari emas, hanya gagangnya saja terbuat dari kuningan sehingga berkilauan tertimpa cahaya matahari, seperti emas. Raden Said heran melihat orang itu menangis. Segera diulurkannya kembali tongkat itu, “Jangan menangis, ini tongkatmu kukembalikan.”
“Bukan tongkat ini yang kutangisi,” Ujar lelaki itu sembari memperlihatkan beberapa batang rumput di telapak tangannya. “Lihatlah ! Aku telah berbuat dosa, berbuat kesiasiaan. Rumput ini tercabut ketika aku aku jatuh tersungkur tadi.”
“Hanya beberapa lembar rumput. Kau merasa berdosa ?” Tanya Raden Said heran.
“Ya, memang berdosa! Karena kau mencabutnya tanpa suatu keperluan. Andaikata guna makanan ternak itu tidak mengapa. Tapi untuk suatu kesia-siaan benar-benar suatu dosa !” Jawab lelaki itu.
Hati Raden Said agak tergetar atas jawaban yang mengandung nilai iman itu.
“Anak muda sesungguhnya apa yang kau cari di hutan ini ?”
“Saya mengintai harta ?”
“Untuk apa ?”
“Saya berikan kepada fakir miskin dan penduduk yang menderita.”
“Hemm, sungguh mulia hatimu, sayang ...... caramu mendapatkannya yang keliru.”
“Orang tua .......... apa maksudmu ?”
“Boleh aku bertanya anak muda ?”
“Silahkan .......... “
“Jika kau mencuci pakaianmu yang kotor dengan air kencing, apakah tindakanmu itu benar?”
“Sungguh perbuatan bodoh,” sahut Raden Said. “Hanya manambah kotor dan bau pakaian itu saja.”
Lelaki itu tersenyum, “Demikian pula amal yang kau lakukan. Kau bersedekah dengan barang yang didapat secara haram, merampok atau mencuri, itu sama halnya mencuci pakaian dengan air kencing.”
Lantas bagaimana dengan qurban, sedekah dan santunan kita kawan? ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar