Selasa, 12 Juni 2012

Lemparkan Telurmu Wahai Fulan!

(TULISAN INI DISEBARLUASKAN HARIAN VOKAL, 17 DESEMBER 2010)
Mana telurmu? Ini telurku! Jika ia busuk, tolong lemparkan ke orang-orang yang kita sangat marah pada mereka. Pejabatkah, artiskah atau tokoh masyarakat yang membuat emosi kita naik.
Melemparkan telur adalah ekpresi kemarahan yang luar biasa. Apalagi yang dilemparkan itu telur busuk. Kalau sudah begini, artinya sudah betul-betul marah. Telah mendidih darah di tubuh.
Banyak tempat dan etnis memakai cara ini untuk mengungkapkan emosi. Tatkala telur sudah dilemparkan, seakan-akan rasa sakit hati sudah lenyap. Pergi dan berkurang rasanya.
Itulah telur. Sebuah cikal bakal kehidupan makhluk Tuhan. Dahulu kala, entah bagaimana sebutir telur elang jatuh dari puncak gunung yang tinggi ke tempat kumpulan telur ayam yang sedang dierami.
Kendati bentuk telur yang tiba-tiba muncul itu berbeda dengan telur yang biasa ia erami, sang ayam tak peduli. Berselang beberapa hari, sang ayam sah menjadi seekor induk. Telurnya menetas, tak terkecuali  telur elang. Akan tetapi betapa kagetnya sang induk ketika melihat satu anaknya berbeda dengan yang lainnya. Tubuhnya besar, sayapnya lebar, matanya tajam seolah memberi sinyal ancaman, cakarnya seolah siap menerkam, paruhnya yang tajam seolah siap memangsa, namun dengan keberaniannya sang induk berusaha menghilangkan semua pikiran negative. Ia berusaha dengan segala daya dan upaya menegaskan bahwa anaknya yang berbeda itu adalah ayam.
Ia pun mengajari anak-anaknya bagaimana cara makan, minum, tidur, bermain dan yang lainnya yang berhubungan dengan kegiatan sehari-hari bangsa para ayam. Elang kecilpun kini telah tumbuh semakin besar, ia merasa berbeda dengan saudara-saudaranya yang lain. Ia pun hanya bisa merenung dan bertanya-tanya di dalam hatinya, mengapa ya bisa seperti ini? Ketika ia sedang asyik melamun sesekali ia melihat ke angkasa dan menemukan makhluk lain yang mirip dengannya bisa terbang bebas di angkasa mengitari dunia dengan kepakan sayapnya. Elang kecilpun mulai mengepak-ngepakan sayapnya yang lebar namun sang induk langsung melarangnya.
Hari-hari telah mereka lalui hingga semakin tampaklah perbedaan di antara mereka, elang kecil kini telah tumbuh menjadi dewasa dan kelihatan lebih mantap, dengan tubuhnya yang berbeda itu kini ia lebih sering menyendiri dan terus memikirkan perbedaan yang ia alami. Sedikit demi sedikit akhirnya ia mulai mengepak-ngepakan kembali sayapnya, tak terasa ketika ia mengepak-ngepakan ia pun mulai terbang tinggi membumbung tinggi ke angkasa.
Dalam terbang itu ia pun semakin yakin bahwa ia di takdirkan untuk menjadi seekor elang bukan seekor ayam.
Itu cerita telur terjatuh pada eraman ayam. Ada lagi cerita telur raksasa, namun tak beberapa lama, sang induk ayam mati. Telur yang besar itu milik Christ Schauerman.  Peternak asal Honeyyoye , Newyork ini tertegun ketika menemukan telur raksasa ini. Ia menemukannya di antara tumpukan jerami. Ketika ia timbang berat telur mencapai 138 gram. Padahal biasanya sebuah telur hanya memiliki berat antara 35 gram sampai 77 gram.
Tapi kebahagiaan tidak dirasakan lama oleh Schauerman. Selang beberapa jam, ayam yang berhasil memberikan telur raksasa itu mati. “Aku sudah berusaha menolongnya. Aku menyentuhnya dan membelainya. Tapi apa daya ia tidak bisa lagi menegakan kepalanya, sampai akhirnya ia jatuh ke tanah” cerita Schauerman.
Wahai kawan! Itu kisah telur burung, ayamkah atau elangkah. Bagaimana kalau yang kita lemparkan itu telur sebenar telur kepada wakil rakyat kita? Entahlah wahai Fulan! ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar