(TULISAN INI DISEBARLUASKAN HARIAN VOKAL, 11 JANUARI 2011).
Tuan!
Kadis Bina Marga dan Pengairan Kabupaten Kampar, Azmi lagi marah.
Emosinya meledak karena borok dinasti pengawai negeri yang dibangun di
dinas yang dipimpinnya diberitakan. Emosinya tak terkendali ketika
perangainya diketahui publik.
Wahai Tuan! Jangan kau bius
akalmu. Kata Said Hawa, dalam buku Mensucikan Jiwa, marah adalah bius
akal. Ketika akal manusia terbius, setan mempermainkannya seperti anak
kecil mempermainkan bola. Hati sebagai benteng. Untuk menjaga benteng
tersebut dari serangan musuh, pintu-pintunya harus disiaga satukan. Satu
di antara pintunya adalah marah.
Marah merupakan ekspresi gejolak
jiwa, tetapi inilah marah yang dibolehkan; yaitu ketika melihat hukum
Allah dilanggar atau tatkala hal-hal yang diharamkan telah membudaya di
masyarakat. Rasulullah tidak pernah marah untak kepentingan pribadi atau
keluarganya, kecuali hanya diarahkan jika hak-hak Allah diabaikan.
Diceritakan apabila Rasulullah dihadapkan pada dua pilihan, maka ia akan
memilih yang lebih mudah, selama hal tersebut tidak mengandung unsur
dosa. Seandainya hal tersebut mengandung dosa, maka Rasulullah
menjauhinya. Demi Allah! Ia tidak pernah marah ataupun balas dendam
hanya karena kepentingan dirinya, kecuali apabila ia melihat hal-hal
yang diharamkan.
Di lain riwayat dikisahkan; ketika dua orang
bertentangan di hadapan Nabi dan seorang di antaranya marah sehingga
wajahnya berubah merah. Nabi berkata, “Aku tidak mengetahui sebuah kata
yang dapat meredam amarah, kecuali jika ia berucap A'udzu billahi minasy
syaithanir rajim. Orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu berkata
kepada keduanya 'apakah kalian tidak mendengar apa yang dikatakan Nabi!'
Salah seorang mereka menjawab, 'Aku ini tidak gila,' dan merekapun
pergi."
Nasihat yang disampaikan Nabi di atas tak lain
agar keduanya segera mohon perlindungan Allah - dari setan -, sebab
setanlah yang menyulut api amarah di dalam hati mereka. Tetapi, seorang
di antaranya mengabaikan nasihat tersebut disebabkan api amarahnya.
Marah
adalah sikap yang tidak mengandung kebaikan sedikit pun, kecuali marah
karena Allah. Sebaliknya, sikap tersebut akan melahirkan berbagai hal
negatif. Bahkan tak jarang seseorang karena marahnya, tak segan
melanggar hak-hak orang lain, bahkan memutuskan tali persaudaraan.
Seharusnya orang bersikap lemah lembut dan menahan emosi serta pemaaf.
Nabi
bersabda, 'Apabila seorang di antara kalian marah dalam keadaan
berdiri, maka anjurkan dia untuk duduk, dan jika hal itu belum juga
membuat reda marahnya, anjurkan untuk berbaring." (HR. Ahmad dan Abu
Daud). Karena orang yang dalam keadaan berdiri lebih cepat marah
ketimbang pada saat ia sedang duduk. Begitu pula halnya dengan kondisi
berbaring.
Ups...Fulan tersadar. “Aku bukan ustaz, lantas apa pula
kapasitas saya berceramah pada kadis itu,” kata Fulan sembari menutup
lembaran hadist yang dibacanya. ***
Bagus tulisannya di tunggu karya lainnya :D
BalasHapus