Selasa, 12 Juni 2012

Eloknya Percaya pada Anjing

(TULISAN INI DISEBARLUASKAN HARIAN VOKAL, 28 DESEMBER 2010)
Ini sebuah dinasti pegawai negeri. Sebuah sistem pemerintahan yang dibangun di atas hubungan pertalian darah dan kekerabatan. Maksudnya tak lain tak bukan, agar semua uang berputar di lingkaran keluarga dan rahasia tak penyelewengan tak menguap keluar.
Itulah yang terjadi di Dinas Bina Marga dan Pengairan Kabupaten Kampar. Nyaris semua yang duduk di posisi strategis punya hubungan dengan kepala dinas setempat. Kalau bukan adiknya, ya abangnya lah. Begitu seterusnya. Mungkin falsafahnya sederhana, mengatur saudara lebih mudah ketimbang mengatur orang lain. Mempercayakan penyimpanan rahasia lebih merasa yakin kepada famili, ketimbang orang lain yang tak ada hubungannya dengan kita.
Tapi jangan heran Tuan, banyak orang tak lagi percaya benar sama manusia, kendati itu saudara kandung. Mereka lebih percaya pada anjing. Anjing lebih setia dari cucu Adam. Tersebutlah sebuah kisah seekor anjing bernama Hachiko. Kisah Hachiko sendiri sudah cukup lama. Dia lahir di tahun 1923 di sebuah perfektur bernama Akita. Lalu seorang profesor bernama Hidesaburo Ueno yang saat itu berusia 53 tahun memeliharanya. Di rumah keluarga Ueno yang berdekatan dengan Stasiun Shibuya inilah kisah Hachiko dimulai.
Saat Hachi mulai tumbuh besar sudah menjadi kebiasaan ketika Profesor Ueno berangkat bekerja, Hachi selalu mengantar kepergian tuannya hingga ke depan pintu Stasiun Shibuya. Di petang hari saat jam pulang kerja, Hachi kembali datang ke stasiun untuk menjemput dan menunggu kedatangan Profesor Ueno. Hal ini terjadi berulang-ulang setiap hari.
Pada 21 Mei 1925, seusai mengikuti rapat di kampus, Profesor Ueno mendadak meninggal dunia. Tetapi Hachi masih tidak mengerti kalau Profesor Ueno sudah meninggal. Setiap hari, sekitar jam kepulangan Profesor Ueno, Hachi terlihat duduk menunggu kepulangan majikannya di depan pintu Stasiun Shibuya. Tubuhnya pun mulai menjadi kurus dan tidak terurus. Beberapa kerabat Profesor Ueno beberapa kali menjemput dan mengambilnya, tetapi Hachi selalu kembali lagi ke Stasiun Shibuya menunggu kedatangan tuannya.

Pada tahun 1932, kisah Hachi menunggu majikan di stasiun mengundang perhatian Hirokichi Saito dari Asosiasi Pelestarian Anjing Jepang. Prihatin atas perlakuan kasar yang sering dialami Hachi di stasiun, Saito menulis kisah sedih tentang Hachi. Artikel tersebut dikirimkannya ke harian Tokyo Asahi Shimbun, dan dimuat dengan judul Itoshiya roken monogatari (“Kisah Anjing Tua yang Tercinta”). Publik Jepang akhirnya mengetahui tentang kesetiaan Hachi yang terus menunggu kepulangan majikan. Setelah Hachi menjadi terkenal, pegawai stasiun, pedagang, dan orang-orang di sekitar Stasiun Shibuya mulai menyayanginya. Sejak itu pula, akhiran “ko” (“sayang”) ditambahkan di belakang nama Hachi, dan orang memanggilnya “Hachiko”.
Sekitar tahun 1933, kenalan Saito, seorang pematung bernama Teru Ando tersentuh dengan kisah Hachiko. Ia ingin membuat patung untuk Hachiko. Patung perunggu Hachiko selesai dibuat dan diresmikan tahun 1934, diletakkan di depan Stasiun Shibuya
Selama 9 tahun lebih, setiap hari Hachiko muncul di stasiun Shibuya pada pukul 3 sore, saat dimana dia biasa menunggu kepulangan tuannya. Namun hari-hari itu adalah saat dirinya kecewa karena tuannya tidak kunjung datang. Sampai pada suatu pagi tanggal 8 Maret 1935, Hachiko, 13 tahun, ditemukan sudah tidak bernyawa di jalan dekat Jembatan Inari, Sungai Shibuya. Tempat tersebut berada di sisi lain Stasiun Shibuya dimana Hachiko biasanya tidak pernah pergi ke sana. Hachiko sudah mati. Kesetiaannya kepada sang tuannya pun terbawa sampai mati.
Warga yang mendengar kematian Hachiko segera berduyun-duyun ke stasiun Shibuya. Mereka umumnya sudah tahu cerita tentang kesetiaan anjing itu. Mereka ingin menghormati untuk yang terakhir kalinya. Upacara perpisahan dengan Hachiko dihadiri orang banyak di Stasiun Shibuya, termasuk janda almarhum Profesor Ueno, kerabat dekat, dan penduduk setempat. Biksu dari Myoyu-ji diundang untuk membacakan sutra. Upacara pemakaman Hachiko berlangsung seperti layaknya upacara pemakaman manusia. Hachiko dimakamkan di samping makam Profesor Ueno di Pemakaman Aoyama. Bagian luar tubuh Hachiko di offset, dan hingga kini dipamerkan di Museum of Nature and Science Tokyo.
“Pertanyaannya,” kata Fulan, “Adakah di antara anggota dinasti pegawai negeri di sana yang setianya tak kurang dari Hachiko?” Entahlah Tuan! ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar