(TULISAN INI MENGHIASI HALAMAN 2 HARIAN PAGI VOKAL) Ini
hari pernikahan kawan yang ke seperempat abad. Sang kawan merayakan
dengan sangat sederhana. Ada 25 anak yatim dan fakir maskin yang ikut
hadir acara yang diformat dalam bentuk syukuran.
Lazimnya perayaan
sebelumnya, sepasang suami istri selalu menyugukan kelapa muda berwarna
hijau. Sesungguhnya sejarah pertalian hati mereka diikat dengan buah
itu. Ketika susah, mereka hanya minum dan makan buah kelapa. Sehingga
tidak heran ada kenangan mendalam. Setiap waktu bertepatan dengan hari
ijab kabul, mereka selalu meminum dan makan buah kelapa muda.
23
kali sudah tradisi itu dilaksanakan. Namun untuk yang ke-24 kali ini,
suasana jadi lain. Sepasang suami istri berebut sembari tertawa. Mereka
berlomba mengambil bagian-bagian tertentu. Anak-anak yang malang secara
ekonomi itu pun ikut tertawa.
“Ayah! 25 tahun sudah kita hidup
bersama. Pada masa susah kita saling menguatkan dan berbagi dengan
gembira. Sungguh bahagia bersamamu! Hari ini kita lebih bahagia lagi,
lantaran ada 25 anak yatim di sekeliling kita. Semoga doa mereka menjadi
lem perekat keabadian cinta ini. Terima kasih anak-anak,” kata sang
istri.
Kalimat itu disambut dengan suara gemuruh; “Amien…….,”
sahut mereka. Suara itu membuat Fulan terbangun. “Mimpi rupanya aku.
Hmm…kenapa mimpi begini ya,” tanya Fulan dalam hati.
Sadar punya
sadar, rupanya dia baru baca cerita soal sepasang suami istri. Kisah
yang mengelikan; mungkin itu penyebab bunga tidur. Di sebuah gedung
pertemuan yang amat megah, seorang pejabat senior istana sedang
menyelenggarakan pesta ulang tahun perkawinannya yang ke-50. Peringatan
kawin emas itu ramai didatangi oleh tamu-tamu penting seperti para
bangsawan, pejabat istana, pedagang besar serta seniman-seniman
terpandang dari seluruh pelosok negeri. Bahkan kerabat serta kolega dari
kerajaan-kerajaan tetangga juga hadir. Pesta ulang tahun perkawinan pun
berlangsung dengan megah dan sangat meriah.
Setelah berbagai
macam hiburan ditampilkan, sampailah pada puncak acara, yaitu jamuan
makan malam yang sangat mewah. Sebelum menikmati jamuan tersebut,
seluruh hadirin mengikuti prosesi penyerahan hidangan istimewa dari sang
pejabat istana kepada istri tercinta. Hidangan itu tak lain adalah
sepotong ikan emas yang diletakkan di sebuah piring besar yang mahal.
Ikan emas itu dimasak langsung oleh koki kerajaan yang sangat terkenal.
“Hadirin
sekalian, ikan emas ini bukanlah ikan yang mahal. Tetapi, inilah ikan
kegemaran kami berdua, sejak kami menikah dan masih belum punya apa-apa,
sampai kemudian di usia perkawinan kami yang ke-50 serta dengan segala
keberhasilan ini. Ikan emas ini tetap menjadi simbol kedekatan,
kemesraan, kehangatan, dan cinta kasih kami yang abadi,” kata sang
pejabat senior dalam pidato singkatnya.
Lalu, tibalah detik-detik
yang istimewa yang mana seluruh hadirin tampak khidmat menyimak prosesi
tersebut. Pejabat senior istana mengambil piring, lalu memotong bagian
kepala dan ekor ikan emas. Dengan senyum mesra dan penuh kelembutan, ia
berikan piring berisikan potongan kepala dan ekor ikan emas tadi kepada
isterinya. Ketika tangan sang isteri menerima piring itu, serentak
hadirin bertepuk tangan dengan meriah sekali. Untuk beberapa saat,
mereka tampak ikut terbawa oleh suasana romantis, penuh kebahagiaan, dan
mengharukan tersebut.
Namun suasana tiba-tiba jadi hening dan
senyap. Samar-samar terdengar isak tangis si isteri pejabat senior.
Sesaat kemudian, isak tangis itu meledak dan memecah kesunyian gedung
pesta. Para tamu yang ikut tertawa bahagia mendadak jadi diam menunggu
apa gerangan yang bakal terjadi. Sang pejabat tampak kikuk dan
kebingungan. Lalu ia mendekati isterinya dan bertanya, “Mengapa engkau
menangis, isteriku?”
Setelah tangisan reda, sang isteri
menjelaskan, “Suamiku…sudah 50 tahun usia pernikahan kita. Selama itu,
aku telah dengan melayani dalam duka dan suka tanpa pernah mengeluh.
Demi kasihku kepadamu, aku telah rela selalu makan kepala dan ekor ikan
emas selama 50 tahun ini. Tapi sungguh tak kusangka, di hari istimewa
ini engkau masih saja memberiku bagian yang sama. Ketahuilah suamiku,
itulah bagian yang paling tidak aku sukai.” tutur sang isteri.
Pejabat
senior terdiam dan terpana sesaat. Lalu dengan mata berkaca-kaca pula,
ia berkata kepada isterinya, “Isteriku yang tercinta…50 tahun yang lalu
saat aku masih miskin, kau bersedia menjadi isteriku. Aku
sungguh-sungguh bahagia dan sangat mencintaimu. Sejak itu aku bersumpah
pada diriku sendiri, bahwa seumur hidup aku akan bekerja keras,
membahagiakanmu, membalas cinta kasih dan pengorbananmu.”
Sambil
mengusap air matanya, pejabat senior itu melanjutkan, “Demi Tuhan,
setiap makan ikan emas, bagian yang paling aku sukai adalah kepala dan
ekornya. Tapi sejak kita menikah, aku rela menyantap bagian tubuh ikan
emas itu. Semua kulakukan demi sumpahku untuk memberikan yang paling
berharga buatmu.”
Sang pejabat terdiam sejenak, lalu ia
melanjutkan lagi, “Walaupun telah hidup bersama selama 50 tahun dan
selalu saling mencintai, ternyata kita tidak cukup saling memahami.
Maafkan saya, hingga detik ini belum tahu bagaimana cara membuatmu
bahagia.”
Akhirnya, sang pejabat memeluk isterinya dengan erat.
Tamu-tamu terhormat pun tersentuh hatinya melihat keharuan tadi dan
mereka kemudian bersulang untuk menghormati kedua pasangan tersebut. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar