Rabu, 13 Juni 2012

Anak Katak Jelang Hujan Turun

(TULISAN INI MENGHIASI HALAMAN 2 HARIAN PAGI VOKAL)
Petaka politik yang mendera Partai Demokrat sungguh membuat mata banyak orang terbelalak. Partai baru, tapi sudah jadi pemenang. Lalu tersandung masalah bertubi-tubi. Sakit kepala petinggi lembaga demokrasi itu dibuatnya.
Ada yang mengatakan, Partai Demokrat di ambang kehancuran. Baru berada di puncak, sepertinya langsung pula terjungkal. Cepat naik, tak lambat pula turunnya. Itulah siklus kehidupan. Masak karbit, rasanya tak enak. Tak lama matangnya, tak memakan waktu pula untuk busuk. Proses cepat, kadaluarsanya cepat juga.
Namun itu satu persepsi. Ada persepsi lain. Pandangan itu datang dari seorang jamaah surau di Kota Dumai. Ketika mengamati masalah yang melanda partai asuhan SBY itu, iya mengibaratkan Ruhut Sitompul dan Ramadhan Pohan serta kawan-kawan yang gusar itu seperti anak katak menjelang hujan turun.
Takut dan ketakutan dengan waktu yang akan datang. Menyuruk dengan berbagai opini yang macam-macam. Perhatikanlah anak katak yang mengalami kegundahan ketika langit tiba-tiba gelap. "Bu, apa kita akan binasa. Kenapa langit tiba-tiba gelap?" ucap anak katak sambil merangkul erat lengan induknya.
Sang ibu menyambut rangkulan itu dengan belaian lembut. "Anakku," ucap sang induk kemudian. "Itu bukan pertanda kebinasaan kita.
Justru, itu tanda baik," jelas induk katak sambil terus membelai. Dan anak katak itu pun mulai tenang.
Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. Tiba-tiba angin bertiup kencang. Daun dan tangkai kering yang berserakan mulai berterbangan. Pepohonan meliuk-liuk dipermainkan angin. Lagi-lagi, suatu pemandangan menakutkan buat si katak kecil. "Ibu, itu apa lagi? Apa itu yang kita tunggu-tunggu? " Tanya si anak katak sambil bersembunyi di balik tubuh induknya.
"Anakku. Itu cuma angin," ucap sang induk tak terpengaruh keadaan. "Itu juga pertanda kalau yang kita tunggu pasti datang!" tambahnya begitu menenangkan. Dan anak katak itu pun mulai tenang. Ia mulai menikmati tiupan angin kencang yang tampak menakutkan.
"Blarrr!!!" suara petir menyambar-nyambar. Kilatan cahaya putih pun kian
menjadikan suasana begitu menakutkan. Kali ini, si anak katak tak lagi bisa bilang apa-apa. Ia bukan saja merangkul dan sembunyi di balik tubuh induknya. Tapi juga gemetar. "Buuu, aku sangat takut. Takut sekali!" ucapnya sambil terus memejamkan mata.
"Sabar, anakku!" ucapnya sambil terus membelai. "Itu cuma petir. Itu tanda ketiga kalau yang kita tunggu tak lama lagi datang! Keluarlah.
Pandangi tanda-tanda yang tampak menakutkan itu. Bersyukurlah, karena hujan tak lama lagi datang," ungkap sang induk katak begitu tenang. Anak katak itu mulai keluar dari balik tubuh induknya. Ia mencoba mendongak, memandangi langit yang hitam, angin yang meliuk-liukkan dahan, dan sambaran petir yang begitu menyilaukan. Tiba-tiba, ia berteriak kencang, "Ibu, hujan datang. Hujan datang! Horeeee!"
Lantas Fulan bertanya; “Apakah iktibar itu pas untuk kondisi Demokrat?”
“Jelas tepat sekali. Malah siklusnya sudah berulang-ulang layaknya hujan turun dari langit yang berkali-kali ke bumi,” jawab sang kawan.
Kalau memang iya, betapa bijaknya sang induk katak yang memberi kenyamanan, ketegaran dan visi ke anaknya. Lalu bagaimana dengan petinggi Demokrat? Apakah malah menyiramkan bensin pada api yang berkobar atau menambah rasa takut pada tubuh yang mengigil?
Di tengah merenungkan semua itu, Fulan teringat dengan perkataan bijak seseorang; anugerah hidup kadang tampil melalui rute yang tidak diinginkan. Ia tidak datang diiringi dengan tiupan seruling merdu. Tidak diantar oleh dayang-dayang nan rupawan. Tidak disegarkan dengan wewangian harum. Saat itulah, tidak sedikit manusia yang akhirnya dipermainkan keadaan. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar