Rabu, 13 Juni 2012

Polisi di Pintu Pelantikan Bupati

(TULISAN INI MENGHIASI HALAMAN 2 HARIAN PAGI VOKAL)
Fulan terkejut tatkala pintu belakang kantor DPRD Siak ditutup aparat polisi. Undangan dan masyarakat tidak boleh masuk ke lokasi pelantikan Bupati Siak, Syamsuar.  Yang datang di atas pukul 09.00 WIB, harus lewat pintu depan. Walau mobil diparkir jauh, harus berjalan kaki. Biar berjarak 300 meter, sepertinya tidak dipertimbangkan.
Yang namanya polisi, perintah tutup ya tutup. Tak ada pertimbangan lain-lain. Inilah pangkal balanya. Seorang tokoh masyarakat Riau dari Kota Pekanbaru, pun tidak dibolehkan masuk. Kendati undangan di tangan sebagai karcis masuk, tetap tidak dibolehkan lewat. Marah sang tokoh! “Kalian jangan kaku menjalankan perintah! Masa orang tidak boleh masuk di sini. Kalau tidak boleh, ya tutup saja sedari pagi!” katanya.
Lantas seorang anggota polisi berkemeja putih menjawab; “Kami di sini menjalankan tugas! Bapak-bapak jangan begitu sama kami,” katanya.
Sontak jawaban itu mendapat tanggapan keras. “Kami juga menjalankan tugas datang  ke sini. Kamu aparat, jangan bicara seperti itu,” balasnya dengan nada tinggi. Belum hilangan gema emosi suara itu, seorang teman sang tokoh marah pula. “Siapa kamu hoi…! Bicara tak sopan!” katanya.

Sang pria berkemeja putih lalu diam sembari menunduk. Lalu datang polisi agak senior.  “Sabar Pak! Kami hanya menjalankan tugas. Namun demikian, kami lapor dulu sama atasan!” katanya. Usai itu, suasana baru agak tenang. Pintu masuk ya pintu masuk wahai Fulan! Kalau sekiranya tidak bisa lewat, alamat malang diri kita. Itulah yang terjadi dengan seorang tokoh sufi besar, Ibrahim bin Adham. Beliau mencoba untuk memasuki sebuah tempat pemandian umum. Penjaganya meminta uang untuk membayar karcis masuk. Ibrahim menggeleng dan mengaku bahwa ia tak punya uang untuk membeli karcis masuk.
Penjaga pemandian lalu berkata, “Jika engkau tidak punya uang, engkau tak boleh masuk.”
Ibrahim seketika menjerit dan tersungkur ke atas tanah. Dari mulutnya terdengar ratapan-ratapan kesedihan.  Para pejalan yang lewat berhenti dan berusaha menghiburnya. Seseorang bahkan menawarinya uang agar ia dapat masuk ke tempat pemandian.
Ibrahim menjawab, “Aku menangis bukan karena ditolak masuk ke tempat pemandian ini.” Ketika si penjaga meminta ongkos untuk membayar karcis masuk, aku langsung teringat pada sesuatu yang membuatku menangis. Jika aku tak diizinkan masuk ke pemandian dunia ini kecuali jika aku membayar tiket masuknya, harapan apa yang boleh kumiliki agar diizinkan memasuki surga? Apa yang akan terjadi padaku jika mereka menuntut: Amal salih apa yang telah kau bawa? Apa yang telah kau kerjakan yang cukup berharga untuk boleh dimasukkan ke surga? Sama ketika aku diusir dari pemandian karena tak mampu membayar, aku tentu tak akan diperbolehkan memasuki surga jika aku tak mempunyai amal saleh apa pun. Itulah sebabnya aku menangis dan meratap.”
Dan orang-orang di sekitarnya yang mendengar ucapan itu langsung terjatuh dan menangis bersama Ibrahim.
Dua kejadian dengan dua respon yang tidak sama. Kejadian pertama ada emosi meledak dan yang terakhir ada perenungan mendalam. Yang pertama ada amarah yang bekerja di diri. Manakala mesin amarah sudah hidup, bisa-bisa martabat nafsu yang paling rendah dan kotor di sisi Allah. Segala yang lahir darinya adalah tindakan kejahatan yang penuh dengan perlakuan kejahatan/keburukan. Pada tahap ini hati nurani tidak akan mampu untuk memancarkan sinarnya kerana hijab-hijab dosa yang melekat tebal, lapisan lampu makrifat benar-benar terkunci. Dan tidak ada usaha untuk mencari jalan menyucikannya.
Manusia pada peringakat nafsu amarah ini bergembira bila menerima nikmat tetapi berdukacita dan mengeluh bila tertimpa kesusahan. Peristiwa yang dialami tokoh sufi adalah cerminan betapa hati berfungsi maksimal. Hati dekat Sang Pecipta.
Jika demikian, manakala lewat pintu masuk suatu tempat atau bangunan, apa respon emosi Anda? Jika ada yang bergejolak, Anda sendiri yang tahu apa kadarnya! ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar