(TULISAN INI DIPUBLIKASI HARIAN VOKAL, 1 FEBRUARI 2011)
Ini
drama kemarahan wakil rakyat. Lantaran 19 anggota DPR dibui KPK,
pemilik otoritas Senayan bermuka masam. Mereka marah dan tidak terima
kawan-kawan seperjuangan di jalan pencari kekuasaan ditahan.
Sampai-sampai kedatangan petinggi lembaga pemberantas korupsi ke gedung
wakil rakyat ditolak.
Minta ampun wahai Fulan! Sungguh ini
sepertinya sebuah negara yang dihuni oleh anak bangsa yang pemarah.
Sedikit-sedikit marah, tapi marahnya tidak sedikit. Pemimpinnya
emosional, rakyatnya jangan disebut lagi.
Kata orang, sedikit
kritik, marah. Terindikasi mencurigakan, marah. Ditanya hal-hal yang
agak menyinggung dirinya, marah. Keluarganya tersindir, marah. Marahlah
yang menggerakkan mereka datang.
Perhatikan saja manakala mereka
sidang paripurna! Belum selesai seorang bicara, sudah diinterupsi. Belum
tuntas duduk satu perkara, sudah dibantah. Kejadian jadi ramai, ribut,
kacau. Suara saling bersahutan riuh rendah, entah siapa yang mau
didengar. Seperti Cina karam. Semua pada berteriak tak berketentuan.
Ada
kisah tentang seorang raja, yang konon tidak bisa marah. Ia adalah
Yudistira, atau Puntadewa, sulung lima bersaudara Pendawa. Hanya Prabu
Yudistira yang konon tidak bisa marah. Yudistira, Raja Amarta dalam
kisah Mahabarata itu, walaupun istrinya diambil orang juga tidak marah.
Menyangkut urusan pribadinya Yudistira tidak pernah marah. Ia marah
ketika seseorang mengambil jimatnya Kalimasada. Mengapa? Karena dengan
diambil, ia akan kehilangan keyakinan dan akidahnya. Negaranya pun bakal
gonjang ganjing, kacau balau, sehingga rakyat akan menderita. Karena
itu ia marah. Tetapi sejauh menyangkut pribadinya, ia tidak akan marah.
Tetapi
Tuan, menurut sebuah referensi, kemarahan adalah sebuah bentuk nafsu.
Nafsu adalah kekuatan yang tidak pernah netral, karena ia hanya
mempunyai dua arah gerak; yaitu bila ia tidak memuliakan, pasti ia
menghinakan.
Nafsu juga bersifat dinamis, karena ia menolak untuk
berlaku tenang bila Anda merasa tenang. Ia akan selalu memperbaruhi
kekuatannya untuk membuat Anda memperbaruhi kemapanan Anda.
Maka
perhatikanlah ini dengan cermat; bila Anda berpikir dengan jernih dalam
memilih tindakan dan cara bertindak dalam kemarahan, nafsu itu akan
menjadi kekuatan Anda untuk meninggalkan
Dan bila nafsunya telah menjadikannya seorang yang tidak bisa direndahkan lagi, dia disebut sebagai budak nafsu.
Kualitas reaksi Anda terhadap yang membuat Anda marah, adalah penentu kelas Anda.
Kebijakan
para pendahulu kita telah menggariskan bahwa untuk menjadi marah itu
mudah, dan patut bagi semua orang. Tetapi, untuk bisa marah kepada orang
yang tepat, karena sebab yang tepat, untuk tujuan yang tepat, pada
tingkat kemarahan yang tepat, dan dengan cara yang tepat, itu tidak
untuk orang-orang kecil.
Kita sering merasa marah karena orang
lain berlaku persis seperti kita. Perhatikanlah, bahwa orang tua yang
sering marah kepada anak-anaknya yang bertengkar adalah orang tua yang
juga sering bertengkar dengan pasangannya.
Dan dengannya, bukankah
kemarahan Anda juga penunjuk jalan bagi Anda untuk menemukan
perilaku-perilaku baik yang sudah Anda tuntut dari orang lain,tetapi
yang masih belum Anda lakukan? Lalu, mengapakah Anda berlama-lama dalam
kemarahan yang sebetulnya adalah tanda yang nyata bahwa Anda belum
memperbaiki diri?
Bila Anda seorang pemimpin, dan Anda telah
menerima tugas untuk meninggikan orang lain; maka tidak ada badai,
gempa, atau air bah yang bisa membuat Anda mengurangi nilai Anda bagi
kepantasan untuk mengemban tugas itu.
Karena, orang-orang besar
akan sangat berhati-hati dengan perasaan hormat Anda kepada diri Anda
sendiri. Bila mereka marah pun kepada Anda, mereka akan berlaku dengan
cara-cara yang mengundang Anda untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
Sedangkan
orang kecil? Orang-orang kecil membuat orang lain merasa kecil agar
mereka bisa merasa besar. Anda mengetahui kebesaran yang dijanjikan
untuk Anda. Maka besarkanlah orang lain. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar