Selasa, 12 Juni 2012

Ketika Anak Pemimpin Bersalah Tuan!

(TULISAN INI DISEBARLUASKAN HARIAN VOKAL, 8 DESEMBER 2010)
Sekira lebih 600 tahun lalu, seorang filsuf Yunani bernama Anacharsis pernah berkata; “hukum seperti jaring laba-laba, terlalu kuat bagi si lemah dan terlalu rapuh bagi si kuat”.
Beberapa hari yang lewat, seorang perempuan mencuri karet seberat 10 kilogram di Kabupaten Inhu. Sedihnya lagi, sang pencuri hamil tua pula. Alamat dia masuk penjara. Tak lama di balik jeruji besi, dia melahirkan. Usai bersalin, kembali lagi ke penjara. Saat itulah sang bapak dari bayi yang baru lahir datang. Air mata menetes. Luluh perasaannya mendapatkan kenyataan yang amat pahit itu.
Inilah republik kita Fulan! Rakyat jelata yang tersandung kasus hukum, cepat-cepat dijebloskan. Barangkali inilah seni picisan aparat untuk menunjukan ke orang banyak, kalau mereka masih bekerja.
Panjang urusannya kalau tetek bengek hukum dibahas. Namun ada yang menyentuh relung perasaan, yaitu air mata dan tangis. Tersebutlah  suatu  hari ada seorang kepala suku yang sangat dihormati rakyatnya. Bukan hanya karena keperkasaan fisiknya, namun juga karena ketegasannya dalam menegakkan hukum.  Aman dan tenteramlah kehidupan suku tersebut.
Namun tiba-tiba, seorang warga sukun melaporkan bahwa seekor hewan ternaknya telah hilang dicuri orang. Kemudian, setelah mendengar berita itu kepala suku mengumpulkan rakyatnya dan berkata lantang; “Hukum harus ditegakkan! .Barang siapa yang mencuri di suku kita akan dihukum dua puluh lima kali cambuk.”
Keesokan harinya, ada lagi yang melapor. Kasusnya masih sama. Geram sang kepala suku dibuatnya dan lantas menaikkan hukuman sampai lima puluh kali cambuk. Kejadian itu terus terjadi hingga tiga kali. Tak tanggung-tanggung, kepala suku menaikkan hukuman hingga seratus kali cambuk.
Hari berikutnya, kepala suku melihat warganya sedang berkerumun di depan rumah warga. “Ada apa ini? Kenapa mereka semua berkerumun seperti itu? tanya kepala suku.
“Seorang pencuri sedang dihakimi massa. Dengar-dengar katanya yang dihakimi itu adalah pencuri yang mencuri hewan-hewan ternak di suku kita ini,” jawab seorang warga.
 “Cepat antar aku ke sana!” perintah kepala suku.
Sesaat kepala suku tiba di tempat,  warga sedang menghajar sang pencuri. “Berhenti…berhenti. Kalian tidak boleh main hakim sendiri,” teriak kepala suku.
Tatkala kerumunan massa mulai minggir, kepala suku bukan main terkejutnya. Pencuri itu putranya sendiri. “Tidak mungkin…tidak mungkin,” teriaknya.
Kepala suku tengah mengalami dilema. Seperti makan buah simalakama. Apa yang harus ia pilih. Apakah harus membela anaknya dan membatalkan semua hukuman ataukah malah sebaliknya. Tapi,hukum harus tetap ditegakkan. Akhirnya kepala suku merelakan putranya dihukum.
Tibalah masa eksekusi. Putra kepala suku diikat di tiang dengan mata tertutup sehelai kain. Algojo telah bersiap-siap dengan cambuk dan mengambil tempat tepat di samping sang terhukum. Algojo mengangkat tinggi-tinggi cambuknya sambil menunggu aba-aba kepala suku. Namun,bukan aba-aba yang didengar, melainkan teriakan.  “Tunggu!”
Sembari itu terlihat kepala suku menuju ke tempat putranya.  Dia melepas baju kebesarannya dan menutupi seluruh tubuh anaknya. “Jangan cambuk anakku. Lebih baik cambuklah aku!”
Karena itu perintah, akhirnya algojo pun mencambuk kepala suku. Setiap kali ia dicambuk, ia berkata; “Ayah sayang kepadamu nak! .Ayah tidak akan membiarka seorangpun menyakitimu.”
Melihat peristiwa itu, semua orang yang ada di tempat itu terharu. Bahkan isteri dan putranya juga menangis.
Hebat sang ayah itu wahai Fulan. Luar biasa sosok pemimpin sekelas kepala suku tersebut. Tapi di negeri kita luar biasa lagi kasih sayang seorang pemimpin. Kata orang Minang, tiba di mata dipicingkan dan tiba di perut dikempeskan.  Siapa mau anaknya dipenjara? Ha…ha…ha… Fulan oh Fulan! ***



Tidak ada komentar:

Posting Komentar