Rabu, 13 Juni 2012

Nelangsa di Istana Perasaan

(TULISAN INI DISEBARLUASKAN HARIAN VOKAL, 18 JANUARI 2011)
Fulan bicara perasaan. Ada lelaki tersungkur nelangsa di istana asmara. Jika saja di hatinya tak punya kiblat, mungkin dia tersesat memikul beban perasaian. Jika kata sudah bersimpang, alamat hati tak tenang. Manakala kisah tidak seayun selangkah, eloknya jarum jam berhenti berdetak.
Begitu yang dialami teman Fulan. Berat, dalam menungnya dan tak ada yang dipikirkan lagi. Hatinya kosong melompong. Berpulang pada Fulan, dia sadar benar. Mendapatkan teman seperti ini, membacakan kisah adalah obat mujarab. Di tengah menung sang teman, Fulan membaca kisah cinta sufi dengan keras.
Wahai kawan! Engkau yang punya istana cinta. Tersebutlah seorang sufi wanita yang cantik jelita. Saking cantiknya, banyak pemuda yang jatuh hati pada. Namun tak ada satu pemuda pun yang mampu menaklukkan hati sang sufi.  Suatu ketika seorang pemuda nekat mengungkapkan isi hatinya.
“Duhai Adinda yang cantik jelita! Mengapa engkau biarkan hati ini merana karena gelora asmara yang tak kau pedulikan. Tega nian engkau permata hatiku,” ungkap sang Pemuda.
Setelah sekian lama membisu, akhirnya sang sufi menjawab. “Kakanda! Apakah gerangan yang membuat kanda jatuh hati padaku, hingga menggangguku untuk menemukan cinta sejatiku?”
Dengan sedikit ngegombal si pemuda merayu. “Dinda tatapan mata indahmu membuat tak berdaya semua pria, hidungmu yang mancung membuat khayalku melayang entah dimana.”
“Ohh… itukah yang membuatmu jatuh hati?” tanya si sufi jelita.
“Betul dinda. Itulah yang menjadikan hati ini bergelora,” seloroh pemuda yang tiada henti menggombal.
Lantas sufi mengambil sebuah pisau. Tanpa ragu-ragu mencongkel kedua matanya dan menggiris hidung mancungnya. Usai itu memberikannya pada pemuda tadi. Pemuda terpana tanpa mampu berkata-kata. Lalu berlalu dengan kebingungan.
Baru saja cerita disampaikan, teman Fulan tersentak. Dia sadar dan mafhum, kalau dirinya nyaris tersesat di jalan asmara. Pikirannya hampir buntu lantaran perkara asmara. “Hmmm…cinta!” katanya.
Kemudian Fulan membaca beberapa kalimat dari buku “Suci Hati Bersama Nabi” karya Abu Umar Basyir. Hati itu ibarat Istana sebuah keindahan yang tak nampak, sebuah keagungan yang tak terlihat, namun bisa dirasakan akan tetapi apabila hati sudah ternoda dosa gelembung pahitnya tercicipi setiap insan, ibarat santapan di sebuah pesta hidangan.
Meski hati bukanlah Tuhan tapi jangan biarkan hati menjadi sarang-sarang setan. Bergantung hanya kepada hati adalah bualan sufi murahan, namun mengabaikan masalah hati adalah awal dari sebuah kesesatan. Hati bukanlah gudang kebenaran, karena hati hanyalah tempat persinggahan petunjuk yang dipahami melalui ajaran kebenaran. Menuhankan hati adalah kenistaan, namun menutup hati berarti membuka pintu kesombongan.
Hati ibarat lautan yang luas tanpa tepi dan pantai, namun hati bisa sempit dan beku ketika kita membiarkannya tanpa sentuhan ajaran kebenaran.
Lalu teman Fulan berbisik ke hatinya, cinta, hidup dan matiku hanya kupersembahkan kepada kekasihn yang hakiki, yaitu Sang Pencipta Alam Semesta. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar