Rabu, 13 Juni 2012

Guru Pembunuh Mimpi

(TULISAN INI DISEBARLUASKAN HARIAN VOKAL, 6 JANUARI 2011)
Beberapa hari yang lalu terbetik kabar memilukan. Banyak anak desa putus sekolah. Mereka tak lagi duduk di Bangku sekolah. Tapi Tuan, yang lebih menyedihkan lagi adalah kualitas kebanyakan guru kita. Mereka bukan mendidik, tapi mengajar.
Terkadang mereka menjadi pembunuh mimpi anak didik. Sikap mereka tak sungguh tak berwawasan. Sama seperti karakter guru dalam kisah Argo. Anak ini mendapat tugas dari guru untuk membuat cerita mengenai mimpi-mimpi. Lantaran ayahnya seorang pelatih kuda yang miskin dan sangat kekurangan, Argo terobsesi memiliki lokasi pelatihan kuda seluas 400 hektare dan rumah sebesar 400 meter persegi.
Singkat cerita, dalam karangan tadi dia membicarakan tempat pelatihan kuda yang sangat besar. Karena saking seriusnya, tanpa terasa karangan tadi menghabiskan tujuh helai kertas. Paginya ia pun langsung menumpuk tugasnya tersebut.
Usai satu minggu berlalu, akhirnya tugas tersebut dibagikan dan diberikan nilai. Betapa kagetnya Argo karena karangannya mendapatkan nilai F dan ada tulisan yang meminta dirinya menemui sang guru setelah jam pelajaran.
Ketika ditemui,  Argo dimarahi habis-habisan oleh gurunya. Karangannya dinilai tidak masuk akal dan tidak akan tercapai. ”Argo kamu itu sudah gila! Kamu itu hanya anak seorang pelatih kuda dan tak mungkin kamu akan membangun pelatihan kuda sebesar 400 hektare,” kata si guru sembari memberi waktu satu minggu untuk mengganti karangan. Tatkala karangan diganti, nilai pun bisa diganti.
Sesampai di rumah, Argo bertanya pada ayahnya. “Ayah saya memiliki mimpi mengenai membangun pelatihan kuda seluas 400 hektare tapi kata guru saya mimpi itu tak akan pernah tercapai dan hanyalah omong kosong belaka karena saya hanyalah anak seorang yang miskin. Lantas saya disuruh mengganti mimpi saya itu menjadi mimpi yang lain yang sesuai dan masuk akal,” kata Argo.
Si ayah yang bijak mendengarkan dengan seksama. ”Nak mimpimu adalah masa depanmu. Jadi terserah kamu, kamu mau menggantinya atau tidak,“ jawab ayahnya.
Ketika sekolah, Argo tetap membawa karangannya yang dulu yang bercerita tentang pelatihan kuda dan peternakan kuda seluas 400 hektare dan dikumpulkan lagi kepada gurunya namun ada tulisannya “Biarkanlah nilai F tetap terpajang menjadi nilaiku namun inilah impianku tidak akan pernah bisa tergantikan dengan impian yang lainnya.”
Setelah berpuluh puluh tahun berlalu, Argo akhirnya bisa menggapai mimpi. Saat gurunya datang ke tempat pelatihan kudanya, hanya pengakuan jujur yang keluar. “Kamu hebat Nak, maafkan aku bila dulu melarangmu bermimpi seperti ini. Aku salut padamu. Aku hanyalah seorang guru yang hanya bisa merenggut mimpi-mimpi anak sepertimu,” katanya.
Di negeri ini tak sedikit guru yang membunuh mimpi anak-anak. Hmm…berpantaslah begitu, mereka diangkat jadi abdi negara karena sebab bermusabab. Apa sebab-musababnya? “Tak lain tak bukan, KKN Tuan,” kata Fulan.
Mengajar bukan lagi karena dorongan tanggung jawab, tetapi pas untuk dikatakan sebagai pelarian mata pencarian. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar