Rabu, 13 Juni 2012

Diplomat di Negeri Gajah Putih

(TULISAN INI DIPUBLIKASI HARIAN VOKAL, 10 FEBRUARI 2011)
Kata orang, berkat kelihaian diplomasi Menteri Luar Negeri Indonesia, Marty Natalegawa, militer Thailand dan Kamboja berhenti baku tembak. Hebat benar sang menteri merah putih ini Tuan!
Atau memang karakter orang Thailand bermental suka damai. Mungkin iya juga. Pernah mendengar cerita Kadir Wong? Seekor induk gajah, yang memiliki bulu kelabu kehitaman, hidup di sebuah hutan. Ia memiliki seekor anak yang bulunya jauh berbeda dengannya. Bulu anak gajah itu putih mulus. Orang menyebutnya sebagai gajah putih atau bulai. Induk gajah merasa amat bangga, sebab gajah putih amat dipuja dan dihormati di Thailand.
Anak gajah itu tumbuh menjadi gajah dewasa yang tampan. Dia sudah bisa mencari makan sendiri. Induk gajah berpendapat, anaknya adalah gajah istimewa. Sebab, bulunya yang putih mulus amat langka. Maka dia pikir, jika gajah itu tetap berada di hutan, dia akan tetap menjadi seekor gajah biasa. Gajah yang harus bekerja keras untuk memperoleh makanan.
“Tetapi jika ia hidup di kota, maka ia akan mendapat perlakuan istimewa. Orang-orang memuja dan menghormatinya. Dia tidak harus bekerja membanting tulang untuk memperoleh makan. Sebab orang-orang sudah memberinya makanan,” batin induk gajah.
Maka suatu hari induk gajah memanggil anaknya dan berkata,”Nak, kau tak pantas tinggal terus di sini. Tempatmu bukan di hutan. Tetapi di kota. Di sana kau adalah gajah istimewa. Kau tidak perlu membanting tulang. Kau akan mendapat makanan, bahkan dipuja-puja dan disembah- sembah. Sebab kau dipercaya keturunan dewa gajah.”

Gajah putih itu amat santun dan penurut. Maka dia menjawab, “Ya, Mak, seandainya itu yang Emak anggap terbaik bagi saya.”
Induk gajah memberi nasihat agar gajah putih bertabiat sopan, sabar, dan menuruti kata-kata penduduk.
Gajah putih meninggalkan hutan. Tak lama kemudian ia tiba di sebuah desa. Sosoknya menjadi bahan tontonan. Para
penduduk desa keluar untuk menyaksikan hal langka ini. Suasana menjadi amat ribut. “Lihat! Seekor gajah putih memasuki desa kita!”
Sejak itulah gajah putih tinggal di desa. Pada malam hari ia akan pergi tidur di lereng bukit.

Esoknya dia akan berjalan kaki keliling kampung. Mendatangi rumah demi rumah. Pemilik rumah menyerahkan makanan ala kadarnya. Gajah putih merasa amat bahagia.
Tetapi beberapa waktu kemudian para penduduk mulai mencoba memberi gajah putih perintah.
Awalnya, seorang penduduk memberi setandan pisang, tetapi lalu menyerahkan padanya sebuah ember, dan memintanya mencarikan air.
Lama-lama kebiasaan ini ditiru penduduk lain. Sebagai upah makanan yang diterima, gajah putih disuruh melakukan ini itu. Seperti memindahkan kayu bakar, mengangkat beban, bahkan hal-hal yang sepele. Jadi apa yang dilakukan gajah putih tidak ubahnya seperti pekerjaan kuli upahan.
Kemudian tugas yang diberikan kepada gajah putih amat berat. Kini dengan ancaman tidak akan diberi makanan kalau tidak patuh. Hati gajah putih mendidih diperlakukan demikian. Tetapi ia tetap ingat kata-kata induknya, agar sabar dan mematuhi kata-kata penduduk. Tetapi lama-lama kesabarannya habis juga. Suatu hari ia lari kembali ke hutan.
Kepada induknya gajah putih mengisahkan pengalamannya. Sang induk mengangguk tanda mengerti. Lalu setelah merenung sejenak dia berkata, “Aku yang salah, Nak. Kau seekor gajah putih. Jadi seharusnya kau berlaku layaknya gajah putih lain. Kau tidak pantas melakukan pekerjaan seperti menimba air atau menyeret kayu gelondongan. Nah, kembalilah ke desa, tapi jangan mau diperintah lagi.”
Gajah putih kembali ke desa. Sampai di sana kedatangannya disambut para penduduk. Mereka memberi makan dan minum. Usai itu mereka memberi perintah ini dan itu.
Gajah putih teringat pesan induknya: “… Kau tak pantas melakukan pekerjaan seperti menimba air atau menyeret kayu gelondongan…” Maka ketika seorang menyodorkan sebuah ember untuk diisi air, gajah putih mengibaskannya, sehingga ember terlempar dari tangan. Begitu juga jika ia diminta memindahkan kayu bakar. Didorongnya orang yang menyuruhnya sehingga jatuh terjengkang. Maka para penduduk takut memerintah gajah putih lagi.
Orang-orang desa kemudian mempunyai anggapan lain. Mereka sependapat, “Gajah putih ini keturunan dewa gajah. Bukan seperti gajah putih yang datang duluan. Barangkali, yang dulu gajah putih tiruan. Gajah putih ini tidak pantas hidup di desa. Seharusnya dia tinggal di istana. Kita harus menyerahkannya kepada Raja.”
Dengan penuh kehormatan para penduduk desa menggiring gajah putih ke istana. Kini gajah putih menjadi piaraan Kerajaan. Hidupnya amat terjamin serta dipuja dan dihormati semua orang.
He…he…he jangan-jangan juru damai itu adalah induk gajah Tuan! Mampu memposisikan dan menempatkan sesuatu pada tempatnya kawan! ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar