(TULISAN INI MENGHIASI HALAMAN 2 HARIAN PAGI VOKAL)
Majelis
taklim tempat tinggal Fulan lagi mengadakan pengajian. Acara mingguan
kali ini agak beda. Majelis tak mengundang penceramah. Yang ada hanya
diskusi dan berbagi.
Ketika itu mereka mendadar sebuah kisah di
masjid Al-Falah, sebuah masjid yang didirikan oleh orang-orang Indonesia
di Berlin. Tersebutlah seorang anak bangsa ini yang suka ke rumah
Tuhan. Ini jalan ceritanya yang dilansir ratnautami.com; Sabtu lalu saya
sekeluarga bergegas ke masjid Al-Falah. Khawatir acara pengajian yang
biasa diadakan tiap penghujung bulan itu sudah dimulai, kami
berlari-lari kecil sambil diiringi tawa riang anak-anak mengejar bis
yang hampir saja meninggalkan kami.
Yah apa boleh buat, sekalipun
bis bisa terkejar, kami tetap terlambat 10 menit dari acara yang
ditetapkan. Eh begitu masuk masjid, ternyata suasana masih lengang, saya
hanya melihat beberapa ibu dan panitia yang sedang mengecek sound
system, dan lain-lain. Saya segera menyalami beberapa ibu yang sudah
hadir tadi kemudian mencari posisi duduk di pojokan dekat heizung
(pemanas ruangan).
Tak lama seorang ibu lebih dari separuh baya
(mungkin sekitar 70 tahunan) menghampiri saya. Saat melangkah, beliau
berjalan tertatih-tatih, raut mukanya sedikit mengernyit, seperti
menahan sakit. Saya bantu beliau duduk menyender di heizung, lalu
mulailah kami saling menanyakan kabar.
Saya mengenal sosok ibu
tersebut belum lama ini. Namun nama beliau sudah lebih duluan akrab di
telinga saya karena seorang sahabat menceritakan tentang beliau yang
rutin mengaji privat pada sahabat saya itu. Akhir-akhir ini
beliau sering saya lihat mendatangi masjid saat ta'lim ibu-ibu tiap hari
Selasa. Saya mendengar pula dari sahabat yang lain, beliau juga selalu
datang di hari Jumat.
Entah mengapa, setiap pandangan kami
berpapasan, hati saya berdesir aneh...mungkin saya jadi teringat ibu
saya di kampung halaman. Termasuk sore itu, saat beliau duduk begitu
dekat dengan saya. Rambutnya sudah hampir semuanya memutih, namun sorot
matanya masih memancarkan semangat. Ini dia, hati saya mulai dijalari
rasa ingin tahu lebih banyak untuk mengenalnya.
Ternyata tak lama
kemudian beliau bertutur, tinggal lumayan jauh di pinggiran Berlin,
bersuamikan orang Jerman dan belum dikaruniai cahaya mata. Sejenak
beliau terdiam, pandangannya menerawang, lalu tak lama kemudian meraih
putri saya, Nazhifa, memeluknya dengan penuh sayang. Saya merasakan ada
semacam kerinduan yang sangat akan kehadiran anak dari sikapnya saat
itu. "Tahukah nak, apa yang membuat saya selalu datang kemari?"tanya
beliau. Saya tersenyum, namun belum sempat menjawab, beliau segera
menjawab sendiri pertanyaan yang dilontarkannya. "Saya ingin Allah
meridhai upaya saya saat ini, saya akan terus belajar hingga saya bisa
lancar membaca Alquran." "Saya tak memiliki anak yang akan mendoakan
saya bila kelak saya meninggal, saya ingin langkah kaki ini yang mesti
harus selalu diseret, menjadi peringan siksa di kubur..."
Beliau
kemudian menatap saya lama, ada bulir-bulir air mata di sana, saya
tertunduk merasa tak kuasa membalas tatapan sedih itu. "Nak, jangan
kayak ibu ya nak? Baru belajar Alquran di usia senja gini. Bener-bener
ibu menyesal, jangankan untuk menghafal surat, menghapal huruf-huruf
saja, ibu sudah kepayahan..." lanjut beliau. Oya, baik-baik juga
mendidik anak-anakmu ya nak, biar doa mereka menjadi cahayamu di alam
kubur nanti..."
"Insya Allah ibu...terimakasih nasihatnya."
jawabku. Alhamdulillah ya Allah, Engkau mengingatkanku lewat ibu itu.
Kini saya tahu, kenapa hati saya selalu berdesir tiap kali menatap
beliau. Usia dan kelemahan fisiknya, tak menghalangi beliau untuk
berangkat mengaji. Yah, saya merasa semangatnya yang menyala-nyala
itulah yang menghentak hati saya untuk bisa sesemangat beliau (bahkan
harus lebih!) dalam mempersiapkan bekal kepulangan saya dan juga
keluarga ke negeri abadi.
Segenap anggota majelis termenung usai
menyimak! Dalam menung mereka. Di mata mereka tampak ada buliran air
yang mendesak keluar. Oh…Tuhan! Hati kami bersama-Mu ya Allah! ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar