Selasa, 12 Juni 2012

Adakah Bodenga di Inhil?

(TULISAN INI DISEBARLUASKAN HARIAN VOKAL, 30 DESEMBER 2010)
Adakah Bodenga di Kabupaten Inhil? Jika ada, pasti ada dukun buaya di sana. Tak akan payah benar menangkap hewan pemansa manusia itu. Tak sulit betul menyeret penguasa air tersebut. Apalagi binatang itu sudah memangsa murid SD.
Karena selain ada keterikatan emosional dengan Bodenga, hewan itu sepertinya juga penganut tradisi utang nyawa bayar nyawa. Siapa yang bersalah, dia yang memikul. Siapa yang memakan manusia, dirinyalah yang akan bertanggung jawab. Dia akan menyerahkan diri setelah pawang buaya baca jampi-jampi.
Seperti diuraikan dalam kisah Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, Bodenga adalah guru firasat dan semua hal yang berhubungan dengan perasaan gamang, pilu, dan sedih. Tak seorang pun ingin menjadi sahabat Bodenga. Wajahnya carut-marut, berusia empat puluhan. Ia menyelimuti dirinya dengan dahan-dahan kelapa dan tidur melingkar seperti tupai di bawah pohon nifah selama dua hari dua malam. Jika lapar ia terjun ke sumur tua di kantor polisi lama, menyelam, menangkap belut yang terperangkap di bawah sana dan langsung memakannya ketika masih di dalam air.
Ia makhluk yang merdeka. Ia seperti angin. Ia bukan Melayu, bukan Tionghoa, dan bukan pula Sawang, bukan siapa-siapa. Tak ada yang tahu asal usulnya. Ia tak memiliki agama dan tak bisa bicara. Ia bukan pengemis bukan pula penjahat. Namanya tak terdaftar di kantor desa. Dan telinganya sudah tak bisa mendengar karena ia pernah menyelami dasar Sungai Lenggang untuk mengambil bijih-bijih timah, demikian dalam hingga telinganya mengeluarkan darah, setelah itu menjadi tuli.
Bodenga kini sebatang kara. Satu-satunya keluarga yang pernah diketahui orang adalah ayahnya yang buntung kaki kanannya. Orang bilang karena tumbal ilmu buaya. Ayahnya itu seorang dukun buaya terkenal. Serbuan Islam yang tak terbendung ke seantero kampung membuat orang menjauhi mereka, karena mereka menolak meninggalkan penyembahan buaya sebagai Tuhan.
Ayahnya telah mati karena melilit tubuhnya sendiri kuat-kuat dari mata kaki sampai ke leher dengan akar jawi lalu menerjunkan diri ke Sungai Mirang. Ia sengaja mengumpankan tubuhnya pada buaya-buaya ganas di sana. Masyarakat hanya menemukan potongan kaki buntungnya. Kini Bodenga lebih banyak menghabiskan waktu memandangi aliran Sungai Mirang, sendirian sampai jauh malam.
Pada suatu sore di Belitung, warga kampung berduyun-duyun menuju lapangan basket Sekolah Nasional. Karena baru saja ditangkap seekor buaya yang diyakini telah menyambar seorang wanita yang sedang mencuci pakaian di Manggar. Mulut buaya besar itu dibuka dan disangga dengan sepotong kayu bakar.
Ketika perutnya dibelah, ditemukan rambut, baju, jam tangan, dan kalung. Saat itulah Bodenga mendesak maju di antara pengunjung. Lalu ia bersimpuh di samping sang buaya. Wajahnya pucat pasi. Ia memberi isyarat kepada orang-orang, memohon agar berhenti mencincang binatang itu. Orang-orang mundur dan melepaskan kayu bakar yang menyangga mulut buaya tersebut. Mereka paham bahwa penganut ilmu buaya percaya jika mati mereka akan menjadi buaya. Dan mereka maklum bahwa bagi Bodenga buaya ini adalah ayahnya karena salah satu kaki buaya ini buntung. Bodenga menangisi. Suaranya pedih memilukan.
“Baya … Baya … Baya …,” panggilnya lirih. Beberapa orang menangis sesenggukan. Air matanya mengalir membasahi pipinya yang rusak berbintik-bintik hitam. Buaya ini satu-satunya cinta dalam hidupnya yang terbuang, dalam dunianya yang sunyi senyap.
Ia mengucapkan ratapan yang tak jelas dari mulutnya yang gagu. Ia mengikat sang buaya, membawanya ke sungai, menyeret bangkai ayahnya itu sepanjang pinggiran sungai menuju ke muara. Bodenga tak pernah kembali lagi. Bodenga dalam fragmen sore itu menciptakan cetak biru rasa belas kasihan dan kesedihan di alam bawah. Sesungguhnya Bodenga telah mengajariku ilmu firasat. Ia juga yang pertama kali memeprlihatkan padaku bahwa nasib bisa memperlakukan manusia dengan sangat buruk, dan cinta bisa menjadi demikian buta.
Tuan dan Puan! Cerita buaya memang dekat dengan kita. Dia ada di sekitar kita, lantas kita dimakannya dan kita membunuhnya. Begitu seterusnya, bergulir dan menentukan takdir masing-masing.
Lantas pertanyaannya; adakah Bodenga buaya darat di negeri ini? He…he…he Fulan oh Fulan! ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar