(TULISAN INI MENGHIASI HALAMAN 2 HARIAN PAGI VOKAL)
Entah
demi dunia, entah demi apa, Fulan sering pulang malam. Seolah-olah dia
tak kenal lagi apa itu siang atau malam. Baginya sama saja, yang penting
kerja. Kerja yang menyita waktu dan waktu tersita tak pernah dibahas.
Manakala
stress, ia pergi ke pinggir kota. Mana tahu ada sesuatu yang memberi
kesejukan hati, kepuasan jiwa dan ketenangan batin. Begitulah
sehari-hari Fulan. Kerja, kerja dan pinggir kota. Siklus yang tidak
berubah-ubah Tuan!
Namun suatu ketika, tatkala mau pulang ke
rumah, Fulan terkejut. Di tengah malam gelap gulita, ia mendengar orang
menangis terisak-isak. Usai tangis pilu, ada suara orang membaca Firman
Tuhan. Berulang-ulang. Usai baca kitab suci barang satu ayat, lalu
tangis lagi. Mendalam dan menusuk kalbu. Perasaan Fulan jadi lain. Ada
yang mengelitik nuraninya. Bulu roma berdiri. Hati tertegun sejenak.
Mulut terkatup.
Dalam suasana demikian pekat, tapi kenapa air mata
Fulan tidak menetes. Apakahnya hatinya sudah beku. Tidakkah ia pernah
membaca kisah ulama besar Fudhail bin Iyadh. Atau memang perilaku dan
perangai Fulan lebih parah dari ulama kelahiran Samarqand dan dibesarkan
di Abi Warda itu?
Ketika Fulan membaca riwayat sufi tersebut, ia
sungguh takjub. Namun manakala bertemu dengan suasana yang nyaris sama,
responnya berbeda. Apakah memang manusia itu terlahir dengan tingkat
kesadaran yang dibeda-bedakan.
Ketika ia membaca kalimat demi
kalimat cerita ulama mantan penyamun itu, hatinya terketuk. Ada seorang
yang kerjanya hanya mengejar-ngejar hawa nafsu, bergumul dan berkelana
di teinpat-tempat maksiat, dan pulang larut malam.Dari tempat itu, dia
pulang dalam keadaan sempoyongan. Di tengah jalan, di sebuah rumah,
lelaki itu mendengar sayup-sayup seseorang membaca Al-Quran. Ayat yang
dibaca itu berbunyi: "Belum datangkah waktunya bagi orang-orang yang
beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran
yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti
orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya,
kenudian berlalulah masa yang panjang atas mereka, lalu hati mereka
menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang yang fasik
(Qs 57: 16).
Sepulangnya dia di rumah, sebelum tidur, lelaki itu
mengulangi lagi bacaan itu di dalam hatinya. Kemudian tanpa terasa air
mata mengalir di pipinya. Si pemuda merasakan ketakutan yang luar biasa.
Bergetar hatinya di hadapan Allah karena perbuatan maksiat yang pemah
dia lakukan. Kemudian ia mengubah cara hidupnya. Ia mengisi hidupnya
dengan mencari ilmu, beramal mulia dan beribadah kepada Allah SWT.,
sehingga di abad kesebelas Hijriyah dia menjadi seorang ulama besar,
seorang bintang di dunia tasawuf.
Fudhail kembali ke jalan yang
benar kerena mengalirkan air mata penyesalan atas kesalahannya di masa
lalu lantaran takut kepada Allah SWT. Berbahagialah orang-orang yang
pernah bersalah dalam hidupnya kemudian menyesali kesalahannya dengan
cara membasahi matanya dengan air mata penyesalan. Mata seperti itu
insya Allah termasuk mata yang tidak menangis di Hari Kiamat.
“Apakah
sungguh aku tersesat di jalan yang benar Tuan? Apakah hatiku beku? Atau
aku adalah hamba yang malang di hari pembalasan? Mata sudah tidak
meneteskan air mata lagi. Beri petunjukmu Tuhan pada hamba yang gila
kerja ini? Atau ibadahku adalah kerjaku,” kata Fulan yang menundukan
kepalanya. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar