Rabu, 13 Juni 2012

Berbahagialah Orang yang Pernah Salah

(TULISAN INI MENGHIASI HALAMAN 2 HARIAN PAGI VOKAL)
Entah demi dunia, entah demi apa, Fulan sering pulang malam. Seolah-olah dia tak kenal lagi apa itu siang atau malam. Baginya sama saja, yang penting kerja. Kerja yang menyita waktu dan waktu tersita tak pernah dibahas.
Manakala stress, ia pergi ke pinggir kota. Mana tahu ada sesuatu yang memberi kesejukan hati, kepuasan jiwa dan ketenangan batin. Begitulah sehari-hari Fulan. Kerja, kerja dan pinggir kota. Siklus yang tidak berubah-ubah Tuan!
Namun suatu ketika, tatkala mau pulang ke rumah, Fulan terkejut. Di tengah malam gelap gulita, ia mendengar orang menangis terisak-isak. Usai tangis pilu, ada suara orang membaca Firman Tuhan. Berulang-ulang. Usai baca kitab suci barang satu ayat, lalu tangis lagi. Mendalam dan menusuk kalbu. Perasaan Fulan jadi lain. Ada yang mengelitik nuraninya. Bulu roma berdiri. Hati tertegun sejenak. Mulut terkatup.
Dalam suasana demikian pekat, tapi kenapa air mata Fulan tidak menetes. Apakahnya hatinya sudah beku. Tidakkah ia pernah membaca kisah ulama besar Fudhail bin Iyadh. Atau memang perilaku dan perangai Fulan lebih parah dari ulama kelahiran Samarqand dan dibesarkan di Abi Warda itu?
Ketika Fulan membaca riwayat sufi tersebut, ia sungguh takjub. Namun manakala bertemu dengan suasana yang nyaris sama, responnya berbeda. Apakah memang manusia itu terlahir dengan tingkat kesadaran yang dibeda-bedakan.
Ketika ia membaca kalimat demi kalimat cerita ulama mantan penyamun itu, hatinya terketuk. Ada seorang yang kerjanya hanya mengejar-ngejar hawa nafsu, bergumul dan berkelana di teinpat-tempat maksiat, dan pulang larut malam.Dari tempat itu, dia pulang dalam keadaan sempoyongan. Di tengah jalan, di sebuah rumah, lelaki itu mendengar sayup-sayup seseorang membaca Al-Quran. Ayat yang dibaca itu berbunyi: "Belum datangkah waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kenudian berlalulah masa yang panjang atas mereka, lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang yang fasik (Qs 57: 16).
Sepulangnya dia di rumah, sebelum tidur, lelaki itu mengulangi lagi bacaan itu di dalam hatinya. Kemudian tanpa terasa air mata mengalir di pipinya. Si pemuda merasakan ketakutan yang luar biasa. Bergetar hatinya di hadapan Allah karena perbuatan maksiat yang pemah dia lakukan. Kemudian ia mengubah cara hidupnya. Ia mengisi hidupnya dengan mencari ilmu, beramal mulia dan beribadah kepada Allah SWT., sehingga di abad kesebelas Hijriyah dia menjadi seorang ulama besar, seorang bintang di dunia tasawuf.
Fudhail kembali ke jalan yang benar kerena mengalirkan air mata penyesalan atas kesalahannya di masa lalu lantaran takut kepada Allah SWT. Berbahagialah orang-orang yang pernah bersalah dalam hidupnya kemudian menyesali kesalahannya dengan cara membasahi matanya dengan air mata penyesalan. Mata seperti itu insya Allah termasuk mata yang tidak menangis di Hari Kiamat.
“Apakah sungguh aku tersesat di jalan yang benar Tuan? Apakah hatiku beku? Atau aku adalah hamba yang malang di hari pembalasan? Mata sudah tidak meneteskan air mata lagi. Beri petunjukmu Tuhan pada hamba yang gila kerja ini? Atau ibadahku adalah kerjaku,” kata Fulan yang menundukan kepalanya. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar