Selasa, 12 Juni 2012

Cinta Halalkan Segala Cara

(GORESAN INI DISEBARLUASKAN HARIAN VOKAL, 29 DESEMBER 2010)
Entah kenapa Tuhan mentakdirkan penceramah itu berbicara cinta. Sebuah wejangan hati yang disampaikan di sebuah masjid di Kota Dumai. Syahdu hati mendengarnya kawan! Benar-benar dalam pengajian orang itu.
Fulan yang mendengar pun jadi ingat dengan perangai petinggi di provinsi ini. Saking cintanya pada istrinya, sampai digadang-gadangkan rang rumahnya jadi calon kepala daerah, Uang Bansos dimainkan untuk biaya politik sang sosok tercinta. “Apakah itu yang dinamakan cinta? Apakah cinta menghalalkan segala cara,” tanya Fulan.
Belum terjawab tanya, Fulan mengulang-ulang kalimat si penceramah. Katanya, para pujangga sepakat, cinta ada di hati. Kedahsyatan cinta melahirkan jutaan inspirasi. Ia tak pampak kasat mata, namun indikasinya sangat mempengaruhi pikiran, plus mengendalikan tindakan.
Cintailah cinta. Cinta dalam defenisi seorang Jalaluddin Rumi. Layaknya cinta Rabi'ah al-Adawiyah sang konseptor mahabbah. Cinta yang tak mengharap imbalan, cinta yang hanya butuh balasan keridhaan. Cinta yang tak mencari surga, tetapi hanya butuh kasih sayang, walaupun harus di neraka.
Seiring dengan itu seorang Victor Hugo pernah berkata;, “Kegembiraan terbesar dalam hidup adalah keyakinan bahwa kita dicintai. Oleh karenanya, kita membagikan cinta bagi orang lain.”
Pernahkah Anda menatap orang-orang terdekat Anda saat ia sedang tidur? Kalau belum, cobalah sekali saja menatap mereka saat sedang tidur. Saat itu yang tampak adalah ekspresi paling wajar dan paling jujur dari seseorang.
Seorang artis yang ketika di panggung begitu cantik dan gemerlap pun bisa jadi akan tampak polos dan jauh berbeda jika ia sedang tidur. Orang paling kejam di dunia pun jika ia sudah tidur tak akan tampak wajah bengisnya.
Perhatikanlah ayah Anda saat beliau sedang tidur. Sadarilah, betapa badan yang dulu kekar dan gagah itu kini semakin tua dan ringkih, betapa rambut-rambut putih mulai menghiasi kepalanya, betapa kerut merut mulai terpahat di wajahnya. Orang inilah yang tiap hari bekerja keras untuk kesejahteraan kita, anak-anaknya. Orang inilah, rela melakukan apa saja asal perut kita kenyang dan pendidikan kita lancar.
Sekarang, beralihlah. Lihatlah ibu Anda. Hmm…kulitnya mulai keriput dan tangan yang dulu halus membelai- belai tubuh bayi kita itu kini kasar karena tempaan hidup yang keras. Orang inilah yang tiap hari mengurus kebutuhan kita. Orang inilah yang paling rajin mengingatkan dan mengomeli kita semata- mata karena rasa kasih dan sayang, dan sayangnya, itu sering kita salah artikan.
Cobalah menatap wajah orang-orang tercinta itu… Ayah, Ibu, Suami, Istri, Kakak, Adik, Anak, Sahabat, Semuanya. Rasakanlah sensasi yang timbul sesudahnya. Rasakanlah energi cinta yang mengalir pelan-pelan saat menatap wajah lugu yang terlelap itu. Rasakanlah getaran cinta yang mengalir deras ketika mengingat betapa banyaknya pengorbanan yang telah dilakukan orang-orang itu untuk kebahagiaan Anda.
Pengorbanan yang kadang tertutupi oleh kesalahpahaman kecil yang entah kenapa selau saja nampak besar. Secara ajaib Tuhan mengatur agar pengorbanan itu bisa tampak lagi melalui wajah-wajah jujur mereka saat sedang tidur. Pengorbanan yang kadang melelahkan namun enggan mereka ungkapkan. Dan ekspresi wajah ketika tidur pun mengungkap segalanya.
Resapilah kenangan-kenangan manis dan pahit yang pernah terjadi dengan menatap wajah-wajah mereka. Rasakanlah betapa kebahagiaan dan keharuan seketika membuncah jika mengingat itu semua. Bayangkanlah apa yang akan terjadi jika esok hari mereka “orang-orang terkasih itu” tak lagi membuka matanya, selamanya.
Menetes air mata Fulan. Bagaimana bisa menatap wajahnya tatkala tidur, dia sudah pergi. Iya pergi. “Hmm…kenapa aku begitu impulsif. Bukankah aku maksud, pejabat itu jarang bersama istrinya. Lantas bagaimana kasih sayang bisa menjalar,” pikir Fulan.
Tak lama kemudian, baru Fulan ingat, bukankah ini kasih sayang politik. Sebuah pilihan kepentingan yang mengehendaki tumbal. Entahlah Bujang! ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar