Rabu, 13 Juni 2012

Rindu Sama Dokter Kinari Webb

(TULISAN INI DISEBARLUASKAN HARIAN PAGI VOKAL, 11 MEI 2011)
Kita rindu sosok dokter asal Amerika Serikat, Kinari Webb ketika suhu ekstrem melanda Riau. Panas nian daerah ini. Saat-saat matahari membakar kulit, kita merasa sangat butuh kepedulian relawan Negara Paman Sam yang berumur 39 tahun.

Sang dokter mendirikan lembaga nirlaba Alam Sehat Lestari atau Asri yang memberikan pelayanan kesehatan di Sukadana, Kabupaten Kayong Utara, kalimantan Barat, berbatasan dengan Taman Nasional Gunung Palung (TNGP).
Begitu melangkahkan kaki ke halaman klinik Asri, sebuah pengumuman terpampang di depan klinik, "bisa bayar biaya berobat dengan barang atau kerja di klinik Asri" dibawahnya, terinci kerja yang dimaksud, meliputi bekerja di kebun organik Asri atau di klinik.
Pekerjaan di kebun organik antara lain membuat bedengan, membersihkan rumput, mengisi kantong plastik, menanam bibit, dan menyiram tanaman. adapun pekerjaan di klinik antara lain mencuci seprai, menyetrika pakaian, membakar sampah, menggulung kapas, dan menyiram bunga. Untuk pekerjaan selama tujuh jam sehari, klinik Asri menghargainya dengan upah Rp 50.000.
Sementara itu, barang yang bisa digunakan untuk membayar biaya pengobatan adalah kotoran ternak, bambu, atap daun, tanaman bunga, ayam, beras, sekam, dedak, cangkang telur, hingga kerajinan anyaman, diantaranya tikar pandan dan bakul. Barang lain yang bisa digunakan untuk alat pembayaran adalah bibit buah-buahan.
"Tak semua orang mampu membayar biaya pengobatan dengan uang, apalagi sebagian besar dari mereka itu masyarakat pedesaan yang kurang mampu. Mereka bisa membayar dengan tenaga atau barang yang dimiliki," kata Kinari menyampaikan alasannya menerapkan pola pembayaran tak lazim pada era modern ini sebagaimana dikutip kompas.com beberapa tahun lalu.
Lantas, mengapa barang yang digunakan untuk membayar juga tak lazim? Ternyata, barang yang bisa dibayarkan itu mendukung program konservasi alam yang dia kembangkan melalui kebun organik. Kotoran hewan dan cangkang telur menjadi pupuk organik. ayam, dedak, sekam, atap daun, dan bambu digunakan mengembangkan peternakan kecil yang mendukung kebun organik. adapun bibit tanaman untuk merehabilitasi hutan.
"Klinik bukan program utama, Klinik ini kita pakai untuk program yang lebih besar, yaitu konversasi hutan. Klinik menjadi alat untuk memotivasi masyarakat menjaga hutan," katanya.
Klinik Asri juga mengembangkan sistem insentif bagi masyarakat desa sekitar yang peduli dengan kelestarian hutan. Insentif itu berupa pelayanan ekstra layaknya Puskesmas keliling dan memberikan potongan harga.
Penentuan layak dan tidaknya desa mendapatkan insentif itu dilakukan Asri bersama Balai TNGP. Setiap bulan mereka bekerja sama membuat penilaian dan pemetaan, desa mana yang pro kelestarian hutan (dikategorikan Desa Hijau) dan mana yang tak menjaga kelestarian hutan (Desa Merah).
Dikategorikan desa Hijau bila masyarakatnya tak menebang pohon secara liar, membakar lahan hutan, memburu hewan, dan melaporkan tindakan pembalakan liar oleh warga lain. Jika yang dilakukan sebaliknya, desa tersebut dikategorikan Desa Merah.
Pola insentif ini efektif mendorong masyarakat menjaga hutan. Sejak Klinik Asri didirikan Kinari pada Juli 2007, dari 23 desa sekitar TNGP yang terlayani, semakin banyak yang masuk kategori Desa Hijau.
Ketertarikan Kinari melakukan konservasi hutan di kawasan TNGP berawal dari peran yang disandangnya sebagai peneliti Universitas Harvard. Ia datang ke Indonesia dan meneliti keberadaan orang hutan (Pongo pygmaues wurmbii) di TNGP pada 1993. Topik penelitiannya adalah "Kepentingan Orangutan untuk Semua Ekologi di Hutan".
Dari penelitiannya itu, ia menyimpulkan, jika orangutan punah, banyak pohon yang juga akan punah karena persebaran beberapa biji dan penyerbukannya dibantu orangutan. Ada rantai kehidupan di hutan yang akan putus jika orangutan punah.
Meski mengetahui kelestarian orangutan penting bagi kelestarian hutan, Ada pengalaman yang membuat dia berpikir bahwa kualitas hidup masyarakat sekitar hutan juga penting bagi kelestarian hutan. Untuk yang satu ini, dia berterima kasih kepada Pak Tadin, warga setempat yang membukakan mata hatinya lewat "pengalaman tragis" di hutan.
Suatu ketika Kinari masuk hutan dan Tadin membukakan jalan untuknya dengan sebilah parang. Telapak tangan Tadin terluka oleh sabetan parangnya sendiri. Ia tak menduga, Tadin yang bertubuh besar dan piawai menjelajah hutan justru berteriak histeris seolah-olah hampir mati. Padahal ia tahu, hanya dengan membersihkan luka, memberinya antibiotik, dan menutup luka itu sudah bisa menyembuhkan luka Tadin.
Usut punya usut, minimnya pemahaman Tadin tentang kesehatan dan sarana kesehatan di wilayah itu membentuk pola pikir Tadin bahwa luka bisa membuat dia mati. dari pengalaman itulah, tahun 1998 Kinari memutuskan kemabli ke AS dan melanjutkan pendidikan kedokteran di Universitas Yale.
Selama menjalani pendidikan itu, ia sempat kembali ke Indonesia menjadi relawan, membantu penanganan korban tsunami di Aceh. Setelah lulus panggilan hati kembali membawa dia ke Indonesia.
Bersama dokter gigi Hotlin Omposungku dan dokter Romi Beginta, keduanya dari Indonesia, serta sejumlah dokter dan tenaga medis, Juli 2007 ia mendirikan Klinik Asri. Kinari tak secara langsung menangani pasien, tetapi lebih menempatkan diri sebagai teman berdiskusi bagi para dokter dari Indonesia.
"Pendanaannya 40 persen dari hibah dan 60 persen dari donatur perorangan di luar negeri," kata Hotlin.
Untuk mendapatkan donasi guna membiayai klinik, acapkali Kinari dan Hotlin pergi kesejumlah tempat di AS dan mempresentasikan programnya. Sejumlah kerajinan anyaman tradisional yang diperoleh dari pembayaran masyarakat juga di jual ke luar negeri dan sangat diminati.
Setelah dua tahun berjalan, Klinik Asri melayani lebih dari 7.000 pasien, atau sehari sekitar 30 pasien. Setiap rekam medis pasien disimpan dalam bentuk dokumen dan di komputer, lengkap dengan data diri dan foto pasien.
Pelayanan kesehatan yang diberikan juga semakin lengkap. Ada pelayanan kesehatan umum, kesehatan gigi, persalinan, laboratorium, rawat inap, dan apotek. Dengan 3 dokter dan 22 staf medis, Klinik Asri juga memberikan pelayanan panggilan 24 jam.
Klinik Asri juga bekerjasama dengan sejumlah lembaga, seperti Lions Club dalam membagikan 1.000 kacamata. Klinik pun berupaya memberdayakan masyarakat dengan merekrut dan melatih para ibu menjadi relawan pemantau pasien tuberkulosis dan membagikan obat cacing.
Wah…kapan ya, Riau mendapat sentuhan relawan berhati mulia tersebut? ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar