Rabu, 13 Juni 2012

Nietzsche: Tuhan Sudah Mati

(TULISAN INI DISEBARLUASKAN HARIAN PAGI VOKAL, 11 MARET 2011)
Orang ribut di Kampar Tuan. Mereka berselisih paham soal Tuhan. Mayoritas warga di sana bersaksi Tuhan itu satu. Tiada Tuhan selain Allah. Namun mereka sontak terkejut, ketika disinyalir seorang anak manusia membawa ajaran Tuhan itu ada empat. Ya...mungkin mirip para dewa pada keyakinan masyarakat lain.
ItulahTuan! Soal keyakinan di negeri ini adalah perkara sensitif. Kendati mereka tidak taat perintah agama, mereka rela mati manakala agama mereka terusik. Fulan tak bisa bayangkan, bagaimana kalau Friedrich Nietzsche hidup di daerah ini. Sosok yang berani mengatakan, "Tuhan sudah mati"  Ungkapan ini pertama kali muncul dalam Die fröhliche Wissenschaft, seksi 108 (New Struggles), dalam seksi 125 (The Madman), dan untuk ketiga kalinya dalam seksi 343 (The Meaning of our Cheerfulness). Juga muncul dalam buku klasik Nietzsche Also sprach Zarathustra, yang paling bertanggung jawab dalam memopulerkan ungkapan ini. Gagasan ini dinyatakan oleh 'The Madman' sebagai berikut:
“Tuhan sudah mati. Tuhan tetap mati. Dan kita telah membunuhnya. Bagaimanakah kita, pembunuh dari semua pembunuh, menghibur diri kita sendiri? Yang paling suci dan paling perkasa dari semua yang pernah dimiliki dunia telah berdarah hingga mati di ujung pisau kita sendiri. Siapakah yang akan menyapukan darahnya dari kita? Dengan air apakah kita dapat menyucikan diri kita? Pesta-pesta penebusan apakah, permainan-permainan suci apakah yang perlu kita ciptakan? Bukankah kebesaran dari perbuatan ini terlalu besar bagi kita? Tidakkah seharusnya kita sendiri menjadi tuhan-tuhan semata-mata supaya layak akan hal itu [pembunuhan Tuhan]?
Gawatkan! Tapi itulah ketika nalar membantai kemapanan pandangan keyakinan.
Sebagaimana dilansir wikipedia.com, "Tuhan sudah mati" tidak boleh ditanggapi secara harafiah, seperti dalam "Tuhan kini secara fisik sudah mati"; sebaliknya, inilah cara Nietzsche untuk mengatakan bahwa gagasan tentang Tuhan tidak lagi mampu untuk berperan sebagai sumber dari semua aturan moral atau teleologi. Nietzsche mengakui krisis yang diwakili oleh kematian Tuhan bagi pertimbangan-pertimbangan moral yang ada, karena "Ketika seseorang melepaskan iman Kristen, ia mencabut hak terhadap moralitas Kristen dari bawah kakinya. Moralitas ini sama sekali tidaklah terbukti dengan sendirinya. Dengan menghancurkan sebuah konsep utama dari Kekristenan, iman kepada Tuhan, orang menghancurkan keseluruhannya: tak ada suatupun yang tinggal di tangannya." Inilah sebabnya mengapa di dalam "The Madman", si orang gila berbicara bukannya kepada orang percaya, melainkan kepada kaum ateis — masalahnya ialah bagaimana mempertahankan sistem nilai apapun di tengah ketiadaan tatanan ilahi.
Kematian Tuhan adalah sebuah cara untuk mengatakan bahwa manusia tidak lagi mampu mempercayai tatanan kosmis apapun yang seperti itu karena mereka sendiri tidak lagi mengakuinya. Kematian Tuhan, kata Nietzsche, akan membawa bukan hanya kepada penolakan terhadap keyakinan kosmis atau tatanan fisik tetapi juga kepada penolakan terhadap nilai-nilai mutlak itu sendiri - kepada penolakan terhadap keyakinan akan suatu hukum moral yang obyektif dan universal, yang mengikat semua individu. Dalam cara ini, hal ini membawa kepada nihilisme, dan inilah yang diuashakan Nietzsche untuk menemukan suatu pemecahan dengan mengevaluasi kembali dasar-dasar dari nilai-nilai manusia. Bagi Nietzsche, hal ini berarti mencari dasar-dasar yang jauh lebih dalam daripada nilai-nilai Kristen. Kebanyakan orang menolak untuk mencari lebih jauh daripada nilai-nilai ini.
Nietzsche percaya bahwa kebanyakan orang tidak mengakui (atau menolak untuk mengakui) kematian ini berdasarkan ketakutan atau angst (kecemasan) mereka yang paling terdalam. Karena itu, ketika kematian itu mulai diakui secara luas, orang akan berputus asa dan nihilisme akan meraja lela, seperti halnya pula dengan kepercayaan relativistik bahwa kehendak manusia adalah hukum di dalam dirinya sendiri -- apapun boleh dan semuanya diizinkan. Inilah sebagian alasan mengapa Nietzsche menganggap Kekristenan nihilistik. Bagi Nietzsche, nihilisme adalah konsekuensi dari sistem filsafat yang idealistik manapun, karena semua idealisme menderita kelemahan yang sama seperti moralitas Kristen -- yakni tidak memiliki "dasar" untuk membangun di atasnya. Karena itu ia menggambarkan dirinya sebagai 'manusia bawah tanah' (subterranean man) yang sedang bekerja, yang menggali dan menambang dan menggangsir.
Nietzsche percaya bahwa bisa ada kemungkinan-kemungkinan yang positif bagi manusia tanpa Tuhan. Melepaskan kepercayaan kepada Tuhan akan membuka jalan bagi kemampuan-kemampuan kreatif manusia untuk berkembang sepenuhnya. Tuhan orang Kristen, dengan perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya yang sewenang-wenang, tidak akan lagi menghalanginya, sehingga manusia boleh berhenti mengalihkan mata mereka kepada ranah adikodrati dan mulai mengakui nilai dari dunia ini. Pengakuan bahwa "Tuhan sudah mati" adalah bagaikan sebuah kanvas kosong. Ini adalah kebebasan untuk menjadi sesuatu yang baru, yang lain, kreatif — suatu kebebasan untuk menjadi sesuatu tanpa dipaksa untuk menerima beban masa lampau. Nietzsche menggunakan metafora laut yang terbuka, yang dapat menggairahkan dan menakutkan. Orang-orang yang akhirnya belajar untuk menciptakan kehidupan mereka kembali akan mewakili suatu tahap yang baru dalam keberadaan manusia, sang Übermensch. 'Tuhan sudah mati' adalah motivasi bagi proyek filsafat terakhir Nietzsche yang tidak terselesaikan, 'revaluasi terhadap semua nilai'.
[sunting] Suara Nietzsche
Meskipun Nietzsche menempatkan ungkapan "Tuhan sudah Mati" ke dalam mulut seorang "gila" dalam Die fröhliche Wissenschaft, ia juga menggunakan ungkapan ini dalam suaranya sendiri dalam seksi 108 dan 343 dari buku yang sama. Dalam ucapan si orang gila, orang itu digambarkan berlari-lari di pasar sambil berseru-seru, "Tuhan sudah mati! Tuhan tetap mati!" Ia membangkitkan rasa geli pada beberapa orang. Namun tak seorangpun yang menanggapinya dengan serius. Dengan rasa frustrasi si orang gila menghantamkan lenteranya di tanah, sambil berteriak keras-keras bahwa ia datang terlalu dini. Orang belum dapat menyadari bahwa mereka telah membunuh Tuhan. Lalu ia pun berkata: Kejadian yang aneh ini masih berlangsung, masih berkelana, belum mencapai telinga manusia. Kilat dan guntur membutuhkan waktu, cahaya bintang-bintang membutuhkan waktu, perbuatan pun, meskipun telah dilakukan, masih membutuhkan waktu untuk dilihat dan didengar. Perbuatan ini masih lebih jauh daripada bintang-bintang yang paling jauh - kendati pun demikian mereka telah melakukannya sendiri.
Upss...Fulan tersadar. Jangan bawa pikiran yang masyarakat sendiri belum memiliki dasar pengetahuan untuk memahaminya. Hmm...bisa-bisa kita pula yang dibilang sesat oleh mereka yang setengah tahu. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar