(TULISAN INI DISEBARLUASKAN HARIAN PAGI VOKAL, 11 MARET 2011)
Orang
ribut di Kampar Tuan. Mereka berselisih paham soal Tuhan. Mayoritas
warga di sana bersaksi Tuhan itu satu. Tiada Tuhan selain Allah. Namun
mereka sontak terkejut, ketika disinyalir seorang anak manusia membawa
ajaran Tuhan itu ada empat. Ya...mungkin mirip para dewa pada keyakinan
masyarakat lain.
ItulahTuan! Soal keyakinan di negeri ini adalah
perkara sensitif. Kendati mereka tidak taat perintah agama, mereka rela
mati manakala agama mereka terusik. Fulan tak bisa bayangkan, bagaimana
kalau Friedrich Nietzsche hidup di daerah ini. Sosok yang berani
mengatakan, "Tuhan sudah mati" Ungkapan ini pertama kali muncul dalam
Die fröhliche Wissenschaft, seksi 108 (New Struggles), dalam seksi 125
(The Madman), dan untuk ketiga kalinya dalam seksi 343 (The Meaning of
our Cheerfulness). Juga muncul dalam buku klasik Nietzsche Also sprach
Zarathustra, yang paling bertanggung jawab dalam memopulerkan ungkapan
ini. Gagasan ini dinyatakan oleh 'The Madman' sebagai berikut:
“Tuhan
sudah mati. Tuhan tetap mati. Dan kita telah membunuhnya. Bagaimanakah
kita, pembunuh dari semua pembunuh, menghibur diri kita sendiri? Yang
paling suci dan paling perkasa dari semua yang pernah dimiliki dunia
telah berdarah hingga mati di ujung pisau kita sendiri. Siapakah yang
akan menyapukan darahnya dari kita? Dengan air apakah kita dapat
menyucikan diri kita? Pesta-pesta penebusan apakah, permainan-permainan
suci apakah yang perlu kita ciptakan? Bukankah kebesaran dari perbuatan
ini terlalu besar bagi kita? Tidakkah seharusnya kita sendiri menjadi
tuhan-tuhan semata-mata supaya layak akan hal itu [pembunuhan Tuhan]?
Gawatkan! Tapi itulah ketika nalar membantai kemapanan pandangan keyakinan.
Sebagaimana
dilansir wikipedia.com, "Tuhan sudah mati" tidak boleh ditanggapi
secara harafiah, seperti dalam "Tuhan kini secara fisik sudah mati";
sebaliknya, inilah cara Nietzsche untuk mengatakan bahwa gagasan tentang
Tuhan tidak lagi mampu untuk berperan sebagai sumber dari semua aturan
moral atau teleologi. Nietzsche mengakui krisis yang diwakili oleh
kematian Tuhan bagi pertimbangan-pertimbangan moral yang ada, karena
"Ketika seseorang melepaskan iman Kristen, ia mencabut hak terhadap
moralitas Kristen dari bawah kakinya. Moralitas ini sama sekali tidaklah
terbukti dengan sendirinya. Dengan menghancurkan sebuah konsep utama
dari Kekristenan, iman kepada Tuhan, orang menghancurkan keseluruhannya:
tak ada suatupun yang tinggal di tangannya." Inilah sebabnya mengapa di
dalam "The Madman", si orang gila berbicara bukannya kepada orang
percaya, melainkan kepada kaum ateis — masalahnya ialah bagaimana
mempertahankan sistem nilai apapun di tengah ketiadaan tatanan ilahi.
Kematian
Tuhan adalah sebuah cara untuk mengatakan bahwa manusia tidak lagi
mampu mempercayai tatanan kosmis apapun yang seperti itu karena mereka
sendiri tidak lagi mengakuinya. Kematian Tuhan, kata Nietzsche, akan
membawa bukan hanya kepada penolakan terhadap keyakinan kosmis atau
tatanan fisik tetapi juga kepada penolakan terhadap nilai-nilai mutlak
itu sendiri - kepada penolakan terhadap keyakinan akan suatu hukum moral
yang obyektif dan universal, yang mengikat semua individu. Dalam cara
ini, hal ini membawa kepada nihilisme, dan inilah yang diuashakan
Nietzsche untuk menemukan suatu pemecahan dengan mengevaluasi kembali
dasar-dasar dari nilai-nilai manusia. Bagi Nietzsche, hal ini berarti
mencari dasar-dasar yang jauh lebih dalam daripada nilai-nilai Kristen.
Kebanyakan orang menolak untuk mencari lebih jauh daripada nilai-nilai
ini.
Nietzsche percaya bahwa kebanyakan orang tidak mengakui (atau
menolak untuk mengakui) kematian ini berdasarkan ketakutan atau angst
(kecemasan) mereka yang paling terdalam. Karena itu, ketika kematian itu
mulai diakui secara luas, orang akan berputus asa dan nihilisme akan
meraja lela, seperti halnya pula dengan kepercayaan relativistik bahwa
kehendak manusia adalah hukum di dalam dirinya sendiri -- apapun boleh
dan semuanya diizinkan. Inilah sebagian alasan mengapa Nietzsche
menganggap Kekristenan nihilistik. Bagi Nietzsche, nihilisme adalah
konsekuensi dari sistem filsafat yang idealistik manapun, karena semua
idealisme menderita kelemahan yang sama seperti moralitas Kristen --
yakni tidak memiliki "dasar" untuk membangun di atasnya. Karena itu ia
menggambarkan dirinya sebagai 'manusia bawah tanah' (subterranean man)
yang sedang bekerja, yang menggali dan menambang dan menggangsir.
Nietzsche
percaya bahwa bisa ada kemungkinan-kemungkinan yang positif bagi
manusia tanpa Tuhan. Melepaskan kepercayaan kepada Tuhan akan membuka
jalan bagi kemampuan-kemampuan kreatif manusia untuk berkembang
sepenuhnya. Tuhan orang Kristen, dengan perintah-perintah dan
larangan-larangan-Nya yang sewenang-wenang, tidak akan lagi
menghalanginya, sehingga manusia boleh berhenti mengalihkan mata mereka
kepada ranah adikodrati dan mulai mengakui nilai dari dunia ini.
Pengakuan bahwa "Tuhan sudah mati" adalah bagaikan sebuah kanvas kosong.
Ini adalah kebebasan untuk menjadi sesuatu yang baru, yang lain,
kreatif — suatu kebebasan untuk menjadi sesuatu tanpa dipaksa untuk
menerima beban masa lampau. Nietzsche menggunakan metafora laut yang
terbuka, yang dapat menggairahkan dan menakutkan. Orang-orang yang
akhirnya belajar untuk menciptakan kehidupan mereka kembali akan
mewakili suatu tahap yang baru dalam keberadaan manusia, sang
Übermensch. 'Tuhan sudah mati' adalah motivasi bagi proyek filsafat
terakhir Nietzsche yang tidak terselesaikan, 'revaluasi terhadap semua
nilai'.
[sunting] Suara Nietzsche
Meskipun Nietzsche
menempatkan ungkapan "Tuhan sudah Mati" ke dalam mulut seorang "gila"
dalam Die fröhliche Wissenschaft, ia juga menggunakan ungkapan ini dalam
suaranya sendiri dalam seksi 108 dan 343 dari buku yang sama. Dalam
ucapan si orang gila, orang itu digambarkan berlari-lari di pasar sambil
berseru-seru, "Tuhan sudah mati! Tuhan tetap mati!" Ia membangkitkan
rasa geli pada beberapa orang. Namun tak seorangpun yang menanggapinya
dengan serius. Dengan rasa frustrasi si orang gila menghantamkan
lenteranya di tanah, sambil berteriak keras-keras bahwa ia datang
terlalu dini. Orang belum dapat menyadari bahwa mereka telah membunuh
Tuhan. Lalu ia pun berkata: Kejadian yang aneh ini masih berlangsung,
masih berkelana, belum mencapai telinga manusia. Kilat dan guntur
membutuhkan waktu, cahaya bintang-bintang membutuhkan waktu, perbuatan
pun, meskipun telah dilakukan, masih membutuhkan waktu untuk dilihat dan
didengar. Perbuatan ini masih lebih jauh daripada bintang-bintang yang
paling jauh - kendati pun demikian mereka telah melakukannya sendiri.
Upss...Fulan
tersadar. Jangan bawa pikiran yang masyarakat sendiri belum memiliki
dasar pengetahuan untuk memahaminya. Hmm...bisa-bisa kita pula yang
dibilang sesat oleh mereka yang setengah tahu. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar