Rabu, 13 Juni 2012

Sudah Pergi Sebelum Datang

(TULISAN INI DIPUBLIKASI HARIAN VOKAL, 3 JANUARI 2011)
Majelis pikir dan zikir besutan Fulan lagi menggelar pengajian. Soal hati yang mencintai temanya. Mencintai sesama, mencintai alam sekitar dan utama lagi mencintai Tuhan yang bertahta di atas Arasy.
Sebuah topik yang universal dan lazim, namun tetap hadir dalam kehidupan manusia. Sepanjang kehidupan ada, selama itulah kisah cinta terbentang. Ia akan mengalir berdasarkan takdir masing-masing. Sungai cinta sudah diciptakan sang penguasa dengan aliran dan kadar garam yang tak sama.
Kali ini Fulan yang tampil sebagai narasumber. Usai mengucapkan salam, puja-puji dan kata penghormatan, dia terdiam. Lama juga keadaan tanpa suara. Majelis yang hadir pun terdiam. Terpana, tapi tak seorang jua berani bertanya. Apa yang terjadi dengan Fulan? Sedang apa penceramah kita?
Di tengah hening itu, air mata Fulan bercucuran. Ia baru bicara. Aku teringat dengan kisah sahabatku. Beberapa tahun yang lalu dia merantau. Pergi ke negeri orang. Karena nasib jualah penyebabnya. Sesampai di sana, dia bekerja di sebuah media massa, koran kata orang sekarang.
Sang sahabat bolehlah dibilang halus budi pekerti dan sopan tutur katanya. Maklumlah orangnya bekerja di media. Banyak kalimat bermakna yang dipahaminya. Selain itu wajahnya cerah kendati kesulitan hidup begitu berat.
Selain berkutat dengan berita pada sore dan malam harinya sebagai editor, sahabat ini juga jadi kuli bangunan di pagi hari. Hidup butuh biaya. Makanya dia bekerja keras siang dan malam. Hari-harinya praktis habis dengan perkara kerja. Hasil kerja kerasnya dikirim kepada Amaknya yang di kampung. Yang disisakan tak lebih untuk biaya makan saja. Terkadang sering puasa tanpa niat. Puasa karena makanan tak ada.
Melihat nasib yang begitu malang, ada seorang perempuan bernama Gandara Ceria. Ia prihatin, bukan jatuh cinta. Sekali lagi bukan karena hatinya bergetar lantaran suka. Mungkin bisa disebut sifat manusiawinya tersentuh dengan kepiluan nasib sang sahabat. Setiap berjumpa, sang sahabat disapa dengan kalimat yang paling lembut. Manakala malam datang dibawakanlah makanan barang sepiring nasi dan lengkaplah dengan lauk pauknya.
Sahabat tadi awalnya tak mau menerima. Kepedihan nasib tak harus dibagi. Tuhan menguji hambanya dalam kapasitas perorangan. Lantas untuk apa melibatkan orang lain memikulnya. Begitulah prinsip.
Karena sering diperlakukan baik dan diberi makanan, luluh juga hati kawan. Diterimalah setiap pemberian. Tanpa sadar hati sahabat merasa lain. Dunia agak berbeda dia pandang. Terasa ada sesuatu yang bernyanyi di relung jiwa. Sahabat jatuh cinta. Hidupnya kian semangat lagi.
Kata R. Graves dalam The Finding of Love, cinta adalah sesuatu yang dapat mengubah segalanya sehingga terlihat indah. Jalaluddin Rumi juga pernah bersyair: Karena cinta, duri menjadi mawar. Karena cinta, cuka menjelma anggur segar…”.
Baru rasa tumbuh, petaka muncul. Gandara di pagi itu menjumpai sahabat. Ada kata petakut yang disampaikannya. “Saya minta maaf. Esok, lusa dan waktu yang akan datang, saya tak bisa lagi melakukan apa yang selama ini saya lakukan. Bukan karena apa-apa dan siapa-siapa, hanya saja saya tak mau kebaikan ini melahirkan perasaan yang macam-macam dalam hati Abang. Aku pamit dulu,” katanya sambil berlalu dari tempat tinggal sahabat.
Lama sahabat memandang Gandara. Setiap tatapannya, tanpa dikehendaki air mata jatuh. Bulirannya menetes membasahi pipi. Nelangsa! Belum tumbuh, sudah dicabut. Belum berdaun, sudah digunting. Baru bersemangat, sudah dipatahkan. Baru merasa, sudah dieksekusi dari hati. Terasa dicincang hulu perasaan.
Mungkin lantaran perasaannya begitu mendalam, sahabat sungguh terpukul. Dia juga malu tinggal di sana. Esoknya ia mundur dari pekerjaan dan berangkat ke tempat lain. Berselang beberapa hari, terbetiklah kabar, kapal yang ditumpangi sahabat bertabrakan dengan kapal tanker. Tenggelam dan tiada kabar berita usai itu. Entah hidup, entah mati, hanya Tuhan yang tahu.
Kawan-kawan di tempat kerja sahabat bersedih. Mereka berkumpul. Dalam keadaan begitu; datanglah seorang. Dia membawa secarik kertas yang didapat di laci kerja sahabat. Isinya tulisan sahabat. Entah surat, entah puisi, dan entah ungkapan hati. Tapi yang jelas begini bunyi; Jika tak punya air mata, jangan menjalin kisah asmara. Manakala tak mampu bersedih, eloknya jangan berkasih sayang. Bilamana tak ada ruang gundah gelana, persetan dengan namanya cinta. Cinta butuh gelombang perasaan. Tapi jangan engkau terpaku wahai Fulan dengan kesedihan mendalam. Kesedihan karena asmara tak lebih dari sebuah kanker, ia mesti diamputasi. Kendati tak lengkap lagi, tapi semangat sudah pulih.
Pada momen peralihan waktu, aku bercucuran air mata. Setiap detik berdetak, setiap itu pula aku tersedu. Aku sedu sedan menjelang pukul 00.00 WIB. Kasihan aku pada diriku ini kawan! Tapi aku lebih kasihan pada jiwaku, yang lemah menanggung rasa. Aku pergi untuk sebuah amputasi rasa. Aku sudah pergi sebelum datang. Kendati ada sesuatu di balik ini (kuyakini itu), tapi tak substansial lelaki ini tahu. Setiap kisah ada rahasia. Aku belum mencicip manis tebunya zaitun cinta. Jika aku tak dapat bersanding bersama makhluk yang aku cinta, aku akan tunggu ia di surga. Salam! Tertanda Sahabat!
Semua kawan yang hadir terharu. Cinta sudah jadi sumber petaka. Orang di majelis Fulan pun basah matanya. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar