(TULISAN INI MENGHIASI HALAMAN 2 HARIAN PAGI VOKAL)
Semula
hati Fulan berbunga-bunga melihat paras cantik yang lewat di depannya
suatu hari di Pekanbaru. Buku yang sejatinya akan dibeli, tak jadi
dibelinya lantaran perasaan begitu memesona. Sungguh indah dan menawan.
“Mungkin sosok kaum hawa itu adalah bidadari,” pikir Fulan.
Pikiran
kasmaran itu bergelayut terus. Setiap ingin dillupakan, setiap itu pula
perasaan menggagumi bertambah. Manakala dilawan, kian rindu melihatnya.
Semakin gandrung menatap senyumnya. Oh…Tuhan! Cinta datang pada diri
Fulan, tetapi bagaimana dengan gadis itu sendiri?
Itulah
perkara yang melilit Fulan. Jangan-jangan cinta bertepuk sebelah tangan.
Diri Fulan saja yang tergila-gila, sementara yang digila-gilai biasa
saja. Berbahaya Tuan kalau memang demikian faktanya. Fulan terkena
penyakit cinta.
Tidak siang tidak malam, hanya gadis itu seorang
yang terbayang. Parahnya nama gadis itu sendiri, Fulan tidak tahu.
Benar-benar gawat. Begitu-begitulah hari-hari Fulan. Awalnya indah,
sekarang jadi derita. Pandangan pertama begitu menggoda, lalu berujung
petaka. Rambut sudah acak-acakan dan tdak terurus. Wajah sudah mulai
lesu.
Dalam kondisi yang memprihatinkan itu, Fulan tertidur di
sebuah rumah tua. Dalam lelapnya, ada sekelabat bayangan putih duduk di
sampingnya. “Wahai anak muda! Aku punya cerita untukmu. Duduklah dan
simaklah,” katanya.
Ketika itu, Fulan merasa dirinya mengikuti
perintah bayangan putih tersebut. Lalu berkisahlah dia. Pada tahun
1320-1389, ada kejadian menimpa Syamsuddin Muhammad, yang kemudian
dikenal dengan nama Hafizh. Dia sang Pujangga Tuhan, penyair-sufi
terkemuka. Tatkala berusia 21 tahun, ia bekerja sebagai pembantu pembuat
roti. Pada suatu hari, Hafizh disuruh mengantar roti ke sebuah rumah
besar. Saat ia sedang berjalan di halaman rumah besar itu, ia
bertatap-pandang dengan seorang gadis yang menakjubkannya yang tengah
berdiri di teras rumah. Tatap mata sang gadis itu demikian menawan
hatinya. Hafizh pun jatuh cinta kepada sang gadis itu, meskipun sang
gadis tidak mempedulikannya. Gadis itu putri seorang bangsawan yang kaya
raya, sementara ia sendiri hanya seorang pembantu pembuat roti yang
miskin. Gadis itu sangat cantik, sementara Hafizh berpostur pendek dan
secara fisik tidak menarik, keadaan itu tanpa harapan.
Beberapa
bulan berlalu, Hafizh pun menggubah beberapa puisi dan kidung-kidung
cinta untuk merayakan kecantikan sang gadis pujaan dan kerinduan
kepadanya. Orang-orang mendengarkan ia melagukan puisi-puisinya, dan ia
mengulang-ulangnya. Puisi-puisi itu begitu menyentuh, sehingga ia
menjadi terkenal di seantero Syiraz.
Hafizh selanjutnya menjadi
demikian terpandang sebagai seorang pujangga, dan ia hanya memikirkan
kekasihnya itu. Begitu berhasrat ia memenangkan hati sang gadis, ia pun
menempuh berbagai upaya. Ia pun melakukan upaya disiplin ruhani yang
berat, ia berkhalwat di makam seorang Waliyullah sepanjang malam selama
40 hari. Ia mengikuti sebuah saran, bahwa barangsiapa yang dapat
menuntaskan langkah yang berat itu maka hasrat kalbunya akan dikabulkan.
Setiap siang ia bekerja di toko roti, dan ketika malam tiba ia pun
berkhalwat dan berdzikir sepanjang malam demi cintanya kepada sang
gadis. Cintanya demikian kuat, membuatnya mampu menyelesaikan khalwat
itu.
Pada fajar di hari ke-40, tiba-tiba muncullah sesosok
malaikat di hadapan Hafizh, ia meminta Hafizh untuk mengucapkan apa yang
menjadi keinginannya. Hafizh demikian terperangah, ia belum pernah
melihat sesosok wujud yang demikian indah dan gemerlapan seperti sang
malaikat itu. Dalam keterpukauannya Hafizh berfikir, “Jika utusan-Nya
saja begitu indah, pastilah Tuhan jauh lebih indah!”
Sambil
menatap cahaya malaikat Tuhan yang berkilauan, lupalah Hafizh menyangkut
segala hal tentang sang gadis itu, sirnalah segala keinginanya. Dan,
dari lisannya hanya keluar kata-kata: “Aku menginginkan Tuhan!”
Sang
malaikat, yakni Jibril as. kemudian mengarahkan Hafizh kepada seorang
guru ruhani yang hidup di Syiraz, yaitu Muhammad Aththar, sang pembuat
parfum. Jibril as. memerintahkan Hafizh untuk melayani sang guru dengan
segala cara, dan keinginanya itu akan terkabul. Hafizh bergegas menemui
sang guru, dan mereka memulai bekerja bersama-sama, saat itu juga. Sang
pujangga ini adalah seorang penuang Cahaya ke dalam sebuah sendok .
Kata
belum sampai benar, Fulan terbangun. Tapi tak ada siapa-siapa di
sekitar Fulan. “Hmm…apa maksud semua ini Tuhan,” tanya Fulan dalam
hati.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar