(TULISAN INI DISEBARLUASKAN HARIAN VOKAL, 11 fEBRUARI 2011)
Apa
pendapat Tuan manakala menyaksikan warga di kawasan Mampang Prapatan,
Jakarta Selatan memblokir jalur bus Transjakarta? Apakah reaksi itu
sudah sepadan dengan harga nyawa M Rizki Firmasyah (9) yang tewas
digilas alat transportasi bentukan Sutiyoso tersebut?
Atau
tindakan itu dianggap berlebihan lantaran menganggu kepentingan banyak
orang? Jalan macet dan arus jalan raya tidak berjalan sebagaimana
mestinya. Atau lagi, reaksi masyarakat mesti lebih keras, agar nyawa
manusia dihargai dan supaya manusia dimanusiakan di republik ini?
Entahlah
Fulan! Terkadang di negeri ini, harga nyawa ayam lebih berharga dari
nyawa manusia? Ayam dibeli orang. Manusia acapkali tewas dan banyak
tidak dipedulikan orang. Mati ya mati. Begitu saja. Sedih dan
menyedihkan. Manusia sudah tercerabut dari perasaan kemanusiaannya.
Bertetes
air mata manakala direnungkan Tuan! Lebih menyayat hati lagi ketika
kita membaca kasih sayang simpanse. Ilmuwan terkejut ketika melihat
adegan mengharukan dari seekor induk simpanse yang sedang berduka.
Simpanse berduka sama seperti manusia ketika anak yang dicintainya itu
menghembuskan nafas terakhir.
Ilmuwan sudah tahu bahwa ibu
simpanse membangun hubungan fisik yang dekat dengan anak-anak mereka.
Ibu simpanse membawa anak mereka dalam pelukannya sampai dua tahun.
Mereka menyusui anaknya sampai berusia enam tahun.
Tapi, sekarang
ilmuwan tahu bahwa simpanse ternyata juga bersedih ketika anaknya mati.
Ilmuwan berhasil memfilmkan bagaimana kesedihan seorang ibu simpanse
yang ditinggal mati oleh anaknya yang baru berusia 16 bulan. Simpanse
itu meratapi kepergian anaknya dengan caranya sendiri.
Ibu
simpanse itu terus membawa jasad anaknya untuk lebih dari 24 jam.
Setelah itu, ibu simpanse lembut meletakkan jasad anaknya di tanah.
Kemudian dari jarak dekat, dia memandangi wajah anaknya.
Secara
berkala ia kembali ke tubuh anaknya. Si ibu simpanse itu menyentuh
lembut wajah dan leher anaknya dengan jari-jarinya untuk memastikan
apakah anaknya memang benar-benar telah tiada.
Dia kemudian
memanggil satu simpanse dari kelompoknya untuk meminta pendapat kedua
soal kematian anaknya. "Pada hari berikutnya, simpanse telah
meninggalkan tubuh anaknya," tulis laporan Institut Psikolinguistik Max
Planck.
Dr Katherine Cronin dan Edwin Van Leeuwen bersama Prof
Mark Bodamer dari Universitas Gonzaga (Washington) dan Innocent Chitalu
Mulenga mengambil gambar ibu simpanse itu di Chimfunshi, Zambia.
Cronin mengatakan penelitian ini memberikan wawasan unik mengenal bagaimana simpanse meratapi kesedihannya.
"Setelah
menggendong mayat bayinya selama lebih dari satu hari, ibu simpanse
meletakkan tubuh anaknya di lapangan," kata Cronin. "Dia berulang kali
mendekati tubuh anaknya. Jari-jarinya menempel pada wajah dan leher bayi
selama beberapa detik."
Ibu simpanse tetap dekat dengan tubuh anaknya selama hampir satu jam. Dia kemudian membawa jasad anaknya ke kelompok simpanse.
Ibu
simpanse meminta kelompoknya untuk menyelidiki tubuh anaknya. "Pada
hari berikutnya, ibu itu tidak lagi membawa tubuh bayi," terang Cronin.
Laporan
yang dipublikasikan dalam American Journal of Primatologi ini
memberikan gambaran bagaimana primata bereaksi terhadap kematian orang
dekat. Apakah mereka mengerti tentang kematian. Apakah mereka berkabung.
Peneliti
percaya bahwa simpanse mengalami masa transisi yang unik. Sebagai ibu,
simpanse belajar tentang kematian bayinya. Suatu proses yang belum
pernah dilaporkan secara rinci.
"Video ini sangat berharga karena
si ibu simpanse memaksa seseorang untuk berhenti dan berpikir tentang
apa yang mungkin terjadi dalam benak primata lainnya," kata Cronin. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar