(TULISAN INI MENGHIASI HALAMAN 2 HARIAN PAGI VOKAL)
Fulan
lagi berduka kawan! Temannya mendapat musibah. Istri sang teman sudah
berpulang dan meninggalkan satu orang anak. Pasti kesedihan bergelayut
di hati. Nestapa menghantui hati.
Tapi Fulan justru lebih sedih
lagi. Ia ingat kisah betapa merananya jadi single parent. Tak
seimbangnya psikologis jadi ayah sekaligus merangkap jadi ibu.
Barangkali teman ini akan mengalami nelangsa pada wilayah perasaan yang
sama.
Tuhan….! Kisah ini benar-benar membuat Fulan menangis. Kawan
kita juga akan menangis sepertinya. Ini cerita yang dikirim ke Fulan
lewat email. Lima tahun yang lalu, Allah telah memanggil orang yang
kusayangi, sering aku bertanya-tanya, bagaimana keadaan istri saya
sekarang di alam surga, baik-baik sajakah? Dia pasti sangat sedih karena
sudah meninggalkan sorang suami yang tidak mampu mengurus rumah dan
seorang anak yang masih begitu kecil. Begitulah yang kurasakan, karena
selama ini saya merasa bahwa saya telah gagal, tidak bisa memenuhi
kebutuhan jasmani dan rohani anak saya, dan gagal untuk menjadi ayah dan
ibu untuk anak saya.
Pada suatu hari, ada urusan penting di
tempat kerja, aku harus segera berangkat ke kantor, anak saya masih
tertidur. Ohhh... aku harus menyediakan makan untuknya. Karena masih ada
sisa nasi, jadi aku menggoreng telur untuk dia makan. Setelah
memberitahu anak saya yang masih mengantuk, kemudian aku bergegas
berangkat ke tempat kerja. Peran ganda yang kujalani, membuat energiku
benar-benar terkuras. Suatu hari ketika aku pulang kerja aku merasa
sangat lelah, setelah bekerja sepanjang hari. Hanya sekilas aku memeluk
dan mencium anakku, saya langsung masuk ke kamar tidur, dan melewatkan
makan malam. Namun, ketika aku merebahkan badan ke tempat tidur dengan
maksud untuk tidur sejenak menghilangkan kepenatan, tiba-tiba saya
merasa ada sesuatu yang pecah dan tumpah seperti cairan hangat! Aku
membuka selimut dan..... di sanalah sumber 'masalah'nya ... sebuah
mangkuk yang pecah dengan mie instan yang berantakan di seprai dan
selimut!
Ya Alloh..! Aku begitu marah, aku mengambil gantungan
pakaian, dan langsung menghujani anak saya yang sedang gembira bermain
dengan mainannya, dengan pukulan-pukulan! Dia hanya menangis, sedikitpun
tidak meminta belas kasihan, dia hanya memberi penjelasan singkat:
"Ayah,
tadi aku merasa lapar dan tidak ada lagi sisa nasi. Tapi ayah belum
pulang, jadi aku ingin memasak mie instan. Aku ingat, ayah pernah
mengatakan untuk tidak menyentuh atau menggunakan kompor gas tanpa ada
orang dewasa di sekitar, maka aku menyalakan mesin air minum ini dan
menggunakan air panas untuk memasak mie. Satu untuk ayah dan yang satu
lagi untuk saya ... Karena aku takut mie'nya akan menjadi dingin, jadi
aku menyimpannya di bawah selimut supaya tetap hangat sampai ayah
pulang. Tapi aku lupa untuk mengingatkan ayah karena aku sedang bermain
dengan mainan saya ... Saya minta maaf Ayah ... "
Seketika, air
mata mulai mengalir di pipiku ... tetapi, saya tidak ingin anak saya
melihat ayahnya menangis maka aku berlari ke kamar mandi dan menangis
dengan menyalakan shower di kamar mandi untuk menutupi suara tangis
saya. Setelah beberapa lama, aku hampiri anak saya, memeluknya dengan
erat dan memberikan obat kepadanya atas luka bekas pukulan dipantatnya,
lalu aku membujuknya untuk tidur. Kemudian aku membersihkan kotoran
tumpahan mie di tempat tidur. Ketika semuanya sudah selesai dan lewat
tengah malam, aku melewati kamar anakku, dan melihat anakku masih
menangis, bukan karena rasa sakit di pantatnya, tapi karena dia sedang
melihat foto ibu yang dikasihinya.
Satu tahun berlalu sejak
kejadian itu, saya mencoba, dalam periode ini, untuk memusatkan
perhatian dengan memberinya kasih sayang seorang ayah dan juga kasih
sayang seorang ibu, serta memperhatikan semua kebutuhannya. Tanpa
terasa, anakku sudah berumur tujuh tahun, dan akan lulus dari Taman
Kanak-kanak. Untungnya, insiden yang terjadi tidak meninggalkan kenangan
buruk di masa kecilnya dan dia sudah tumbuh dewasa dengan bahagia.
Namun...
belum lama, aku sudah memukul anakku lagi, saya benar-benar
menyesal.... Guru Taman Kanak-kanaknya memanggilku dan memberitahukan
bahwa anak saya absen dari sekolah. Aku pulang kerumah lebih awal dari
kantor, aku berharap dia bisa menjelaskan. Tapi ia tidak ada dirumah,
aku pergi mencari di sekitar rumah kami, memangil-manggil namanya dan
akhirnya menemukan dirinya di sebuah toko alat tulis, sedang bermain
komputer game dengan gembira. Aku marah, membawanya pulang dan
menghujaninya dengan pukulan-pukulan.
Dia diam saja lalu
mengatakan, "Aku minta maaf, Ayah". Selang beberapa lama aku selidiki,
ternyata ia absen dari acara "pertunjukan bakat" yang diadakan oleh
sekolah, karena yang diundang adalah siswa dengan ibunya. Dan itulah
alasan ketidakhadirannya karena ia tidak punya ibu..... Beberapa hari
setelah penghukuman dengan pukulan rotan, anakku pulang ke rumah
memberitahu saya, bahwa di sekolahnya mulai diajarkan cara membaca dan
menulis. Sejak saat itu, anakku lebih banyak mengurung diri di kamarnya
untuk berlatih menulis, yang saya yakin, jika istri saya masih ada dan
melihatnya ia akan merasa bangga, tentu saja dia membuat saya bangga
juga!
Waktu berlalu dengan begitu cepat, satu tahun telah lewat.
Saat ini musim dingin,dan hari raya idul fitri pun telah tiba. tapi
astagfirulloh, anakku membuat masalah lagi. Ketika aku sedang
menyelasaikan pekerjaan di hari-hari terakhir kerja, tiba-tiba kantor
pos menelpon. Karena pengiriman surat sedang mengalami puncaknya, tukang
pos juga sedang sibuk-sibuknya, suasana hati mereka pun jadi kurang
bagus. Mereka menelpon saya dengan marah-marah, untuk memberitahu bahwa
anak saya telah mengirim beberapa surat tanpa alamat. Walaupun saya
sudah berjanji untuk tidak pernah memukul anak saya lagi, tetapi saya
tidak bisa menahan diri untuk tidak memukulnya lagi, karena saya merasa
bahwa anak ini sudah benar-benar keterlaluan. Tapi sekali lagi, seperti
sebelumnya, dia meminta maaf : "Maaf, Ayah". Tidak ada tambahan satu
kata pun untuk menjelaskan alasannya melakukan itu.
Setelah itu
saya pergi ke kantor pos untuk mengambil surat-surat tanpa alamat
tersebut lalu pulang. Sesampai di rumah, dengan marah saya mendorong
anak saya ke sudut mempertanyakan kepadanya, perbuatan konyol apalagi
ini? Apa yang ada dikepalanya? Jawabannya, di tengah isak-tangisnya,
adalah : "Surat-surat itu untuk ibu.....". Tiba-tiba mataku
berkaca-kaca. .... tapi aku mencoba mengendalikan emosi dan terus
bertanya kepadanya: "Tapi kenapa kamu memposkan begitu banyak
surat-surat, pada waktu yg sama?" Jawaban anakku itu : "Aku telah
menulis surat buat ibu untuk waktu yang lama, tapi setiap kali aku mau
menjangkau kotak pos itu, terlalu tinggi bagiku, sehingga aku tidak
dapat memposkan surat-suratku. Tapi baru-baru ini, ketika aku kembali ke
kotak pos, aku bisa mencapai kotak itu dan aku mengirimkannya
sekaligus". Setelah mendengar penjelasannya ini, aku kehilangan
kata-kata, aku bingung, tidak tahu apa yang harus aku lakukan, dan apa
yang harus aku katakana .... Aku bilang pada anakku, "Nak, ibu sudah
berada di surga, jadi untuk selanjutnya, jika kamu hendak menuliskan
sesuatu untuk ibu, cukup dengan membakar surat tersebut maka surat akan
sampai kepada ibu. Setelah mendengar hal ini, anakku jadi lebih tenang,
dan segera setelah itu, ia bisa tidur dengan nyenyak. Saya berjanji akan
membakar surat-surat atas namanya, jadi saya membawa surat-surat
tersebut ke luar, tapi.... saya jadi penasaran untuk tidak membuka surat
tersebut sebelum mereka berubah menjadi abu.
Dan salah satu dari isi surat-suratnya membuat hati saya hancur......
'Ibu
sayang', Saya sangat merindukanmu! Hari ini, ada sebuah acara
'Pertunjukan Bakat' di sekolah, dan mengundang semua ibu untuk hadir di
pertunjukan tersebut. Tapi kamu tidak ada, jadi saya tidak ingin
menghadirinya juga. Aku tidak memberitahu ayah tentang hal ini karena
aku takut ayah akan mulai menangis dan merindukanmu lagi. Saat itu untuk
menyembunyikan kesedihan, aku duduk di depan komputer dan mulai bermain
game di salah satu toko. Ayah keliling-keliling mencari saya, setelah
menemukanku ayah marah, dan aku hanya bisa diam, ayah memukul aku,
tetapi aku tidak menceritakan alasan yang sebenarnya. Ibu, setiap hari
saya melihat ayah merindukanmu, setiap kali dia teringat padamu, ia
begitu sedih dan sering bersembunyi dan menangis di kamarnya. Saya pikir
kita berdua amat sangat merindukanmu. Terlalu berat untuk kita berdua,
saya rasa. Tapi ibu, aku mulai melupakan wajahmu. Bisakah ibu muncul
dalam mimpiku sehingga saya dapat melihat wajahmu dan ingat ibu? Temanku
bilang jika kau tertidur dengan foto orang yang kamu rindukan, maka
kamu akan melihat orang tersebut dalam mimpimu. Tapi ibu, mengapa engkau
tak pernah muncul?
Setelah membaca surat itu, tangisku tidak bisa
berhenti karena saya tidak pernah bisa menggantikan kesenjangan yang
tak dapat digantikan semenjak ditinggalkan oleh istri saya ...
Air mata Fulan menetes deras! Ia menangis tersedu-sedu. Sungguh dahsyat kasih sayangmu ratu di istana hati.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar